Karena Gus Dur, Tionghoa Menyatu dalam Keindonesiaan

Suatu ketika, Jastin —anak saya—bertanya kepada saya: “Mama, kenapa kita tidak bisa bahasa Mandarin?”. Dengan raut muka agak mengerti sedikit, dia ingin memastikan jawaban yang keluar dari saya sama dengan apa yang dia pikirkan.

Meskipun dia tau teman-temannya di sekolah menyebut dirinya orang Tionghoa, tetapi kenapa kita semua sekeluarga tidak bisa bahasa Mandarin. Apakah yang telah terjadi di Indonesia. Mengapa di Malaysia, orang Tionghoa menggunakan bahasa Mandarin di kesehariannya. Apalagi di Penang, hampir semua Tionghoa Malaysia berbicara bahasa Mandarin.

Dan mereka juga berbicara bahasa Inggris lebih baik dari Tionghoa-Indonesia, tapi tidak banyak yang bisa berbicara bahasa Melayu —bahasa lokal— dengan lancar. Kita disini berbicara bahasa Indonesia medhok banget sesuai dengan kota kelahiran kita. Misal orang Surabaya kelihatan sekali Cina Surabaya. Yang katanya Cina Pasar Atum. Belum lagi dengan kawan-kawan saya Cimed (Cina Medan), mereka pakai bahasa Hokkien kalau ngobrol dengan sesama Cimed.

“Jas, kita kan orang Indonesia. Bahasa kita ya bahasa Indonesia.”

“Iya ma, tapi kenapa kita tidak bisa sama sekali bahasa Mandarin, aku juga tidak bisa pelajaran Mandarin di sekolah selalu aku dapat nilai jelek, kalau aku jadi Menteri Pendidikan aku akan hapus pelajaran Bahasa Mandarin di sekolahku, ma…”

Pertanyaan sudah mengarah ke lebih serius.

Aku menutup laptop kerjaku. Aku melihat dia butuh jawaban serius.

Gini loh Jas, kita di Indonesia pada jaman Orde Baru dilarang menggunakan bahasa Mandarin dalam percakapan sehari-hari. Di masa itu sekolah-sekolah berbasis bahasa Mandarin juga ditutup. Tradisi Cina juga dilarang.

Makanya kamu juga tahu mama tidak bisa bahasa Mandarin. Kita orang Tionghoa di Indonesia sejak saat itu menggunakan bahasa Indonesia untuk percakapan sehari-hari. Baru di era pemerintahan KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur diperbolehkan tradisi Cina termasuk Imlek dirayakan kembali.

Malah kamu sendiri juga suka pakai bahasa Jawa waktu ngobrol dengan teman-temanmu.

Baca juga: Lilyana: Umat Tionghoa Berhutang Budi kepada Gus Dur

Sebenarnya ada hikmah yang dapat kita petik dari sekedar berbahasa Mandarin. Coba kamu perhatikan orang Tionghoa Indonesia lebih bisa membaur dengan katakanlah “pribumi”, lebih bisa ngobrol bareng dan ngakak-ngakak seperti tidak ada sekat. Ya memang tidak ada sekat sih.

Di sisi lain waktu kita ke Malaysia, kamu lihat sendiri ada dua orang Tionghoa di cafe sangat terasa ada sekat di situ dan suasananya canggung sekali. Terlebih dia tidak fasih berbahasa Melayu.

“Orang Tionghoa Indonesia lebih “Indonesia” daripada “Tionghoa”, karena kita lahir dan akan mati di Indonesia,” kataku sambil memberikan dia minuman boba yang dikirim lewat Gojek.

Dalam hatiku berkata, semoga dia mengerti bahwa tidak ada lagi sekat yang bisa ditimbulkan lewat bahasa di muka bumi Indonesia ini.

Baca juga: Gus Dur dan Imlek di Tahun Politik Tempur

Sebentar lagi kita merayakan Imlek dengan penuh keceriaan dan semoga sekali waktu Imlek di Indonesia tidak dirayakan segelintir orang yang katanya orang Tionghoa, tetapi dirayakan seluruh orang Indonesia seperti tradisi merayakan Hari Raya lainnya.

Karena sejatinya “tidak penting apapun agama atau sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu,” begitu kalimat yang selalu kami ingat dari Bapak Pluralisme, Gus Dur.

Menjaga Tradisi, Merayakan Harmoni. (*)

Lilyana Phandeirot, Direktur Eksekutif INDONESIA PEDULI.

Terkait

Opini Lainnya

SantriNews Network