Kitab Faishal al-Tafriqah: Cara Al-Ghazali Menghadapi Takfirisme

Kitab Faishal al-Tafriqah (dan al-Munqidz min al-Dhalal) ditulis dalam konteks yang amat spesifik dalam kehidupan al-Ghazali. Kira-kira pada tahun 1106, wazir Dinasti Saljuq, Fakhr al-Mulk—putra dan penerus Nizham al-Mulk—mendesak al-Ghazali agar kembali mau menjadi guru besar Madrasah Nizhamiyah di Nisyapur.

Kala itu al-Ghazali sudah menjadi sufi, lari meninggalkan Baghdad, bersumpah meninggalkan dunia politik dan kehidupan akademik, dan mengembara sebagai seorang sufi-fakir selama dua tahun.

Di akhir pengembaraannya, ia menuntaskan magnum opusnya, Ihya’ ‘Ulum al-Din. Tetapi desakan Fakhr al-Mulk, yang tak mungkin ia tolak, menimbulkan dilema moral kepada al-Ghazali: antara harus aktif dalam dunia politik dan kehidupan akademis atau menolak jabatan tersebut sesuai sumpahnya.

Dunia politik dan kehidupan akademis di Baghdad abad ke-11 sama saja seperti di zaman sekarang. Persaingan pribadi dan intrik politik adalah makanan sehari-hari. Dan para ulama, yang semestinya menjadi agen perubahan, justru ikut-ikutan menjadi pemain dalam permainan politik yang tidak sehat ini. Al-Ghazali khawatir, dengan mengajar kembali di Madrasah Nizhamiyah, ia akan kembali terjerat dalam kehidupan politik yang hendak ia tinggalkan.

Namun pada akhirnya al-Ghazali tak bisa mengelak dari desakan sang wazir. Tak lama setelah diangkat menjadi guru besar Madrasah Nizhamiyah seperti telah diduga sebelumnya, dia pun menjadi sasaran serangan para ulama Nisyapur yang antipati kepadanya. Berbagai tuduhan dialamatkan kepadanya. Antara lain bahwa pemikirannya tentang teologi yang ia rumuskan dalam Ihya’, Misykat al-Anwar, dan karya-karya lain yang ia tulis setelah menjadi sufi, adalah menyimpang dari ajaran al-Asy’ari, pendiri Asy’ariyah yang ia anut, dan bahwa ia banyak meminjam ajaran para filsuf Muslim seperti al-Farabi dan Ibnu Sina (Avicenna).

Tuduhan yang terakhir ini ada implikasi politisnya: bila al-Ghazali terpengaruh oleh pemikiran al-Farabi dan Ibnu Sina, sementara pemikiran kedua filsuf ini banyak diserap oleh sekte Syiah Isma’iliyah Nizariyah yang merupakan musuh politis dan ideologis Dinasti Saljuq, maka keluarlah tuduhan al-Ghazali adalah seorang penganut Isma’iliyah yang sesat dan kafir sehingga tak pantas diangkat sebagai guru besar Madrasah Nizhamiyah.

Nah, Faishal al-Tafriqah ditulis sebagai pembelaan diri al-Ghazali terhadap tuduhan-tuduhan tersebut. Dalam prolog risalah ini, dengan berapi-api, al-Ghazali menyerang para penuduhnya sebagai “orang-orang dengki” yang “mentah dan dungu.”

Para penyerangnya ia tuduh sebagai orang-orang yang “tuhannya adalah nafsu; yang sembahannya adalah para sultan; yang kiblatnya adalah dinar dan dirham; yang syariatnya adalah kecerobohan dan pemujaan terhadap jabatan dan kekayaan; yang ibadahnya adalah pengabdian kepada mereka yang berpunya; yang zikirnya adalah bisikan-bisikan [setan]; yang tafakurnya adalah pencarian muslihat-hukum demi menuruti hasrat ragawi mereka.”

Bila para ulama berbeda pendapat, tulisnya, mengapa salah seorang di antara mereka dicap kafir sementara yang satunya tidak? Apa tolok ukurnya? Kalau misalnya al-Baqillani merumuskan teori tentang sifat Tuhan yang berbeda dari pemikiran al-Asy’ari, mengapa al-Baqillani yang mesti dicap kafir bukan al-Asy’ari? Kalau misalnya alasannya karena senioritas al-Asy’ari, bukankah para pemikir Mu’tazilah lebih senior daripada al-Asy’ari? Kalau misalnya karena alasan keutamaan moral atau intelektualitas, dengan tolok ukur apa kita menimbang kelebihan dan kekurangan para ulama?

Keseluruhan teks Faishal al-Tafriqah kemudian oleh al-Ghazali dicurahkan membicarakan isu ‘takfir’. Bagaimana kita membedakan seorang Muslim dari seorang kafir?

Al-Ghazali menjawab pertanyaan ini dengan rumusan sederhana: seorang Muslim adalah seorang yang percaya kepada apa pun yang disampaikan oleh Nabi Muhammad kepada kita dan seorang kafir adalah yang menolak untuk percaya. Ini berarti bahwa seorang Muslim adalah seorang yang percaya kepada dan membenarkan (tashdiq) ajaran-ajaran yang disampaikan oleh al-Qur’an dan Sunnah Nabi sementara seorang kafir adalah yang tidak mau mempercayainya.

Nah masalahnya, kata al-Ghazali, setiap Muslim pasti mempercayai semua yang diajarkan oleh al-Qur’an dan Sunnah Nabi tapi memaknai ajaran kedua sumber utama Islam ini secara berbeda. Dan kita harus toleran kepada perbedaan pemaknaan ini selama para ulama yang berbeda pendapat ini melabuhkan penafsiran mereka atas kitab suci pada argumentasi yang kokoh.

Di sinilah kemudian al-Ghazali mengemukakan teorinya tentang ‘tingkatan-tingkatan makna’ dalam teks. Setiap Muslim, tulisnya, pasti mempercayai ‘keberadaan’ wujud-wujud yang dijelaskan oleh al-Qur’an. Tapi kemudian, mereka memaknai ‘keberadaan’ wujud-wujud tersebut dalam lima tingkatan makna: (a) esensial, (b) indrawi atau, ( c) imajinal, (d) konseptual, dan (e) metaforis.

Selama seorang Muslim mempercayai al-Qur’an dan memaknai ajarannya dalam batas-batas lima makna ini, ia tidak boleh dicap kafir dan tetap dihukumi sebagai seorang Muslim.

Jadi, al-Ghazali mereduksi perbedaan doktrin dan ajaran para ulama Muslim pada perbedaan tafsir terhadap kitab suci. Kalau kita sekarang ini misalnya sering mendengar dakwah kaum salafi bahwa Allah “ada di atas langit,” itu karena mereka memaknai kata “atas” dan “langit” secara literal dan esensial; sementara para teolog Asy’ari yang menolak ajaran ini yakin bahwa kata “atas” dan “langit” harus dimaknai sebagai metafor belaka.

Sayangnya, kalangan ‘awam’ di antara dua kubu yang berselisih paham ini berpikir bahwa menolak penafsiran mereka atas kitab suci adalah menolak kebenaran ajaran kitab suci, dan mereka menuduh kafir sekte lain yang memaknai kitab suci secara berbeda dari mereka. Dan inilah biang kerok fenomena ‘takfir’ yang kerap menghantui dunia Islam sampai sekarang! (*)

Achmad Bahrur Rozi, Alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Terkait

Turats Lainnya

SantriNews Network