Refleksi Tenggelamnya Santri Langitan
Pesantren, Sungai, dan Jihad Damai Santri
Salah seorang santri sedang menghafal Al-Quran di pinggir kali (santrinews.com/ist)
Jika kita perhatikan, pesantren-pesantren besar yang didirikan sejak sebelum masa kemerdekaan biasanya didirikan di dekat sungai. Alasannya simpel, karena di sungai, kebutuhan dasar manusia berupa air berada.
Beberapa pesantren besar tradisional yang saya tahu terletak di dekat sungai diantaranya adalah Pesantren Banyuanyar Pamekasan yang berdiri pada tahun 1787, Pesantren An-Nuqayah Guluk-guluk Sumenep yang didirikan pada 1887, Pesantren Bata-bata Pamekasan yang berdiri pada 1943, Pesantren Kepang Bangkalan di tahun 1900-an, Pesantren Tambakberas Jombang yang berdiri pada tahun 1838, pun begitu pula dengan Pesantren Langitan Tuban yang berdiri pada 1852, dan banyak lagi pesantren lainnya.
Misteri Sungai
Faktor sungai adalah faktor strategis bagi kalangan pesantren untuk memulai sebuah lembaga dakwah dan pendidikan baru di tempat tertentu. Dengan berada di dekat sungai, maka setidaknya pada masa dahulu kala, kebutuhan kiai dan para santri menjadi terpenuhi.
Sungai, layaknya masyarakat tradisional lain di seluruh dunia, bagi banyak masyarakat tradisional di Indonesia adalah kekayaan dan tempat yang ideal. Air sungai bisa diambil untuk minum, bisa digunakan untuk mandi dan mencuci, sedangkan ikannya bisa digunakan sebagai lauk untuk makan.
Akan tetapi, layaknya kekuatan alam lainnya, sungai juga menyimpan banyak misteri. Mulai dari airnya yang tiba-tiba pasang, hingga pusaran air yang sering kali tidak terdeteksi dan muncul hilang dengan sendirinya.
Dalam pengembaraan saya dari satu pesantren ke pesantren lainnya, cerita tentang santri tenggelam saya temukan hampir di semua pesantren yang saya sebutkan di atas.
Baru-baru ini, masyarakat pesantren dihebohkan dengan berita tenggelamnya 7 santri Langitan di penyeberangan Bengawan Solo, tak jauh dari pesantren. Saat peristiwa itu terjadi dilaporkan setidaknya 25 santri ikut perahu kecil yang sering pula disebut dengan gethek untuk menyeberang Bengawan Solo.
Saat ini dimana Indonesia sedang memasuki musim hujan, sungai Bengawan Solo memang sedang pasang dan arus airnya besar. Bengawan Solo sendiri adalah sungai sepanjang 549 km menjadikannya sebagai sungai terpanjang dan terbesar di pulau Jawa. Yang keberadaannya mengilhami Gesang untuk menciptakan lagu dengan judul serupa dan mengilhami banyak kisah manusia di Jawa dalam setiap perjalanan waktu.
Langitan adalah pesantren yang berada di tepi sungai Bengawan solo sejak didirikan oleh Mbah Nur. Pada masanya, pesantren Langitan malah berada di bibir sungai. Disebut juga sebagai pondok kidul akan tetapi karena peristiwa banjir bandang yang terjadi di Bengawan Solo dan agar tidak terjadi kembali, maka pada masa generasi ketiga pesantren Langitan dipindah sekitar 200 meter ke sebelah utara dari tempat semula dan di kemudian hari dibangun pembatas antara pesantren Langitan dan sungai untuk menghindari banjir dan abrasi sungai.
Sejak dipindah ke lokasi baru, Langitan juga mencari sumber air baru dibanding menggunakan air sungai secara langsung. Akan tetapi, hubungan santri Langitan dengan sungai bukannya berhenti. Sering kali sungai menjadi tempat hanya untuk sekedar melepas penat dari kegiatan sehari-hari menghafal Alfiyah Ibnu Malik atau bahkan Bengawan solo menjadi tempat yang menarik untuk hanya “tikrar” atau mengulang-ulang bacaan sebelum setor ke para ustadz.
Di Bengawan Solo juga masih terdapat transportasi penyeberangan tradisional. Transportasi ini tidak dilengkapi dengan alat keselamatan apa pun layaknya transportasi air seharusnya dan sampai saat ini beroperasi tanpa intervensi pemerintah daerah yang lebih fokus pada pengembangan transportasi darat.
Jihad Damai Santri
Selayaknya kejadian tentang kematian, begitu pula dengan cerita tenggelamnya 7 santri Langitan. Salah satu korban tenggelam, Lujaini Ad-Dani misalnya saat ditemukan meninggal, di saku bajunya masih terdapat kitab “Nadham Imrithy” karya Shaikh Sarafuddin Yahya.
Menurut keterangan kawan-kawannya ia memang sedang menghafal kitab nadham tersebut. Keinginannya yang gigih membuatnya membawa kitab tersebut ke mana-mana dan enggan untuk pulang ke rumah sebelum menghafal kitab tersebut.
Cerita kedua datang dari korban lainnya, Abdullah Umar. Menurut para saksi, ia meninggal dalam heroisitas, ia ikut terseret air setelah mencoba menolong adik dan kawannya yang tenggelam.
Dalam dunia pesantren, mereka percaya bahwa orang yang meninggal dalam usaha mencari ilmu adalah meninggal dalam keadaan sahid. Kelak di akhirat mereka tidak perlu melalui perhitungan amal yang disebut yaumul hisab yang sangat jelimet dan ditakuti orang tersebut. Inilah yang kemudian oleh Antropolog Amerika Serikat disebut sebagai Jihad damai.
Refleksi
Terlepas dari itu semua, saya kira kita semua sepakat bahwa sudah selayaknya pemilik regulasi yaitu pemerintah pusat dan pemerintah daerah mulai memperhatikan keberadaan transportasi sungai yang sudah ada sejak lama. Ketimpangan kebijakan yang berorientasi darat membuat pertumbuhan kendaraan di darat tumbuh dengan pesat dan transportasi sungai tak ada perubahan sama sekali dalam sejarah 71 tahun kemerdekaan Indonesia.
Malah, jika melihat dari dokumen-dokumen yang ada pada masa Hindia Belanda, transportasi air kita cenderung melemah dan terbengkalai. Walau terkesan terlambat, setidaknya itu jauh lebih baik dibanding tidak sama sekali. (*)
Ihsan Kamil Sahri, Dosen STAI Al Fitrah Surabaya, saat ini sedang belajar di Australian National University pada kajian Political Anthropology Pesantren.