Kiai Muda Jatim Dukung Presidential Threshold 20 Persen Dihapus

Surabaya – Sejumlah Kiai muda yang tergabung dalam Aspirasi Para Lora dan Gus (Asparagus) Jawa Timur berkomitmen untuk bersama-sama mengawal tuntutan penurunan ambang batas pencalonan presiden atau Presidential Threshold (PT) menjadi nol persen. Mereka bersepakat PT 20 persen harus dihapus.

Komitmen para gus itu mereka tuangkan dalam penandatanganan bersama usai acara Focus Group Discussion (FGD) dengan tema “Mengapa Presidential Treshold 20 Persen Harus Dihapus?” di Surabaya, Senin, 24 Januari 2022.

Mereka diantaranya Gus Zahrul Jihad dari Pondok Pesantren Darul Ulum Jombang, Gus Maksum Faqih dari Pondok Pesantren Langitan Lamongan dan Gus Ahmad Tamaduddin dari Pondok Pesantren Al Falah Bojonegoro,

Hadir dalam kesempatan tersebut, ratusan Gus dari sekitar 50 pondok pesantren terkemuka di Jatim dan Ketua Umum KADIN Jawa Timur, Adik Dwi Putranto serta Ketua PWI Jawa Timur Lutfil Hakim.

Hadir juga sebagai narasumber Pengajar Sekolah Pasca Sarjana Universitas Airlangga, Dr Radian Salman dan Staf Khusus Ketua DPD RI, Saifudin Alamsyah.

Gus Zahrul Jihad mengatakan bahwa penandatanganan itu sebagai bukti dukungan seluruh Gus di Jatim dari sejumlah pondok pesantren yang tidak diragukan lagi kredibilitasnya, terhadap PT nol persen yang telah diinisiasi dari Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI AA La Nyalla Mahmud Mattalitti.

“Kami ini dari pondok pesantren yang tidak diragukan lagi, dari pondok pesantren tua. Kami meminta kepada mas La Nyalla, apa yang harus kami lakukan. Karena untuk demo sudah tidak mungkin. tetapi kami punya kekuatan sendiri, kami mempunyai pondok, mempunyai santri. Kami mempunyai itu. Untuk PT nol persen kami sangat mendukung dan akan merefleksikan dengan cara kami,” tegas Gus Zahrul Jihad.

Lebih lanjut ia mengungkapkan bahwa keberadaan PT 20 persen telah mendistorsi tujuan dan cita-cita bangsa Indonesia dan dinilai tidak adil. Karena aturan ini telah mengakibatkan tumbuhnya model kepemimpinan oligarki, dimana kekuasaan negara hanya berada di tangan segelintir orang.

Selain itu, pencalonan presiden hanya bisa dilakukan oleh beberapa partai besar saja. Dampak selanjutnya, calon yang muncul hanya terbatas pada beberapa elit politik yang selama ini telah menghegemoni.

“Makanya ketika ada seorang mas Nyalla menginisiasi ini, kita dukung karena selama ini kita sudah terseret pada sistem kerajaan, sepertinya calon pimpinan hanya, maaf, cucunya Bung Karno. Padahal banyak sekali masyarakat Indonesia yang memiliki kemampuan atau talenta,” tambahnya.

Hal senada diutarakan Gus Ahmad Tamaduddin. Menurutnya, demi kemaslahatan rakyat, bangsa dan negara Indonesia, aturan Presidential Threshold atau Ambang Batas Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia, seperti tertuang dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, sepatutnya dihapuskan. 

“Selain tidak dimandatkan oleh Konstitusi, juga bertentangan dengan aspirasi masyarakat serta terbukti memecah belah dan menimbulkan polarisasi di masyarakat, sekaligus membatasi calon-calon pemimpin bangsa untuk mengikuti kontestasi dalam pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia,” ujarnya.

Pada kesempatan yang sama, Gus Zaki dari Pondok Pesantren Alfalah Trenggalek menegaskan bahwa penghapusan PT 20 persen adalah cita-cita dalam forum FGD ini.

“Tetapi kita harus miliki strategi, karena untuk mewujudkannya sangat sulit. Apakah hal ini sudah ada plan A dan plan B, misal ketika ini sulit ditembus di jalur DPR, langkah seperti apa yang akan kita ambil,” tandasnya.

Karena menurutnya, PT 20 persen adalah produk partai yang akan sulit diubah melalui mekanisme di DPR. Kalaupun misalnya aturan ini bisa diubah melalui Yudisial Review di Mahkamah Konstitusi hingga ada satu calon presiden yang muncul jalur independen atau jalur perwakilan daerah, ia mempertanyakan apa calon ini akan kuat dan tidak akan dilemahkan di parlemen.

“Jadi ada baiknya ini juga harus dipikirkan. Karena ketika kita menang di MK dan PT 20 persen ditiadakan, besar kemungkinan akan dimunculkan kembali, seperti kasus kenaikan pembayaran BPJS. MK melakukan pembatalan kenaikan iuran tetapi kemudian presiden mengeluarkan Perpres kenaikan iuran BPJS,” katanya.

Sementara itu Ketua DPD RI AA La Nyalla Mahmud Mattalitti menyatakan rasa terimakasihnya kepada para Lora dan Gus yang telah memberikan dukungan terhadap penghapusan PT 20 persen. “Saya berharap hal seperti ini semakin meluas. Karena kedaulatan negara ini ada di tangan rakyat,” tandas La Nyalla.

Disisi lain, Saifudin menganggap bahwa PT 20 persen adalah kemurtadan DNA dan durhaka kepada pendiri bangsa karena kebijakan tersebut justru menjauhkan Indonesia dari cita-cita luhur pendiri bangsa Indonesia.

DNA asli Indonesia dalam sistem pemerintahan dan sistem ekonomi nasional adalah kedaulatan dan kerakyatan yang diberikan kepada para hikmat untuk bermusyawarah mufakat. DPR representasi dari partai politik dan Fraksi ABRI. Utusan daerah representasi daerah. Utusan golongan representasi dari golongan dan juga para kiai serta cendekiawan hingga kemudian menjadi demokrasi yang utuh, wadah bangsa yang utuh, dimana semua bisa terwakili,” tegas Saifudin. 

Radian Salman menambahkan bahwa Presidential Threshold 20 persen yang diterapkan Indonesia saat ini sebenarnya sangat tidak relevan dengan pelaksanaan Pemilu serentak. Selain itu, Presidential Threshold membuat sistem Presidensial menjadi tidak sehat.

Radian yang juga menegaskan bahwa UUD 1945 tidak memerintahkan pengaturan mengenai PT dalam UU. Karena itu seharusnya PT bukan open legal policy pembentuk UU. PT justru tidak relevan dengan penguatan sistem Presidensial.

“Tidak itu saja, PT juga mengakibatkan sistem presidensial yang tidak sehat. Penerapan PT, bertentangan dengan rights to candidacy dan pemenuhan hak memilih. Sebab, PT bertentangan dengan kesetaraan parpol dalam pemilu. Oleh karena itu, dapat diambil kesimpulan jika PT tidak relevan dengan sistem pemilu serentak,” pungkasnya. (red)

Terkait

Politik Lainnya

SantriNews Network