Bom Bunuh Diri, Jihad Orang Sakit Jiwa

Pelaku bom bunuh diri atas masyarakat tak berdosa adalah orang yang menderita sakit jiwa. Hanya orang yang jiwanya sakit yang bangga dan tertawa cengengesan melihat para korban bergelimpangan. Hanya penderita sakit jiwa yang mau mati dengan mematikan orang lain yang tidak ada sangkut pautnya dengannya.

Bukan hanya pelaku bom bunuh diri saja yang mengidap sakit jiwa. Orang-orang yang tidak memiliki empati atas kejadian teror kemanusiaan ini juga sejatinya menderita sakit jiwa.

Para tokoh politik dan agama yang diam seribu bahasa menyaksikan aksi terorisme dan bahkan dengan entengnya menyebut “tragedi Samarinda” sebagai “pengalihan isu” juga pada hakikatnya menderita sakit jiwa. Karena hanya orang sakit jiwa yang tidak tersentuh melihat korban kekerasan dan terorisme.

Para tokoh masyarakat yang membisu dan mengabaikan kasus terorisme di Gereja Oikumene Samarinda yang menelan korban anak-anak dan orang-orang tak berdosa, sementara di pihak lain begitu sibuk ngurusi kasus politisasi “Ahokgate” adalah orang yang sakit jiwa.

Sakit jiwa ini bisa karena jiwa-raganya dipenuhi dengan “nafsu keduniaan” atau bisa jadi lantaran hati dan pikirannya telah penuh-sesak dengan “sampah-sampah” ajaran dan pemahaman ideologi-keagamaan tertentu.

Orang yang jiwanya waras serta hati dan pikirannya sehat, mereka akan mendidih melihat kasus-kasus kekerasan terorisme dan melakukan berbagai upaya untuk mencegah pengulangan tindakan biadab ini di masa mendatang.

Orang yang hati-nuraninya masih berfungsi normal, mereka akan melihat kasus terorisme sebagai kriminalitas kemanusiaan: siapapun pelakunya, siapapun korbannya.

Jihad seharusnya dikibarkan untuk melawan para penjahat kemanusiaan, para garong dan koruptor, para kriminal agama, dan kaum teroris yang bodong wudelnya. Jihad seharusnya dikibarkan untuk menangkal para begundal politik dan agama yang mengacaukan tatanan kenegaraan, kebangsaan, dan keagamaan.

Jihad seharusnya dilakukan untuk memerangi pribadi-pribadi yang rakus bin serakah yang hidupnya penuh sesak dengan nafsu politik-kekuasaan duniawi.

Jihad seharunya dilakukan untuk menata dan memperbaiki dunia beserta isinya agar damai, tenteram, dan sejahtera. Dengan kata lain, jihad seharusnya sebagai “way of life” (untuk menata kehidupan agar lebih baik) bukan “way of death” (untuk persiapan kematian di alam akhirat).

Pelaku pengeboman bunuh diri yang mengenakan kaos bertuliskan “Jihad Way of Life” sebetulnya sudah benar tapi sayang caranya keliru. Mungkin dia tidak paham apa itu makna “JIhad Way of Life”.

Jihad yang dilakukan dengan cara bunuh diri hanya akan membuahkan penyesalan para pelaku di alam baka karena bukan 72 bidadari yang cantik-jelita yang kelak akan mereka temui melainkan 72 “Mak Lampir” yang akan menemani mereka.

Apapun alasannya, terorisme dan bom bunuh diri adalah tindakan haram dan biadab. Ulama terkemuka Shaikhul Islam Muhammad Tahir-ul-Qadri dalam 600 halaman bukunya berjudul “Fatwa on Terrorism and Suicide Bombing” sudah menjelaskan panjang-lebar tentang “jalan sesat” terorisme dan bom bunuh diri ini sehingga tidak perlu saya ulangi disini. Mari kita sama-sama berdoa untuk para korban kejahatan kemanusiaan ini. (*)

Jabal Dhahran, Arabia

Terkait

Opini Lainnya

SantriNews Network