Qanun Poligami
Dinas Syariat Islam Aceh Inisiator Legalisasi Poligami

Ilustrasi laki-laki poligami (santrinews.com/istimewa)
Banda Aceh – Pemerintah Privinsi Aceh berencana melegalkan poligami. Itu tertuang dalam rancangan qonun atau perda yang salah satu babnya membahas poligami. Legalisasi poligami disebut untuk melindungi perempuan dan anak yang kerap menjadi korban pernikahan siri.
Wakil Ketua Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Musannif mengatakan draf poligami ini merupakan usulan eksekutif, yakni Dinas Syariat Islam Aceh, bukan inisiatif DPRA.
Komisi VII Bidang Agama dan Kebudayaan DPRA yang membahas qanun ini terdiri dari sepuluh orang, empat di antaranya adalah perempuan.
Musannif mengklaim sejauh ini tak ada penolakan, meskipun banyak masukan dari pihak perempuan selama pembahasan poligami ini. “Karena tidak ada yang kami atur hanya untuk kepentingan laki-laki semata,” kata Musannif, Sabtu, 6 Juli 2019.
Ia menjelaskan, DPRA telah berkonsultasi dengan Kementerian Agama agar aturan terkait poligami ini tidak bertentangan dengan UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Selain itu, DPRA juga berkonsultasi dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA). Musannif mengatakan kementerian pimpinan Yohana Yambise itu akan memberikan jawaban tertulis terkait pembahasan ini.
“Dengan Kementerian PPPA, seakan (poligami) ini mengandung pelanggaran HAM dari istri pertama. Kami coba jelaskan dari hukum Islam, toh kita enggak atur pun ini dilakukan, kalau kita atur kan seharusnya lebih baik,” ujarnya.
Musannif mengatakan DPRA menjadwalkan rapat dengar pendapat umum (RDPU) pada 1 Agustus mendatang, dengan melibatkan unsur Pengadilan Tinggi Agama, Kemenkumham, Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), BNN, maupun Dinas Kesehatan.
Selain itu, DPRA juga akan melibatkan Kemendagri, Komnas HAM, dan Komnas Perempuan.
Musannif mengatakan DPRA harus menyelesaikan draf qanun terkait poligami ini sebelum pelantikan anggota DPRA yang baru digelar pada 30 September 2019.
Program legislasi daerah (Prolegda) 2018 memutuskan aturan ini dibahas di Komisi VII DPRA periode sekarang. Begitu masuk periode baru, maka draf ini tidak bisa dibahas lagi, kecuali jika DPRA ingin mengajukan kembali dalam prolegda selanjutnya.
“Kami ingin kalau bisa ini selesai dalam masa jabatan periode DPRA sekarang ini,” ujarnya. (shir/cnn)