Pembentukan Karakter Berbasis Kitab Kuning

Santri tengah ngaji kitab kuning (santrinews.com/istimewa)
Secara umum belajar kitab kuning di pondok pesantren terbagi pada dua kateguri formal dan non formal. Formal yaitu belajar di madrasah dengan sistem pendidikan modern dan sangat terikat dengan absensi. Peserta didik sangat terikat dengan aturan dan sistem yang dibuat oleh madrasah atau sekolah, dan biasanya sang guru diberi imbalah atau ujroh yang lazim disebut honorarium.
Non formal yaitu proses pendidikan di luar madrasah seperti ngaji kitab kuning yang dibacakan oleh kiai atau seorang ustadz di serambi pondok, masjid, mushala, dan lain-lain, termasuk juga ada seorang santri atas keinginannya sendiri kepada seorang guru.
Pengajian non formal ini disebut juga pengajian umum karena bisa diikuti oleh siapa saja tanpa melihat latar belakang yang mengaji, bahkan terkadang diikuti oleh masyarakat non santri. Dalam pengajian ini tidak ada absensi, tidak ada sangsi bagi yang tidak ngaji, santri yang duduk di jenjang Ibtidaiyah bisa ngaji bareng dengan yang sudah menjadi mahasiswa.
Alhasil sangat tergantung pada kesadaran santri itu sendiri. Dalam pengajian non formal ini benar-benar didasarkan pada keikhlasan yang tinggi dari sang mu’allim dan muta’allim.
Lalu bagaimana pengaruhnya terhadap kejiwaan santri atau muta’allim?
Sekadar urun rembuk dari yang saya rasakan saat ternyata: Pertama, jiwa saya sangat merasa terikat keguruan dengan kiai atau ustadz yang mengajar di non formal tersebut. Ketika misalanya saya kirim fatihah kepada guru-guru saya, maka aecara refleks semua yang pernah ngajar di non formal itu terbayang secara refleks.
Kedua, saya merasa sedikit tahu isi kitab kuning karena pengajian non formal ini. Untuk bisa merasa bahwa ilmu ini didapat dari pendidikan formal membutuhkan waktu untuk melogikakan dan dipikir dengan rabaan-rabaan pengalaman yang dialami.
Ketiga, saya merasakan bahwa saya bisa mengerjakan beberapa amaliyah yang wajib dan yang sunah terbentuk dari kesadaran yang muncul dari proses pendidikan non formal tersebut.
Keempat, saya merasa jadi seorang santri karena pernah mengaji dari proses pendidikan non formal. Dan beberapa perasaan lain yang saya alami secara refleks.
Lalu pertanyaannya adalah kenapa demikian? Setelah saya berpikir tahapan-tahapan yang dilakukan, ternyata kata kunci utamanya adalah “Al-Ikhlas”. Keikhlasan di sini tercermin dari kesabaran, kesungguhan, keistiqomahan dan tentu doa kiai atau guru yang membaca kitab, tentu juga keikhlasan, kesabaran, kesungguhan yang mengaji kitab tersebut. Hal ini terjadi karena proses pembelajaran yang dilakukan tidak takut karena absensi, sangsi dan lain lain.
Tulisan ini hanya mengungkapkan perasaan dan pengalaman pribadi, tentu bisa berbeda dengan pengalaman sahabat yang lain.
Senior saya ustadz Moh Asra pernah bilang para pengajar kitab kuning seperti itu yang mendapatkan pahala besar, karena beliau-beliau mengajar tanpa pamrih dan tidak digaji, kecuali karena keikhlasan mereka. Inilah buah dari suatu keikhlasan. (*)
Ustaz Muhyiddin Khatib, Alumni Ma’had Aly Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo. Kini sebagai dosen di almamaternya.