Sekali Lagi Hukum Berjabat Tangan dengan Lawan Jenis

Saya berpikir, hukum berjabat tangan laki-laki dan perempuan sudah selesai, eeh ternyata belum. Ada beberapa kawan yang bertanya karena di keluarganya mulai ada yang mempermasalahkan jabat tangan laki laki perempuan yang bukan mahram.

Pendapat-pendapat ulama tentang jabat tangan laki-perempuan memang dirumuskan dalam konteks situasi dan kondisi psikologis yang memposisikan perempuan sebagai obyek penderita (maf’ul) dan dalam kondisi dimana banyak kedhaliman terhadap perempuan. Sejarah membuktikan hal itu.

Olehnya, dengan semangat “melindungi perempuan” para ulama terilhami untuk bersikap keras menutup pintu-pintu yang memberi ruang laki-laki melakukan kekerasan terhadap perempuan, seperti hukum memandang perempuan (nadrah ila al mar’ah), menyentunya (al massu wa al lamsu), berduan di tempat tersembunyi (al khalwah), berbaur aduk (al ikhtilath), dan hal lain yang berpotensi terjadinya tindakan yang pada akhirnya merugikan perempuan.

Upaya “menutup pintu-pintu” itu dalam teori ushul fikih disebut saddu ad-dari’ah, yaitu menutup pintu-pintu yang sesungguhnya tidak dilarang agar tidak mengantarkan pada hal yang benar-benar dilarang. Misalnya menutup “pintu memandang, menyentuh dan berkhalwat” agar tidak mengantarkan pada hal yang benar-benar dilarang, yaitu perzinahan.

Jadi yang dilarang hakikatnya adalah perzinahannya, bukan melihat, menyentuh dan berkhalwatnya. Melihat, menyentuh dan berkhalwah dilarang karena ia mengantar pada hal yang dilarang.

Hukum yang yang didasarkan pada “saddu ad dari’ah-menutup pintu” ini pastilah melahirkan perbedaan, karena dua hal. Pertama, karena perbedaan memastikan apakah pintu itu benar-benar, dugaan, atau hanya kemungkinan mengantarkan pada hal yang membahayakan atau tidak. Kedua perbedaan seberapa rapat pintu itu ditutup, apakah rapat rapat dan dikunci sehingga tidak mungkin dibuka lagi, ataukah longgar longgar saja, sehingga masih sangat mungkin dibuka.

Bagaimana dengan hukum berjabat tangan laki-perempuan? Ulama Syafi’iyyah menutupnya rapat rapat. Sehingga menurutnya “Haram” berjabat tangan laki-perempuan bukan mahram tanpa kecuali.

Sementara Jumhur Ulama, menutup agak terbuka, sehingga membolehkan jabat tangan laki-perempuan yang sudah kakek-nenek yang tidak punya gairah lagi. Karena, menurut mereka, sudah tidak ada “fitnah” lagi dalam menjabat tangani kakek-nenek.

Konon Imam Ahmad bin Hambal menutupnya sangat sangat rapat, sampai-sampai yang memiliki hubungan mahram pun diharamkan, kecuali ayah-ibu.

Namun mereka sepakat bahwa keharaman menyentuh dan berjabat tangan itu disebabkan karena berpotensi menimbulkan fitnah atau syahwat.

Bagaimana kalau saling menyentuh dan berjabat tangan dipastikan atau diduga tidak menimbulkan fitnah atau syahwah?

Jika menggunakan nalar Ushul Fikih, mudah menjawabnya. Hukum itu berputar sesuai dengan perputaran alasan hukumnya. Jika alasan hukumnya beputar berubah, maka hukumnya pun ya harus berubah. Berjabat tangan haram jika menimbulkan fitnah dan syahwat, jika tidak ya maka tidak haram. Begitu nalar usulnya.

Jadi sederhana, jika kita mau berjabat tangan, maka takarlah hati kita, apakah tidak akan menimbulkan fitnah dan syahwah, maka boleh. Atau hati kita berbisik bahwa jabat tangan itu akan menimbulkan fitnah dan syahwah, maka berarti otak dan hati kita memang bermasalah.

Intinya berjabat tangan laki laki perempuan hakikatnya masih diperselisihkan dikalangan Ulama. Namun Ulama sepakat bahwa membahagiakan orang laing adalah inti keberagamaan. Dan mereka juga sepakat bahwa menyakiti, mengecewakan, dan mempermalukan orang lain adalah haram.

Mendahulukan yang disepakati lebih utama dari pada bersikukuh dalam perbedaan. Wallahu A’lam. (*)

Situbondo 30 Mei 2020

Terkait

Syariah Lainnya

SantriNews Network