Catatan Antropologi Haji (6): Haji di Mata Warga Saudi
Sudah lama saya penasaran tentang apakah warga Saudi semua berhaji? Tentu saja yang sudah “akil-baligh” atau yang dewasa, bukan yang anak-anak, dan yang mampu karena haji itu hanya wajib bagi yang mampu saja (baik mampu secara fisik maupun finansial). Ternyata jawabannya sangat mengejutkan: tidak semua warga Saudi (apapun afiliasi keislaman mereka: Sunni, Syiah, Wahabi, dst) yang dewasa dan mampu itu pernah menjalankan ibadah haji. Lo, kok bisa?
Kesimpulan ini saya dapat dari survei dan obrolan yang saya lakukan dengan para teman, murid maupun kolega Saudiku. Meskipun sebagian murid-muridku ada yang menjadi voluntir saat musim haji untuk membantu lancarnya prosesi haji, tidak secara otomatis mereka menunaikan ibadah haji.
Teman-teman sekantorku yang warga Saudi juga saya tanya belum berhaji, termasuk mereka yang ber-KTP Makah. Unik kan? Alasannya macam-macam: mulai dari kewajiban haji yang hanya sekali seumur hidup jadi mereka santai menunggu masa tua, rangkaian ritual haji yang cukup berat dan melelahan berhari-hari di medan yang berat pula sehingga membuat mereka malas atau aras-arasen menjalaninya, sampai biaya haji yang lumayan.
Pemerintah Saudi menerapkan besarnya biaya haji yang sama bagi semua warga Muslim yang tinggal disini: baik penduduk “asli” Saudi maupun kaum migran. Aturannya juga sama: kalau sudah berhaji tidak boleh berhaji lagi sampa 5 tahun ke depan (kecuali penduduk Makah yang boleh bolak-balik berhaji kalau mau).
Musim haji adalah musim liburan panjang dan besar bagi warga Saudi seperti libur Idul Fitri di Indonesia. Pada waktu jutaan kaum Muslim dari berbagai negara tumplek-blek di Makah untuk berhaji, warga Saudi sendiri justru memanfaatkan liburan panjang musim haji itu untuk berlibur: baik berlibur di manca negara (di negara-negara Barat, khususnya Eropa dan Amerika, maupun di kawasan Arab Teluk, khususnya Uni Emirat Arab, tempat favorit liburan penduduk Saudi) maupun liburan di rumah santai-santai dan ngumpul-ngumpul bersama keluarga, kerabat, dan teman.
Warga Saudi yang di luar negeri juga “mudik” ke kampung halaman untuk merayakan “lebaran haji”. Mereka jadikan liburan “musim haji” sebagai momentum untuk berkumpul dan bersilaturahmi dengan berbagai keluarga dekat maupun jauh persis seperti musim Lebaran di Indonesia.
Jika ada banyak jamaah haji dari Saudi (“haji lokal”), itu tidak otomatis warga Saudi tetapi kaum migran (ekspat) yang bekerja dan tinggal di Saudi. Mereka ini yang “hobi” umroh (dan haji) sehingga menyemarakan berbagai industri transportasi, juga hotel, motel, restoran, warung, toko, dlsb di Saudi.
Lebih dari 30% penduduk Saudi adalah kaum migran dari berbagai negara, khususnya India, Pakistan, Bangladesh, Mesir, Yaman, Sudan, Aljazair, Filipina, Sri Lanka, Indonesia, dlsb. 30% itu data resmi, yang “migran bonek” juga banyak sekali. Mereka biasanya datang ke Saudi dengan visa umroh/haji, habis selesai umrah/haji mereka gak mau pulang, “menggelandang” atau ikut keluarga, sanak-famili, dan teman yang sudah terlebih dahulu tinggal disini.
Dari rombongan hajiku kemarin yang juga dari “kloter Saudi” (via biro travel “Al-Kaaff”, khususnya yang dari Dammam) juga hanya satu orang yang warga Saudi, itupun dari daerah Jizyan yang sukunya agak dekat dengan suku-suku di Yaman. Mayoritas yang berhaji dari rombongan kami berasal dari Pakistan, India, Mesir, Tanzania, Maroko, Lebanon, dan Bangladesh.
Coba perhatikan dengan seksama “wajah-wajah” mereka yang berhaji atau berumrah (misalnya saat tawaf atau salat di area Masjid Haram), jika Anda jeli dan paham tentang dunia ilmu keetnisan dan kesukuan, Anda akan tahu kalau mereka kebanyakan bukan warga “Arab Saudi” kecuali tentu saja yang menjadi petugas keamanan (baik tentara, polisi negara, maupun “polisi syariat”).
Warga Makah sendiri pada waktu musim haji, lebih suka memilih tinggal berlibur di daerah lain, baik diluar Makah (Jeddah, Taif, Abha, dlsb), maupun diuar Saudi. Lonjakan peminat haji yang mencapai lebih dari 3,000% itu: dari sekitar 50-an ribu pada 1920-an hingga lebih dari 2 juta pada 2015, bukan berasal dari warga Saudi tetapi dari non-Saudi, khususnya non-Arab, khususnya lagi Indonesia yang warganya demen banget “koja-kaji” ke Makah kayak setrikaan. He he. (*)
Jabal Dhahran, Arabia