Waktu Imsak: Argumentasi dan Dalil Ulama Syafiiyah

Memang benar, bahwa batas waktu akhir makan sahur itu saat fajar shadiq telah muncul (azan Subuh). Namun bukan berarti syariat menganjurkan untuk kita berhenti mepet sekali dengan azan atau bahkan pas azan.
Bukan demikian yang dimaksud. Ini pemahaman tekstual terhadap dalil. Yang tepat, hendaknya seseorang telah berhenti dari makan sahur “beberapa waktu” sebelum azan. “Beberapa waktu” inilah yang diistilahkan dengan waktu imsak oleh para ulama. Kira-kira 10 sampai 15 menit sebelum azan.
Hal ini sebagai langkah ihtiyath (berhati-hati). Karena kalau mepet sekali atau bahkan pas di waktu azan, sangat berpotensi menyebabkan puasa batal. Karena mungkin ada sekian waktu (walaupun singkat, misal sekian detik atau menit) dimana seorang masih makan di waktu yang seharusnya sudah berhenti. Atau sedang makan dan minum, ternyata sudah azan. Mau tidak mau harus berhenti.
Belum lagi, kita umumnya berpedoman dengan azan, bukan melihat langsung fajar shadiq. Namanya orang azan, tentunya dia azan setelah masuk waktu. Artinya kalau azan dikumandangkan oleh muazin, itu artinya waktu subuh sudah masuk atau berjalan sekian menit. Kalau kita masih makan satu menit sebelum azan, misalnya, berarti waktu itu sebenarnya sudah masuk waktu terlarang. Belum lagi kalau muazinnya terlambat azannya.
Jadi, kondisi paling ideal dan aman, hendaknya seseorang sudah berhenti dari makan sahur di waktu Imsak, yaitu sekitar 10 atau 15 menit menjelang azan Subuh.
Di rentang waktu antara imsak sampai azan subuh bisa digunakan untuk membersihkan sisa-sisa makanan yang ada di mulut dengan gosok gigi ataupun untuk yang lain. Pas azan, sudah beres semua tinggal shalat. Dalil waktu imsak ini sebuah riwayat dari Anas bin Malik dari Zaid bin Tsabit beliau berkata:
تَسَحَّرْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، ثُمَّ قَامَ إِلَى الصَّلاَةِ، قُلْتُ: كَمْ كَانَ بَيْنَ الأَذَانِ وَالسَّحُورِ؟ “ قَالَ: قَدْرُ خَمْسِينَ آيَةً
“Kami makan Sahur bersama Nabi SAW kemudian beliau berdiri untuk shalat. Aku (Anas bin Malik) bertanya: Berapa kadar waktu antara adzan dan (selesai) makan sahur ? Dia menjawab: Sekitar lima puluh ayat”. (HR. Bukhari: 1921. Simak juga no 576).
Imam Asy-Syafi’i (w. 204 H) menganjurkan untuk berhenti makan sahur beberapa saat/waktu sebelum fajar shadiq muncul (azan). Beliau berkata:
وَاسْتُحِبَّ التَّأَنِّي بِالسُّحُورِ مَا لَمْ يَكُنْ فِي وَقْتٍ مُقَارِبٍ يَخَافُ أَنْ يَكُونَ الْفَجْرُ طَلَعَ فَإِنِّي أُحِبُّ قَطْعَهُ فِي ذَلِكَ الْوَقْتِ
“Dianjurkan untuk pelan-pelan (tidak terburu-buru) saat makan sahur selama tidak di waktu yang mendekati bahwasanya dikhawatirkan fajar (shadiq) muncul. Maka aku menganjurkan untuk berhenti dari sahur di waktu tersebut (mendekati fajar shadiq muncul)”. (Al-Umm, juz II, hlm 105).
Imam Nawawi (w. 676 H) juga mendorong umat muslim muslim untuk berhenti makan sahur ketika “sudah mendekati” azan. Kalimat “sudah mendekati” di sini menunjukkan ada jarak di antara keduanya (waktu antara berhenti makan sahur dan azan subuh). (Syarah Shahih Muslim, juz VII, hlm 208).
Imam Al-Mawardi (w. 450 H) berkata:
وزمان الصّيام من طُلُوع الْفجْر الثَّانِي إِلَى غرُوب الشَّمْس لَكِن عَلَيْهِ تَقْدِيم الأمساك يَسِيرا قبل طُلُوع الْفجْر وَتَأْخِير (الْفطر) يَسِيرا بعد غرُوب الشَّمْس ليصير مُسْتَوْفيا مَا بَينهمَا
“Waktu puasa dimulai dari terbitnya fajar (shadiq) sampai tenggelamnya Matahari. Akan tetapi hendaknya sedikit mendahulukan untuk imsak (berhenti dari makan sahur) sebelum terbitnya fajar dan sedikit mengakhirkan berbuka setelah tenggelamnya Matahari agar menjadi sempurna apa yang ada diantara keduanya”.(Al-Iqna’, hlm 74)
Imam Ad-Dusuqi (w. 1230 H) dalam Hasyiyah-nya berkata:
فَقَدْ وَرَدَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُؤَخِّرُهُ بِحَيْثُ يَكُونُ مَا بَيْنَ فَرَاغِهِ مِنْهُ وَبَيْنَ الْفَجْرِ قَدْرُ مَا يَقْرَأُ الْقَارِئُ خَمْسِينَ آيَةً
“Maka telah datang riwayat, bahwa Rasulullah SAW mengakhirkan sahur dimana jarak waktu antara beliau selesai darinya (sahur) dengan fajar shadiq adalah seukuran waktu orang membaca lima puluh ayat”.(Hasyihah Ad-Dusuki, juz V, hlm 78).
Syaikhul Islam Zakariya al-Anshari (w.926 H) berkata:
وَالسُّنَّةُ أَنْ يَكُونَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْفَجْرِ قَدْرَ خَمْسِينَ آيَةً
“Yang sunnah, antara ia (makan sahur) dengan fajar (shadiq) adalah seukuran kira-kira lima puluh ayat”. (Asnal Mathalib, juz V, hlm 324).
Adapun hadits yang berbunyi: “Apabila salah seorang dari kalian mendengar adzan dalam kondisi bejana (air minum) ada di tangannya, jangan diletakkan sampai dia menunaikan hajatnya darinya (meminumnya)”. (HR Abu Dawud)
Maksud kata “azan” di situ, adalah “azan pertama”, bukan azan kedua untuk shalat subuh. Kemungkinan kedua, itu untuk seorang yang belum yakin akan munculnya fajar shadiq. Kalau sudah yakin, maka haram. Demikian dijelaskan oleh imam An-Nawawi dalam Majmu’ Syarhul Muhadzdzab (juz, VI, hlm 311 -312).
Sehingga tidak tepat jika dikatakan bahwa waktu imsak itu bukan dari Islam, atau tidak ada dalilnya dari Nabi. Waktu Imsak itu ijtihad jumhur (mayoritas) ulama mujtahidin yang dibangun di atas dalil, sebagaimana telah berlalu penyebutan keterangannya. Alhamdulillah Rabbil ‘alamin. (*)
26 Ramadhan 1442 H