KH Hariri Abdul Adhim, Sosok Ulama Sufi Pemangku Mahad Aly Sukorejo

Unik dan menarik, demikianlah ungkapan sederhana untuk mengungkap perjalanan hidup kiai yang bernama lengkap KH Achmad Hariri Abdul Adhim bin Abdul Adhim tersebut.

Bayangkan saja, semula ia termasuk orang yang tidak suka mondok. Tapi jalan hidup menentukan lain, ia rela melepas baju sekolah SMA dan berganti mondok.

Bahkan akhirnya, ia menjadi wakil pengasuh bidang maaliyah Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo Jawa Timur dan sebagai mudir Ma’had Aly Situbondo.

Beliau lahir di Bulu Lawang, sebuah daerah di kota Malang pada 08 Maret 1956. Sedari kecil, putra dari pasangan Abdul Adhim dan Hj Nadhiroh ini tidak dididik dan dibesarkan oleh orang tuanya sendiri. Hal ini tentu berbeda dengan kebanyakan orang yang pada biasanya tumbuh berkembang dalam dekapan manis kedua orang tuanya.

Karena diasuh oleh orang lain sejak kecil sampai dewasa, maka jalur pendidikan yang ditempuh pun berbeda dengan saudara-saudaranya yang lain. Ketika saudara-saudaranya dimasukkan ke madrasah dan beberapa pondok pesantren oleh sang ayahanda tersayang, kiai Hariri harus menempuh pendidikan umum di Malang mulai dari tingkat Sekolah Dasar (SD) sampai tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA).

Singkat cerita, sekitar tahun 1972-1973, riwayat pendidikannya kandas dan berubah haluan. Kiai Hariri menuturkan bahwa pada saat kelas dua SMA, ayahanda dari Lora Abdurrahman al-Kayyis ini bertemu dengan salah seorang Kiai dari kota Pasuruan. Kiai tersebut menyarankan agar berhenti sekolah dan lebih baik mondok.

Sembari menunjukkan keheranannya, beliau bertanya: “Lho kok bisa saya harus berhenti sekolah dan harus mondok?” Lantas sang Kiai menjawab dengan penuh keyakinan, “Kalau kamu mondok lewat dari tahun ini, maka kamu akan menjadi pedagang”.

“Mondok dimana Kiai?,” tanya Kiai Hariri penuh penasaran. “Kamu mondok di Kiai Musta’in Romli Jombang aja.”

Namun Kiai Hariri memberikan opsi yang lain, “Bagaimana kalau mondok di Nurul Jadid Kiai?” Akhirnya sang kiai memberikan izin.

Mempertimbangkan saran tersebut, urun-rembuk dan sharingpun dilakukan bersama sanak family dan handai taulan.

Selama menempuh pendidikan di Nurul Jadid Paiton Probolinggo, suami dari almarhumah Nyai Hanik ini mempunyai cita-cita untuk sekolah ke Timur Tengah, ingin ikut seminar-seminar internasional, dan ingin jadi dosen.

Syukur Alhamdulillah! asa tersebut nampaknya bakalan terwujud, tidak lama berselang, ternyata beliau ditunjuk oleh Kiai Hasyim Zaini (sang pengasuh kala itu) sebagai salah seorang santri yang akan mendapatkan beasiswa dari Nurul Jadid untuk dikirim ke Timur Tengah.

Guna melengkapi persyaratan secara administratif, Kiai Hariri muda diberi deadline selama sepuluh hari untuk mengurusi dan mengumpulkan itu semua. Seperti akte, keterangan tak pernah terlibat dalam narkoba, surat keterangan tidak terlibat dalam G/30 S PKI, dan transkrip nilai serta ijazah.

Dengan semangat yang menggebu-gebu, akhirnya semua administrasi dapat diselesaikan dalam hitungan yang relatif singkat. Namun sangat disayangkan, ketika semua berkas-berkas tersebut hendak dikirim ke Jakarta, ternyata di luar dugaan, semua berkas tersebut hilang.

Akhirnya, pupus sudah harapannya untuk melanjutkan studi ke Timur Tengah. Tetapi dibalik kegagalan studi ke Timur Tengah, ternyata Allah Swt telah merencanakan sesuatu yang jauh lebih berarti untuk masa depan beliau.

Hikmah yang dapat dipetik ternyata Allah Swt telah mengganti kegagalan tersebut dengan kehadiran Nyai Hanik untuk dipersunting sebagai isteri. Karena pada saat waktu yang bersamaan, pasca kegagalan studi ke Timur Tengah, ternyata almarhumah Nyai Umi Hanik gagal juga untuk dipersunting oleh putra Kiai Zaini. Sehingga Almarhumah Nyai Hanik dipersunting oleh Kiai Hariri Abdul Adhim.

Sadar akan latar belakang pendidikannya adalah pendidikan umum, maka ketika mondok, beliau banyak belajar ilmu-ilmu dasar bahasa Arab secara otodidak. Metode belajar yang digunakan adalah menghafal.

Jadi selama mondok, beliau sering menghafal beberapa materi mata pelajaran, wabil khusus ilmu nahwu dan sorrof. Saking semangatnya menghafal, beliau mengakui kalau jarang sekolah lantaran keasyikan menghafal pada waktu-waktu sekolah.

Berkat usaha yang gigih, akhirnya pada 1978 beliau dapat menyelesaikan studi di Fakultas Dakwah IAI Nurul Jadid Paiton Probolinggo.

Secara kepribadian, pengagum Syekh Abdul Qadir Jailani ini merupakan salah seorang kiai yang masyhur di masyarakat sebagai sosok kiai yang sufistik.

Tidak heran jika selama mengajar di Ma’had Aly, kitab yang istiqomah dibaca untuk para santrinya adalah Kitab Ihya’ “˜Ulumiddin karya Hujjatul Islam Muhammad bin Muhammad Abu Hamid al-Ghazali.

Beliau mulai tertarik dengan dunia tasawuf sejak usia 20 tahun. Tertarik dengan ilmu tasawuf karena wawasan tasawuf adalah Allah Swt, pembersihan jiwa, hati, dan roh. Ilmu tasawuf itu bersifat amaliyun (perbuatan manusia), sedangkan ilmu fiqh bersifat _“˜ilmiyun_ (pengetahuan).

Kiai Hariri secara intensif mengajar ilmu tasawuf Imam Ghazali di Ma’had Aly karena ilmu tasawuf mempunyai peran yang sentral dalam membentuk kepribadian seseorang, khususnya santri Ma’had Aly. Kajian fiqh-ushul fiqh yang menjadi konsentrasi santri Ma’had Aly harus diimbangai oleh pembelajaran tasawuf.

Imam Malik mengatakan:

من تصوف ولم يتفقه فقد تزندق, ومن تفقه ولم يتصوف فقد تفسق, ومن جمع بينهما فقد تحقق

“Barang siapa yang mendalami ilmu tasawuf tanpa diimbangi oleh ilmu fiqh, maka akan zindiq, dan barang siapa yang mendalami ilmu fiqh namun tidak diimbangi dengan ilmu tasawuf, maka akan fasiq. Barang siapa yang mengumpulkan keduanya (fiqh dan tasawuf) maka sungguh akan benar.”

Sosok beliau sebagai seorang sufistik sekaligus pengajar ilmu tasawuf mempunyai peran yang sangat urgen (penting) dalam membentuk pribadi kader ahli fiqh yang paripurna di Ma’had Aly karena wawasan fiqh harus diimbangi oleh wawasan tasawuf.

Secara umum, tasawuf itu adalah suatu ilmu yang membahas dan membicarakan tentang penyakit dari beberapa penyakit-penyakit jiwa. Seperti sombong, ambisi, tidak percaya kepada Allah Swt, tidak percaya pada kebenaran al-Qur’an, suka melakukan perbuatan maksiat serta dosa, riya’, meremehkan orang lain, dan sebagainya.

Ilmu tasawuf juga menjelaskan tata cara membersihkan jiwa dari sifat-sifat yang jelek tersebut dengan petunjuk al-Qur’an, dengan nasehat agama, dan  dengan amar ma’ruf nahi mungkar (menyeru terhadap kebaikan dan melarang terhadap perbuatan keji) serta di dalamnya juga dibahas tata cara bagaimana seseorang itu bisa sampai kepada Allah swt. Karena tidak semua orang bisa sampai kepada Allah Swt.

Secara khusus, tasawuf itu bisa menyampaikan seseorang dari tingkat syari’at menuju tingkat hakikat. Untuk bisa sampai ke tingkat hakikat, mulai dari level syari’at seseorang harus melewati jalan thariqat.

Oleh karena itu, seseorang yang ada dalam tingkatan syari’at itu disebut thālib atau murid. Di dalam tingkatan thālib ini, seseorang harus mempelajari ilmu syari’at secara sempurna seperti bagaimana cara shalat, puasa, haji dan lain sebagainya. Melaksanakannya pun harus benar-benar sesuai dengan tuntunan syari’at.

Setelah syari’at seseorang benar-benar telah sempurna dan mapan, maka seseorang akan naik tingkatan menuju tingkatan thariqat.

Orang yang ada dalam tingkatan thariqat ini disebut sālik. Disebut Sālik karena orang yang berada dalam level thariqat ini adalah orang yang sedang menempuh jalan.

Jadi, kalau dalam level syari’at, seseorang beribadah kepada Allah Swt hanya terbatas pada bagaimana cara dia beribadah kepada Allah Swt. Sedangkan orientasi ibadah dalam level thariqah adalah lebih tinggi dari syariat yakni al-qasdhu artinya menuju kepada Allah Swt.

Dalam tingkatan thariqah ada perjalanan rohani menuju Allah swt dan ini dibimbing oleh seorang mursyid thariqah. Ibadahnya seorang sālik bukan semata-mata al-qasdhu tapi sudah menuju kepada Allah Swt dengan bimbingan dan pengarahan dari seorang mursyid.

Kalau seseorang sudah sampai kepada Allah Swt maka dinamakan wāshil, perjalanannya dinamakan wushul, dan ketika sampai kepada Allah Swt itu disebut hakikat.

Ketika seseorang sudah sampai dalam tingkat hakikat ini, maka orang tersebut akan dikaruniai tiga hal, yakni muraqabah, musyahadah, dan ma’rifat.

Secara khusus, ilmu tasawuf adalah bagaimana seseorang bisa sampai kepada Allah Swt melalui ibadah yang penuh dengan taat (imtitsāl), taqarrub ilallah (mendekatkan diri dengan tuhan) dan kesemuanya itu harus mengikuti Nabi Muhammad Saw. Semua ini juga harus ditempuh dengan cara mengikuti Nabi.

Kalau maqam al hubbub fillah (dalam posisi mencintai Allah Swt) itu harus bisa dibuktikan dengan cara mengikuti segala sesuatu yang disyari’atkan oleh Allah Swt melalui nabi-Nya. Seperti shalat, puasa, haji dan lain sebagainya.

Orang yang mengatakan dirinya cinta kepada Allah Swt namun shalatnya tidak sama dengan nabi, maka itu semua adalah bohong besar karena ini merupakan implementasi dari firman Allah Swt yang berbunyi:

قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ الله فاتبعوني يُحْبِبْكُمُ الله  [ آل عمران : 31 ]

“Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang“ (QS. Ali Imran [03]: 31).

Mengomentari ayat ini, menukil Ibnu Mundzir dalam tafsirnya “Tafsîr ibnu Mudzir“ juz I halaman 196, ayat ini menjelaskan bahwa mengikuti Allah swt dan nabi-Nya merupakan bukti konkrit dari wujud kecintaan kepada Allah Swt. Sehingga dusta orang yang mengaku cinta kepada Allah Swt, namun dia tidak mengikuti jalan-Nya.

Untuk mematangkan ilmu tasawufnya, beliau secara khusus belajar kepada para masyaikh yang memang benar-benar pakar di bidangnya. Para masyaikh yang menjadi gurunya dalam bidang tasawuf sangat banyak sekali walaupun sebagian besar sudah wafat.

Para guru Tasawuf Kiai Hariri diantaranya, Almarhum KH Zaini Abdul Mun’im (Pendiri Ponpes Nurul Jadid), almarhum KH Hasyim Zaini, almarhum Habib Abdullah bin Abdul Qadir Bifaqih (Pengasuh Ponpes Darul Hadits, Kota Malang), almarhum KH Abdul Hamid Pasuruan, dan KH Fadlurahman, Banyuwangi, serta pernah belajar ke Kiai Fadhal yang konon ceritanya, Kiai Fadhal ini adalah salah satu orang yang  mengaji langsung kepada imam Abu Hamid al-Ghazali dengan cara birruh (ruhaniyah).

Sedangkan tokoh sufi favorit beliau adalah Syekh Abdul Qadir al-Jailani, Abdullah bin Alawi al-Haddad, Imam al-Ghazali, Abul Qashim al-Junaid, dan Imam al-Wisri.

Agar bisa membedakan orang yang sufi dan tidak sufi, dosen Fakultas Dakwah IAI Ibrahimy ini juga memaparkan beberapa ciri seorang sufistik. Menukil perkataan as-Siri as-Saqafi, beliau mengatakan bahwa, “Akluhum aklul mardha, Wa naumuhum naumul gharga, wa kalamuhum kalamul khalqa.”

Ungkapan ini mengisyarahkan bahwa makan dan minumnya orang sufi seperti makannya orang sakit (tidak enak makan). Kalau tidur, seperti tidurnya orang yang tenggelam dalam lautan (tidak bisa tidur) karena orang sufi itu dilarang tidur.

Dari segi perkataan, perkataan orang sufi adalah perkataan yang luar biasa (keluar dari adat kebiasaan manusia). Setiap untaian kata yang terucap merupakan ilham dari Allah Swt yang tidak bisa ditiru oleh orang lain karena mereka mendapat bimbingan langsung dari Allah Swt.

Tidak hanya itu, para sufistik pada biasanya lebih mendahulukan urusan akhirat daripada urusan dunia. Mereka menerima segala bentuk pemberian dari Allah Swt. Diberi tidak diberi harus tetap diterima dengan lapang dada. Jadi, kalau sufi itu bersyukur di kala rizki melimpah dan bersyukur pula di kala rizkinya sedikit.

Kalau dilihat dari komitmen spiritualitas, para sufi itu tidak mudah terombang ambing serta terkontaminasi oleh peradaban dan kebudayaan manusia yang berkembang dan berubah-ubah. Itu semua tidak sampai bisa merubah pola pikir, sikap, dan tingkah laku mereka. Seperti gaya rambut, model busana, budaya materialisme, dan lain-lain.

Tren seperti ini sedikit pun tidak bisa merubah perilaku mereka. Mereka itu seperti ikan di lautan, sekalipun air laut itu asin tapi ikan itu tidak asin.

Mengomentari asumsi kebanyakan orang yang mengatakan bahwa seorang sufi sangat identik dengan penampilan compang-camping dan kumuh, Mudir Ma’had Aly ini secara tegas menolak asumsi tersebut seraya melandaskan argumennya dengan sebuah hadits dari Nabi.

Suatu ketika, Nabi Muhammad Saw duduk bersama para sahabat. Pada waktu itu, ada seseorang di depan Nabi berpakaian dengan pakaian yang kotor, compang-camping, dan lusuh. Melihat orang tersebut, Nabi bertanya: “Apakah kamu punya uang untuk membeli pakaian?”. Orang tadi menjawab: “Iya, wahai Rasulallah”.

Kemudian Nabi bersabda “Apabila kamu dikaruniai nikmat oleh Allah Swt, maka tampakkan nikmat-nikmat yang diberikan oleh Allah Swt kepadamu itu dan kedermawanan Allah Swt itu tampakkan. Kalau kamu diberikan harta oleh Allah Swt, maka belilah pakaian untuk beribadah, pakaian-Nya untuk shalat. Harta-Nya digunakan untuk bersedekah membantu fakir miskin, dan atau dipergunakan untuk haji, itu namanya menampakkan nikmat-nikmat yang diberikan oleh Allah dan juga menampakkan kedermawanan Allah Swt.

Orang sufi bukanlah orang yang pakaiannya compang-camping dan kotor, sementara dia mampu untuk membeli pakaian. Kecuali memang benar-benar tidak mampu untuk membeli pakaian karena termasuk orang fuqara masakin (fakir lagi miskin), maka tidak masalah seperti itu.

Kalau dia mampu sementara pakaian yang digunakan adalah compang-camping kemudian mengklaim dirinya sufi, tentu itu tidak benar. Dalam al-Qur’an sudah ditegaskan:

قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنْ الرِّزْقِ قُلْ هِيَ لِلَّذِينَ آمَنُوا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا خَالِصَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَذَلِكَ نُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ

“Katakanlah: “˜Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?’ Katakanlah: “˜Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat’ Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui. (QS. al-A’raf [07] :32).

Terkait dengan resep menuntut ilmu di pondok, Kiai Hariri mempunyai pandangan bahwa santri akan memperoleh kemilau indah ilmu yang bermanfaat jikalau dia baik kepada Allah Swt. Taat kepada perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, kemudian menjalin hubungan rohani kepada nabi yang akan memberi syafaat kepada kita, keluarga nabi, para sahabatnya, dan para wali Allah Swt.

Kita hendaknya menjadikan mereka sebagai wasilah kepada Allah Swt supaya diberi ilmu yang bermanfaat dan barokah. Ini semua bisa dilakukan dengan cara mengirim fatihah dan membaca shalawat kepada para muallif (pengarang) kitab dan mengirim bacaan fatihah kepada pendiri pondok pesantren ini, yakni Kiai Syamsul Arifin, Kiai As’ad Syamsul Arifin, Kiai Dhafir Munawwar, dan Kiai Fawaid.

Seorang santri juga secara istiqomah memohon kepada Allah Swt di dalam mencari ilmu. Sebagai seorang santri, kita jangan sampai merasa lebih baik dari orang lain karena masih banyak yang lebih baik dari kita.

Setiap orang mempunyai kelebihan masing-masing, ada yang dikaruniai kuat belajarnya, ada yang dikaruniai kuat melakuakan ibadah kepada Allah Swt dan lain sebagainya. Semoga kita bisa mengamalkan itu semua.

Kini, KH Hariri Abdul Adhim, telah tiada. Beliau telah berpulang ke rahmatullah, pada Rabu, 7 Nopember 2018. Semoga amal ibadahnya diterima Allah SWT. Amin. Selamat jalan Kiai. Lahul fatihah. (*)

Sumber: Buletin Tanwirul Afkar, media terbitan Ma’had Aly Sukorejo.

Terkait

Uswah Lainnya

SantriNews Network