Hakikat Muslim yang Seutuhnya

Nabi Muhammad SAW bersabda:

عن عبدالله بن عمرو بن العاص – رضي الله عنهما – عن النبي – صلى الله عليه وسلم – قال: ((المسلم من سلِم المسلمون من لسانه ويده، والمهاجر من هجَر ما نهى الله عنه))؛ متفق عليه.

Muslim yang sempurna adalah seorang yang muslim lainnya merasa damai dari gangguan lidah dan tangannya. Muhajir yang sempurna adalah orang yang berhijrah dari setiap yang dilarang Allah (HR. Bukhari -Muslim).

Setidaknya ada dua hal menarik dari hadist shahih ini. Pertama, mengapa kata “al-Muslim” diterjemahkan “muslim yang sempurna”? Sebab huruf “al” dalam kata “al-muslimu” itu disebut al al-kamaliyah yaitu huruf “al” yang berfungsi untuk menunjukkan makna kesempurnaan. Sebab untuk disebut “Muslim saja” cukuplah membaca dua kalimah syahadah. Tetapi untuk menjadi muslim sempurna maka “orang lain tidak boleh merasa terganggu dari lisan dan lidahnya”.

Hadist ini jika dilihat dari aspek gramatika arab sangat menarik. Sebagian tulisan status di Facebook menterjemahkan “muslim adalah orang yang meyelamatkan muslim lain dari lidah dan tangannya”. Terjemah ini salah, sebab meletakkan “muslim lain” sebagai obyek (maf’ul). Padahal hadist itu meletakkan muslim lain sebagai “subyek-pelaku “ atau bahasa nahwu-nya sebagai fa’il.

Apa bedanya? Nah ini penting. Jika “Muslim lain” sebagai subyek, maka keselamatan, kedamaian serta tidak merasa terganggu itu adalah menurut perspektif si muslim lain ini, bukan menurut perspektif si muslimnya.

Jadi, muslim yang sempurna adalah muslim dimana muslim lain merasa damai dan aman dari gangguan lidah dan tangannya, bukan muslim yang merasa telah menyelamatkan dan mendamaikan orang lain.

Karena itu, jika ingin menguji kesempurnaan seorang muslim maka bertanyalah pada orang lain apakah ia sudah merasa aman dari gangguannya. Jangan bertanya kepadanya apakah sudah membuat damai orang lain.

Kedua, bagaimana dengan Non Muslim?. Memang hadist diatas menyebut “muslim sempurna adalah seorang yang “muslim lainnya” merasa damai. Bagaiaman dengan Non Muslim? Ternyata dalam riwayat lain tidak menggunakan bahasa “man salima al muslimuna” melainkan menggunakan bahasa “من سلم الناس” yang berarti “muslim sempurna adalah muslim yang dimana “setiap manusia” merasa aman dan damai dari gangguan lidah dan tangannya.

Jika setiap orang, apapun agamanya dan keyakinannya, merasa aman dan damai dari gangguan lidah dan tangannya, maka ia muslim sempurna. Sebaliknya jika setiap orang, termasuk non muslim, merasa was was, merasa terganggu dari setiap ceramahnya (lisannya) dan kebijakannya (tangan kekuasaannya), maka ia bukan muslim sempurna. Meminjam bahasa Gus Dur, ia barulah Muslim Amatiran alias muslim ecek ecek.

Jadi muslim sempurna adalah seorang muslim dimana setiap orang (muslim dan non muslim) merasa damai dari gangguan lidahnya (ceramahnya) dan dari gangguan kebijakannya (tangan kekuasaannya).

Hadist ini, juga menjelaskan hakikat “Hijrah” dan “Pelaku Hijrah (muhajir) yang sempurna” yaitu setiap orang yang menjauhi segala seuatu yang dilarang oleh Tuhan Yang Maha Esa. Bukan yang mengenakan cadar dari sebelumnya yang tidak mengenakannya, sebab tidak mengenakan cadar bukanlah larangan Allah. Bahkan dalam tradisi Jawa, mengenakan cadar bisa jadi bid’ah dan tidak sopan (tapi ini soal perspektif lho ya).

Masih banyak contoh lain yang sering disebut hijrah, padahal hakikatnya ia bukan berhijrah dari “larangan Allah” tapi berhijrah dari larangan “tafsir-tafsir ulama nya”. Wallahu A’lam. (*)

Situbondo, 28 Mei 2020

KH Imam Nakha’i, Dosen Fikih-Ushul Fikih di Ma’had Aly Salafiyah-Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo.

Terkait

Opini Lainnya

SantriNews Network