Qanun Poligami

Potensi Salahi UU Perkawinan, Qanun Poligami Harus Gunakan Perspektif Perempuan

Jakarta – Komnas Perempuan menyoroti langkah Pemerintah Provinsi Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) yang membahas rancangan Qanun atau Perda Hukum Keluarga yang mengatur poligami.

Komisioner Komnas Perempuan Sri Nurherwati mempertanyakan maksud pengaturan poligami dalam rancangan qanun tersebut. Sebab, menurut dia, ketentuan soal praktik poligami selama ini sudah diatur secara jelas dalam UU Perkawinan.

“Qanun ini mau mengatur yang mana lagi? Karena undang-undangnya sudah ada,” kata Nurherwati di kantor Komnas Perempuan, Jakarta, Senin, 8 Juli 2019.

Menurut Nurherwati, UU Perkawinan sudah jelas mengatur soal syarat, alasan, dan prosedur untuk melalukan praktik poligami. Nurherwati justru heran ketika dikatakan qanun itu dibuat lantaran banyak praktik poligami lewat nikah siri.

Menurut dia, tidak ada korelasi antara masalah dengan solusi yang ditawarkan. Apalagi, kata Nurherwati, praktik nikah siri justru banyak dilakukan laki-laki yang hendak berpoligami tapi tidak memenuhi syarat, alasan, dan prosedur yang diperbolehkan UU Perkawinan.

Oleh Karena itu, Nurherwati khawatir rancangan Qanun tersebut justru akan mengakomodir praktik poligami yang dilarang Undang-Undang Perkawinan.

“Artinya, jangan sampai qanun mengesahkan praktik-praktik pelanggaran terhadap undang-undang,” kata dia.

Nurherwati berharap Pemprov Aceh mempertegas implementasi aturan mengenai poligami yang ada di UU Perwakinan.

Kantor Urusan Agama, kata dia, juga harus lebih proaktif melakukan pencatatan perkawinan untuk meminimalisir nikah siri.

Akar Masalah Poligami
KH Imam Nakha’i, Komisioner Komnas Perempuan lainnya menilai nikah siri dan praktik poligami seharusnya tidak diselesaikan dengan menerbitkan regulasi.

Menurutnya, nikah siri dan praktik poligami yang terjadi di tengah masyarakat harus diselesaikan dengan melihat akar masalahnya.

“Seharusnya nikah siri dan poligami yang tidak adil bukan dengan diatur atau dianjurkan tapi dengan melihat akar menyebabkan lahirnya nikah siri dan poligami,” tutur Kiai Nakha’i seperti dilansir CNNIndonesia.

Meski demikian, Komnas Perempuan berharap penyusunan qanun terkait poligami itu dengan mendengarkan suara perempuan dan tidak menggunakan perspektif laki-laki.

Kiai Imam mengatakan perda untuk melegalkan poligami yang rencananya diterbitkan di Aceh harus bersifat melindungi perempuan dari praktik kekerasan.

“[Penerbitan perda terkait poligami] harus dilakukan dengan mendengar suara perempuan, jangan menggunakan perspektif laki-laki,” kata pakar fikih dan ushul fikih ini.

Dia menyatakan poligami dan nikah siri bagai dua keping mata uang. Sebab, kata Imam, poligami sering dilakukan dengan nikah siri dan nikah siri umumnya merupakan praktik poligami.

Berangkat dari itu, dia meminta Pemprov Aceh dan DPRA bertanya lebih dahulu ke kaum perempuan di Aceh terkait pengalaman hingga kesediaan poligami, sebelum diatur dalam sebuah regulasi.

Ia pun berharap, perda yang nantinya diterbitkan Pemprov Aceh dan DPRA bukan malah menganjurkan masyarakat Aceh untuk berpoligami.

“Jangan sampai perda nantinya menganjurkan poligami itu perlu, itu patut dipertanyakan,” ucapnya.

Sebelumnya diberitakan Pemprov Aceh dan DPRA sedang membahas peraturan daerah atau qanun untuk melegalkan poligami. Banyaknya praktik pernikahan siri di Aceh disebut jadi alasannya.

Kepala Dinas Syariat Islam Aceh, Alidar, mengatakan fenomena pernikahan siri makin sering dilakukan di tengah masyarakat.

Menurutnya, maraknya pernikahan siri berdampak buruk pada kehidupan berumah tangga karena banyak laki-laki yang tidak bertanggung jawab terhadap istri dan anak-anaknya.

“Masih wacana dan dalam pembahasan, karena orang banyak nikah siri [tapi] tidak tanggung jawab terhadap anak dan istri. Sehingga diwacanakan poligami dilegalkan, tapi saya tegaskan kembali ini belum pasti, masih wacana,” ujar Alidar. (us/onk)

Terkait

Nasional Lainnya

SantriNews Network