Santri dan Jihad Peradaban

“barang siapa yang ingin kemuliaan dunia maka perolehlah dengan ilmu dan barang siapa yang ingin kemuliaan akhirat perolehlah dengan ilmu dan barang siapa yang mendambakan keduanya maka perolehlah dengan ilmu” (Hadis Nabi).
Setelah kesempatan saya menginjakkan kaki di Amsterdam, Belanda, saya mendapati satu hal yang membuat saya shock. Ternyata Belanda itu kecil. Luas total negara Belanda itu hanya 42.508 kilometer persegi atau masih lebih luas provinsi Jawa Timur yang mencapai 47.927 meter persegi.
Lah, dalam hati saya berkata, “bagaimana mungkin negara sekecil ini bisa menguasai Indonesia yang luasnya hampir menyamai luas Eropa?!”. Bagi saya saat itu, rasanya itu adalah hal mustahil untuk dilakukan.
Diam-diam saya menyimpan pertanyaan ini hingga saya bertemu dengan seorang kawan dari London, Inggris, bernama Alexander Newman. Kepadanya saya bertanya, “Alex, bagaimana menurut pandanganmu, kenapa Indonesia yang begitu luas bisa dikuasai oleh Belanda yang kecil?”. Si Alex saat itu menjawab dengan santainya,” IT, Ilmu dan teknologi”. Dalam hati saya langsung mengiyakan pernyataan Alex tersebut, bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi pembedanya di sini.
Di saat lain di sudut lain dunia, yaitu di Australia, di mana saya sedang meneliti Islam tradisional dan sedang menyelesaikan tesis doktoral saya di bidang antropologi pesantren. Saat saya sedang mencari bahan bacaan, saya mendapati buku-buku bagus untuk penelitian saya tersebut tapi saat melihat bahasanya saya langsung sedih karena saya tidak dapat membacanya. Sebabnya sederhana yaitu buku-buku tersebut ditulis dengan menggunakan bahasa Belanda. Masalah sederhana yang tidak dapat saya pecahkan secara sederhana karena belajar bahasa hingga dapat menikmati tulisan bahasa tersebut butuh waktu bertahun-tahun.
Kontan, pernyataan Alex menggema di benak saya bahwa Belanda punya konsen yang bagus dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. bahkan termasuk dalam hal ilmu-ilmu sosial.
Santri dan Peradaban
Saya jadi teringat kata Nurcholis Madjid dalam buku Bilik-Bilik Pesantren, seandainya kita tidak dijajah, bisa jadi perguruan tinggi terkemuka yang ada di Indonesia bukanlah UI, UGM, Unair, dan lain sejenisnya. Bisa jadi yang ada adalah unversitas Tebuireng, Universitas Krapyak, Universitas SIdogiri, dan Universitas-universitas yang berbasis pesantren lainnya.
Hal ini dinyatakan Nurcholis Madjid karena di bagian dunia lain, universitas-universitas terkemuka dunia itu lahir dari “pesantren-pesantren” tradisional seperti Universitas Harvard di Amerika yang didirikan oleh seorang pendeta bernama Jhon Harvard, universitas Oxford di Inggris yang dulunya juga didirikan oleh seorang pendeta, universitas McGill yang pula didirikan oleh pendeta, dan banyak universitas lain di belahan benua Amerika dan Eropa yang memiliki sejarah yang sama.
Semua universitas itu dahulunya adalah “pesantren” tapi seiring berjalannya waktu mereka kemudian menjadi universitas dan mengambil peran penting di dunia saat ini.
Sayangnya, pesantren di tempat kita, karena perang dan penjajahan yang begitu lama membuat pesantren terpaksa masuk ke dalam untuk menghindari gesekan dengan Belanda, maka jadilah pesantren kita hari ini tidak dapat memainkan peran seperti layaknya universitas-universitas terkemuka tersebut tapi perannya lebih banyak diambil universitas-universitas yang bertumpu pada sejarah Belanda di negeri ini.
Oleh karena itu, menurut saya, apa yang dilakukan oleh santri dengan semangat juang yang tinggi untuk terus menuntut ilmu adalah sesuatu yang benar dan layak dipertahankan. Kita masih ingat bagaimana dalam tragedi perahu tenggelam yang menewaskan 7 santri Langitan, di saku salah satu korban, terdapat kitab Imrithi. Pertanda ia sedang belajar ilmu gramatikal Arab.
Saya juga jadi teringat di mana sering kali dahulu kala, saya lihat kiai saya di pesantren Bata-bata selalu membawa pena di saku bajunya. Usut punya usut, ternyata itu pertanda bahwa ia juga masih menyatakan dirinya sedang belajar atau dalam istilah pesantren disebut sebagai talibul ilmi.
Hal itu ternyata bukan hanya saya dapati di kiai saya saja, saya lihat juga ada pena di saku baju Kiai Nasir Tambakberas, Kiai Abdullah Faqih Langitan, Kiai Masbukhin Suci Gresik, saya lihat pula di saku baju Gus Solah Tebuireng, dan banyak saku baju para kiai di Indonesia. Saya jadi teringat pula kata ustaz saya di pesantren, “bawalah selalu pena, semga dengan demikian kau terhitung sedang menuntut imu dan jika kau meninggal maka sahid di sisi Tuhan”.
Inilah menurut saya peradaban yang sedang dibangun oleh para kiai dan semangatnya ditularkan kepada santri. Saya jadi teringat sebuah pesan dari hadis Nabi yang lain, “tuntutlah ilmu dari mulai buaian ibu sampai kelak kau masuk masuk ke liang lahat”.
Sayangnya, hadis ini saat ini saya rasa banyak diamalkan oleh orang-orang Eropa dan Amerika. Budaya membaca buku misalnya sangat kentara sekali bedanya antara kita di Indonesia dengan mereka di Eropa. Di Eropa untuk mengisi kesenggangan orang biasa membaca buku, tapi di Indonesia untuk mengisi kesenggangan seringkali kita hanya mengisisnya dengan menonton tivi setiap hari atau mengerjakan aktifitas yang jauh dari budaya membaca.
Oleh karena itu, santri dalam hal ini menurut saya bisa menjadi pioner peradaban di Indonesia. Saya berjumpa dengan banyak orang Indonesia di luar negeri yang sedang belajar tentang berbagai hal, dan banyak di antara mereka yang mempunyai latar belakang santri.
Saya lihat dalam jiwa mereka adalah semangat keingintahuan yang besar, ada penghargaan yang begitu besar terhadap ilmu pengetahuan. Melihat mereka saya jadi merasa bahwa bukan tidak mungkin suatu saat kita akan berdiri sejajar dengan negara-negara maju di seluruh dunia dan memainkan peran yang sama baik untuk menuju dunia yang bermartabat. (*)
Iksan K. Sahri, Dosen STAI Al Fitrah Surabaya, saat ini sedang belajar di Australian National University pada kajian Political Anthropology Pesantren.