Singosari Kembali Kehilangan Ulama Senior

KH Tholhah Hasan (berdiri) dan KH Bashori Alwi saat menghadiri Apel Hari Santri Nasional, di Lapangan Tumapel Singosari, Kamis, 22 Oktober 2015. KH Tholhah bertindak sebagai inspektur, dan KH Bashori memimpin doa (santrinews.com/istimewa)
Kemarin, 23 Maret 2020, di antara rintik hujan dan langit sendu, Singosari berduka lagi. KH M Bashori Alwi (93) menyusul kepergian KH Tholhah Hasan dan ulama-ulama lain yang telah mendahuluinya.
Tepat saat tulisan ini saya buat, ribuan orang sedang melangsungkan shalat jenazah untuk Kiai Bashori di masjid depan rumah.
Baca juga: Innalillah, Sang Maestro Al-Quran KH Bashori Alwi Wafat
Tiba-tiba saya teringat petuah almarhum Kiai Tholhah. Suatu hari di Bulan Syawal 1439 H/2018 M, saya sowan KH Tholhah Hasan. Kira-kira setahun sebelum Kiai Tholhah wafat pada 29 Mei 2019.
Kala itu, Kiai Tholhah bercerita bahwa Singosari termasuk salah satu kecamatan di Malang, Jawa Timur yang mempunyai banyak pesantren di Indonesia. Rata-rata sudah tua.
Karena itu, perlu ada pesantren-pesantren baru di Singosari, agar ada generasi penerus. Harus bermunculan banyak ulama di Singosari, karena kiai-kiai yang sepuh sudah banyak yang meninggal.
“Saya (Kiai Tholhah Hasan), Kiai Bashori (Pengasuh Pondok Pesantren Ilmu Quran), sama Kiai Manan (Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Huda) itu selisih umurnya tak terlalu jauh. Paling bedanya cuma 5 tahun, atau belasan tahun. Kiai Manan sudah lama duluan gak ada. Tinggal saya sama Kiai Bashori,” dawuh Kiai Tholhah kepada saya dan tiga orang lainnya.
Secara usia, Kiai Bashori lebih tua dibanding Kiai Tholhah. “Tapi ya gak tau nanti duluan siapa. Saya hanya bisa menjalani takdir,” kata Kiai Tholhah.
Kiai Tholhah lalu memberikan petuah agar yang muda-muda banyak ngangsu kaweruh ke Kiai Bashori. “Mumpung beliau (Kiai Bashori) masih ada kesempatan buat ngajarkan ilmunya. Serap ilmu beliau sebanyak-banyaknya, supaya nanti bermunculan tokoh-tokoh muda yang ilmu agamanya mumpuni dan bisa menjadi pengganti ulama-ulama yang sudah kapundut (wafat) duluan.” Kiai Tholhah lalu terdiam dan terisak perlahan.
Petuah itu masih terngiang. Dan menjadi pe-er hingga saat ini. Pesan-pesan yang beliau sampaikan masih tetap sama. Tetap diselingi guyon dan petuah.
Baca juga: Mengenang KH Tholhah Hasan, Imam Ghazalinya Indonesia
Saat mendengar kepergian ibuku, beliau sangat sedih. Ketika saya mengantarkan hantaran makanan kirim doa untuk ibu, beliau sempat terisak. Lalu mengucap doa lirih, dan saya aminkan saja. Saya yakin bahwa doa baik yang beliau panjatkan.
Alhamdulillah, saat sowan beliau masih mengingat saya meski dengan sedikit clue, maklum memang jarang bertemu dan usia beliau sudah di atas 80 tahun.
Entah pembicaraan kami mengarah ke mana waktu itu. Tiba-tiba beliau juga menyampaikan bahwa setiap pola kehidupan itu punya rasa. Kita bisa merasakannya. Baik buruknya, nyaman tidaknya, tulus atau ada maksud lain di baliknya, semuanya kita bisa merasakannya. Tetapi kadang kita tidak peka. Sudah ada tanda-tandanya, tapi kita masih tidak percaya.
Allah menciptakan sesuatu itu tidak selalu tampak nyata secara fisik, tapi seringkali hanya melalui tanda-tanda saja. Tergantung kita peka atau tidak, meyakini atau tidak.
Dengan santai beliau ngobrol panjang lebar sambil diselingi guyon. Di akhir pembicaraan tak lupa seperti biasa beliau menyisipkan doa khusus plus amanah (instruksi sekaligus sinyal) yang harus disegerakan.
Kini, Kiai Bashori telah tiada. Selamat jalan, Kiai Bashori. Selamat bertemu Kiai Tholhah dan ulama-ulama lainnya di Surga.
Semoga Allah SWT menjadikan ilmu agama yang panjenengan ajarkan selama ini juga amalan shalih lainnya sebagai perantara langkah panjenengan ke Surga-Nya. Amin. (*)
Singosari, 24 Maret 2020