Ahok Korban Politik Identitas
Jakarta – Politik identitas yang menguat pascareformasi menjadi penumpang gelap dalam kasus dugaan penistaan agama oleh Basuki Tjahja Purnama atau Ahok. Mobilisasi massa pun mudah karena hal tersebut. Kecenderungannya aparat penegak hukum akan tunduk pada desakan massa dalam kasus semacam itu.
“Tren politisasi identitas yang irisannya dengan penodaan agama menguat. Dengan mudah memobilisasi massa untuk mendapatkan dukungan ataupun menundukkan lawan,” kata Direktur Riset Setara Institute Ismail Hasani dalam diskusi bertema Penodaan Agama dan Penebaran Ujaran Kebencian Dalam Perspektif HAM di Jakarta, Selasa, 15 November 2016.
Irisan politik identitas dengan kasus penistaan agama (dengan memakai Pasal 156a UU KUHP) tampak dari lonjakan jumlah kasus. Sebelum reformasi 1998, jumlah kasus penodaan agama mencapai 15 kasus. Pascareformasi, jumlahnya meningkat menjadi lebih dari 50 kasus.
“Padahal, politik hukumnya pasal itu dan Pasal 156a UU KUHP tidak untuk itu asalnya, tetapi untuk memproteksi dari aliran kebatinan yang marak waktu itu,” jelasnya.
Menurut Ismail, dalam kasus Ahok politik identitas dimainkan salah satu pihak yang ikut unjuk rasa 4 November, yakni para petualang politik yang bermain dengan isu agama demi kepentingan kelompok dan pribadinya. Mereka memanas-manasi umat yang murni merasa tersinggung.
Senior Advisor HRWG Choirul Anam menjelaskan ada cacat norma pada Pasal 156a UU KUHP yang digunakan untuk menjerat penista agama. Pasal tersebut dasar normanya ada pada UU Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Acuannya, perasaan tersinggung. Bukan adanya tindakan materiil.
Choirul mengatakan UU tersebut pernah ditanggapi MK sebagai yang konsitusional bersyarat setelah ada gugatan dari pihaknya pada 2008. Artinya, ada kecenderungan inkonstitusional dalam banyak kondisi. MK pun memerintahkan untuk revisi, yang sayangnya belum dilakukan hingga kini.
Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (Lakpesdam PBNU) Rumani Ahmad mengakui kecenderungan tekanan massa kepada aparat penegak hukum dapat memengaruhi proses penegakan hukum kasus penistaan agama.
Direktur Imparsial Al Araf pun berharap momentum revisi UU KUHP dapat digunakan untuk memperbaiki persoalan penistaan agama agar tak rentan dipolitisasi.
Ancaman Serius
Sosiolog UGM Arie Sudjito mengatakan saat ini kehidupan demokrasi di Indonesia tengah mengalami ancaman serius. Arie menyebut ancaman itu berasal dari blok politik tertentu yang tengah bermanuver dengan berbagai isu memanfaatkan elemen-elemen masyarakat sipil.
Arie menyebut isu dugaan penistaan agama oleh Ahok beralih menjadi upaya-upaya untuk menggulingkan pemerintahan Presiden Joko Widodo.
“Dinamika yang sejauh ini mengalami pembelokan yang luar biasa. Arah yang makin terasa sudah keluar dari jalurnya,” ujar Arie dalam diskusi Penegakan Hukum dan Dinamika Proses Demokrasi Indonesia di Jakarta.
Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian Alissa Wahid menambahkan demokrasi dibangun bukan berdasarkan kehendak mayoritas, melainkan harus berdasarkan konstitusionalitas.
“Tidak dengan cara pandang mayoritas atau banyak-banyakan siapa mendukung apa, tapi konstitusinya mengatakan apa dan bagaimana, itu yang ditegakkan,” ucapnya. (us/mi)