Taman Terminal

Ilustrasi (umihanif.speedytaqwa.com/sntrinews.com)
Oleh Salamet Wahedi
Bidanto membuka pagi dengan tubuh berat. Ransel hitam menggayut di punggungnya. Ransel hitam buncit. Beban puluhan kilo seperti membetotnya. Beban yang sesekali memaksa Bidanto menarik tali ransel di bahunya.
Setelah rahang bus memuntahkannya, Bidanto menyusuri ruas peron dan pagar besi palataran UPT terminal. Setelah menapak sekitar seratus empat puluh langkah ke arah timur, ia pun berhadapan dengan taman jemputan.
Di depannya lengkung kolam air mancur seperti menggaris ruang-waktu. Cemara-cemara angin berbaris serupa tangan-tangan menadah doa ke arah utara. Di sebelah kanannya pohon-pohon gandaru seolah ingin menyentuh langit lebih awal.
Di taman jemputan itulah, orang-orang seperti Bidanto- atau mungkin jenis pejalan lainnya- melepaskan penat. Mereka –sebelum bergegas lebih lanjut- seolah butuh istirahat barang sebentar.
Mengenali pelataran setengah aspal setengah paving; menghidu hijau pematang sawah di celah pagar teralis; menyesap udara yang mengalir dari gemerisik daun; dan menangkap orkestra kicau burung. Untuk beberapa menit, mata para pejalan mengatup pelan. Urat-urat lehernya dibiarkan lepas. Hanya jemari yang sibuk mengirim pesan.
Setelah semuanya menyala, dan penjemput bertandang, mereka segera menghambur ke arah yang ditunjuk panah putih-biru: keluar.
Pagi taman jemputan, bukanlah pagi yang terlalu bersahabat. Juga bukan pagi yang terlalu mengecewakan.
Sejenak lengang melintas. Kemudian disusul renyah celoteh para tukang ojek: ke mana, Mas? Ayo 20 ribu? Tukang-tukang ojek itu semacam para penunggu taman jemputan. Mereka menunggu keberuntungan untuk minyak sumbu hidup di dapur. Karenanya tukang-tukang ojek menjelma kutilang. Berkicau tiada henti; memperdengarkan tawaran harga jarak.
Untuk kicauan tukang ojek, Bidanto sudah hafal betul. Penolakan demi penolakan yang dilambaikannya, tak membuat tukang ojek akan patah arang. Semangat mereka tetap menyala.
“Ke mana Mas? Ayo duapuluh”. “Tidak Bapak.” “Ayo, ke mana?” suara berikutnya sedikit tegang. “Sepuluh saja. Sebagai ganti bensin. Sedari tadi belum dapat.” ”Tidak Bapak.”
Pada pot yang bergelayut pada punggung gedung terminal, Bidanto menyerahkan ranselnya. Di sela-sela tubuh-kurus kembang tetean, bungkusan bunting hitam itu disurukkan ke dasar pot yang paling ceruk.
Di sampingnya, dalam satu lompatan, Bidanto menghempaskan bokongnya, menegakkan tulang punggung, dan meluruskan kilat matanya.
Pada menit berikutnya, pikiran Bidanto mulai menggerayang. Pikirannya seperti buldoser yang mencari-cari tanah lembut untuk disantap. Tapi tanah lembut itu tidak tampak. Tidak akan tampak. Tanah lembut itu hanya bergerak di antara ujung jalan, pohon-pohon gandaru, gedung-gedung ‘genteng-merah’, deru bus dan celoteh tukang ojek yang tak henti menggedornya.
Tanah lembut itu Nasthi. Tanah yang padanya Bidanto pernah menanam kata-kata bernas: “aku akan mengunjungimu. Akan mengunjungimu, walau sebatas taman jemputan Terminal K ini. Aku akan mengunjungi kotamu, meski mungkin kau tak akan menemuiku.”
Dan kata-kata itu terus begenta. Menyelinap di belakang kepalanya, saban Bidanto meluruskan posisi duduknya. Lalu kata-kata itu akan menyeretnya pada genangan peristiwa tiga tahun lalu. Tiga tahun sebelum ia memutuskan hijrah ke kota J.
Tiga tahun lalu, genangan peristiwa itu dimulai di sore Taman Bungkul. Sore itu, angin mendesir lelah. Selelah senja kota S berselimut awan. Selelah semburat kelam di dempetan gedung-gedung kekar penyangga kota. Cekungan Taman Bungkul dipenuhi anak-anak meluapkan cericitnya; melesatkan busur-baling-baling-warna-warni ke jantung langit.
Sementara para pedagang asongan bertempur dengan bising, menjajakan air mineral dan makanan ringan. Di tengah gemuruh kota yang suntuk itulah, Bidanto mulai membaca garis tangan Nasthi.
Garis tangan Nasthi mengguratkan liukan dua sungai pada muara besar di kaki bukit. Dua sungai yang menadah luapan banjir. Di liukan sungai itu, Bidanto gencar menggempur Nasthi. Sesekali mengombakkan riak tangannya.
“Garis tanganmu menyimpan mata air yang murni.”
“Kau masih percaya dengan ramalan nasib?”
“Konon,“ begitulah Bidanto menyusuri kelokan dua sungai di tangan Nasthi. “Adam dan Hawa terlempar pada dua kutub yang berjauhan. Keduanya pun tertatih menyusuri garis tangan yang termaktub di bumi. Dan keduanya kembali menemukan sulur-sulur cintanya.”
Kalimat “sulur-sulur cintanya” mendesir berat dalam mulut Bidanto. Ia menarik nafas setengah pelan. Penuh tekanan.
“Kau tahu kenapa?”
“Entahlah? Tapi bukan karena kau yang pasti.”
Nasthi hendak menarik tangannya, Bidanto buru-buru menahannya. Mata keduanya, dalam satu garis lurus berpagutan. Mata mereka seperti meletupkan percikan liukan sungai. Di mata mereka, kerling lampu-lampu trotoar mengapung. Dan di antara daun-daun yang tergeletak lusuh, sesekali Bidanto melambung.
“Kelak, aku akan membawamu pesiar. Mengunjungi kota-kota yang meranggas dalam mimpi. Mengunjungi kota-kota yang pernah kita temukan dalam perjalanan Marcopolo dan para pecinta alam. Di sanalah, di sebuah kota kecil, di sebuah villa mungil. Waktu itu musim dingin merayap hening. Lentik-lentik salju menapak bumi. Dan di antara gigil yang tersisa di bulu-bulu mantel, aku ingin mendekapmu. Membagi kehangatan yang tulus. Dan aroma rambutmu menguarkan kenangan. Dan ketika matamu bercahaya, aku akan menyeduhnya, sambil mengucapkan kalimat yang matang, Nasthi di kepingan salju itu, tertera nama kita.”
“Kenapa mesti di salju?”
“Salju, entah bagaimana rasanya, mungkin menyimpan kesucian.”
“Ah, itu terlalu gombal. Kau terlalu dipengaruhi film-film luar.”
“Tapi percayalah. Seperti butiran salju, kita akan menjelma sungai yang terus mengalir jauh.”
“Kau terlalu dipenuhi mimpi-mimpi.”
Nasthi menarik bibirnya. Matanya sedikit meredup.
Setelah melambung, Bidanto pun menjejak dengan nafas megap. Ia semakin erat mendekap dua liukan sungai tangan nasthi.
“Percayalah.”
“Tapi salju itu pastinya tidak turun di kota kelahiranmu, kan?” Nasthi menarik tangannya.
Mulutnya yang diruncingkan, seperti hendak mengiris-iris kalimatnya lebih tajam. Lalu keduanya kembali memagut. Dan waktu di kepala masing-masing menjelma gemericik sungai. Berbulan-bulan, hingga keduanya menjelma dua liukan sungai dalam satu muara.
Dua liukan sungai Bidanto-Nasthi mengalir renyah. Memasuki setiap rongga bebatuan. Menyapa kawah tandus, dan berlentikan di kedalaman kawah terjun. Setahun lamanya, Bidanto-Nasthi melintasi jalan panjang antara kota M dan Kota S. Membentang kenangan di atas jembatan Madusura.
Di akhir minggu, dengan sepeda tua, mereka mencecerkan hari-hari lengangnya di Kota S atau Kota M; di tepi pematang sawah atau ladang-ladang garam. Mereka memasuki lorong waktu, seperti para pemain opera. Malam-malam mereka berdenyar dengan sengal dan kerlip lilin dalam kamar. Sajak-sajak panjang terdengar di teras rumah.
Tapi lambat laun, aroma tanah menguar lain. Kemarau datang dengan jeda panjang, membuat dua liukan sungai terpekur. Mata-tanggal almanak di dinding seperti memerah. Keputusan Bidanto menggeret bangku kuliahnya ke kota J, seolah menyobek mata hijau kalender.
Di sobekan kalender itulah, keluarga Nasthi menitik kemarau. Sebulan sebelum Bidanto bergegas ke kota J, Nasthi tersedu. Kata-katanya terbata di sela tangis yang tertahan.
“Kau kenapa?”
“Bibiku.”
“Kenapa bibimu?”
“Dia tak menerimamu. Kota M-mu melukainya.”
Dengan gamblang, Nasthi bercerita hal-ihwal bibinya.
“Kau tahu kan Pakde Surip? suami bibiku yang berasal dari kota M juga. Sama sepertimu. Ia lelaki yang baik. Awalnya bibi dan keluarganya menerimanya dengan senyum sumringah. Bibi bekerja di rumah sakit, pakde bekerja di jalan tol. Tapi setelah melahirkan Ajiz, anak pertamanya, Pakde Surip berubah. Ia memutuskan untuk nikah lagi.”
Tangis Nasthi tertahan. Digigitnya bibir bawahnya yang seperti bilahan jeruk.
“Apa hubungannya dengan kita?” Bidanto mengusap bidang basah pipi Nasthi.
“Ibuku takut.”
Tangis Nasthi pecah membuncah. Bulu-bulu matanya mengembang basah. “Ia terus menyerangku. Mengungkit-ngungkit keputusanku. Ia menuduhku ceroboh.”
“Itu tidak adil. Kita lahir dan tumbuh dalam masa yang berbeda.” Seperti mengarahkan liukan sungai tangan Nasthi, Bidanto mengusap kepala Nasthi. Suaranya bergetar dalam.
“Apakah dengan kau kuliah terus, warna darahmu bisa berubah?”
Kata-kata Nasthi runcing menusuk. Kepalanya mendongak, seperti hendak mempertontonkan lipatan sedih yang kedap.
“Kita tidak bisa melanjutkan semua cerita kita. Mereka tak bisa menerimamu lagi. Mereka seperti menyimpan kobaran api yang tak bisa kupadamkan.”
“Aku tahu itu. Tapi bukankah cinta butuh waktu. Tidakkah kita buktikan, waktu telah berubah.”
“Sampai kapan?
”Entahlah. Mungkin sampai aku tak bisa mengunjungimu.”
“Kita tidak bisa bertemu. Kau tahu keluargaku kan? Aku tidak kuat.”
“Aku tahu itu. Tapi paling tidak aku akan mengunjungi kotamu.”
“Untuk apa?”
“Aku ingin punya cinta.”
“Kau gila.”
“Mereka rasis.”
***
Begitulah peristiwa itu menyergap Bidanto. Memintanya menjadwal kunjungan di Senin minggu pertama saban bulan. Ia pun seperti Sisiphus. Bolak-balik antara kota J dan kota S. Mendorong rindu dan resahnya melintasi kota K, kota Ng, dan kota J. Peron-peron terminal dilaluinya seperti menghitung titik kordinat kesetiaan.
Seperti biasa, setelah seratus 144 kunjungan dalam 36 bulan; setelah menapak terminal kota M, untuk beberapa saat, Bidanto akan mengenali benda-benda di sekitarnya. Mengamat-amati setiap mata yang menyongsongnya. Mengira-ngira apakah mereka mengenalinya atau mencurigainya?
Setelah beberapa menit, Bidanto tak ambil peduli. Mungkin hanya tukang ojek, satu-satunya orang yang akan mengusiknya. Terus menyelidiknya. Mungkin tukang ojek itulah yang memerhatikannya gerak-geriknya: membetulkan letak ransel, meluruskan pandangannya, dan duduk resahnya di samping gardu telephone.
Tukang ojek itu mungkin juga menyimpan gambar cenung kepalanya menghabiskan sejam usianya dengan menikmati genangan peristiwa tiga tahun lalu. Menikmati genangan peristiwa yang hampir berkeping-keping. Tiga puluh menit pertama, Bidanto membiarkan genangan itu menggelombang. Matanya meneropong kosong. Bibirnya bergerak-gerak getir.
Tiga puluh menit berikutnya, Bidanto akan menyasar lengkungan air mancur. Berjalan dengan kaki penuh beban. Kepala mendongak seperti mencari pintu langit.
Tapi pagi ini, taman jemputan sedikit resah. Gerimis Desember datang lebih cepat dari hari-hari biasanya. Pelataran sekitar air-mancur yang diam, mulai tergenang. Tetasan air genteng gedung terminal, memaksanya menyurukkan ranselnya lebih dalam ke bawah tubuh-kurus-kembang-tetean. Dingin berpiuh. Hujan menjadi-jadi. Bidanto membiarkan tubuhnya kuyup. “Nasthi, aku menunggumu. Aku akan tetap mengunjungimu,” batinnya dengan bibir bergetar.
“Mas, nunggu seseorang ya?” suara Tukang Ojek menerobos gema hujan. Jas hujan merah yang dikenakannya menyala. Jaring-jaring gigil-dingin masih terasa bergetar di balik plastik yang membalutnya.
Bidanto menjulurkan lidahnya. Air di bibirnya menyundutkan dingin. Tangannya ditekan-tekan ke wajahnya, memencet sisa kehangatan. Mencari-cari ruang kosong pada titik hujan. Ia tak menyangka tukang ojek itu menyiapkan peluru usikan yang tak seperti biasanya.
“Ya, Bapak.” Gigil bibir Bidanto membuat kata-katanya meluncur gagu.
“Seorang perempuan?”
“Ya, Bapak.” Guncangan dingin tubuh Bidanto seolah hendak menelan kembali kata-katanya.
Tapuk matanya melempar ketak-mengertian pada cara lelaki 50-an ini membuka cerita.
“Perempuan itu bertubuh gemuk?”
“Agak Bapak.”
“Bermata sipit?”
“Hampir mirip China. “
“Perempuan itu juga menghabiskan kebisuannya di tempat ini lho. Sama sepertimu. Sekitar satu jam ia akan duduk tepat di tempat ini.”
Kerongkongan Bidanto seperti diserang panas. Ia tak mengira: kunjungannya, yang selama ini dihitungnya dalam sepi, bersambut kegilaan Nasthi.
“Kapan perempuan itu akan datang, Bapak?”
“Saya pernah bertanya padanya, apa ia menunggu seseorang. Ia menjawab tidak. “Lalu?” tanya saya.
Saya hanya ingin menemui seseorang, jawabnya. Saya ingin menghibur diri sendiri. “Siapa Non?” tanya saya.
Ia telah pergi Bapak, jawabnya dengan senyum letih. “Kapan?” “Lelaki yang tadi pergi sepuluh menit lalu,” jawabnya.
Kembali Bidanto menyesap lentik hujan di bibirnya. Hujan mulai surut. Waktu menetakkan kelingkingnya di kening Bidanto.
“Saya tahu perempuan itu tidak menunggu siapa-siapa. Ia hanya duduk di tempat ini. Sekadar menghabiskan kebisuannya dengan mata menyimpan cerlang embun. Satu waktu saya pernah menggodanya. Ia tersenyum. Saya hanya ingin menemui seseorang Bapak, kilahnya. Siapa? Ia telah pergi sepuluh menit lalu. Lelaki itu? Kemudian ia tertawa lepas. Kenapa kau tidak menemuinya saja? Itu rahasia kami, Bapak.”
Cerita tukang ojek seperti gelombang yang melempar Bidanto pada jutaan depa tanah. Tubuhnya seperti menggelosot di atas aspal sebentang puluhan meter.
“Apa ia bercerita lain pada Bapak?”
“Tentang apa?”
Bidanto diam sejenak. Pikirannya menggerayangi langit. Liukan dua sungai yang pernah dibacanya menyembul. Suaranya berat. Kalimat yang dilontarkannya tidak jelas. Bibirnya bergetar berat, seperti menahan gulungan berat gigil.
“Ia masih sendiri kok.”
Bidanto hanya diam. Tukang ojek itu dibiarkannya menggeret-geret peristiwa kecil yang tak tercatat olehnya. Peristiwa yang selama ini berkelebat di belakang kepalanya. Jauh di belakang. Hingga hanya menyaksian titik hitam. Titik-hitam yang kemudian menggumpal menyesakkan dadanya. Titik-hitam yang mengambangkan hari-harinya.
“Saya ingin menitip ini, Bapak.” Bidanto mengeluarkan cincin emas dengan nama kecil melingkar: Nasthi.
“Tunggu sajalah sampai ia datang.”
Bidanto mengucapkan terimakasih. “Kami tidak bisa bertemu, Bapak.”
“Kenapa?”
“Itu mungkin rahasia kami, Bapak.” Dengan senyum berat Bidanto mengulurkan cincin mungil itu.
***
Pagi taman jemputan terus beranjak. Awan menggiring senja lebih gegas. Deru bus silih ganti berhamburan, menindih bayang-bayang Bidanto empat jam lalu. Dan malam mulai membayang di pelipis langit. Tapi hingga detik ini, perempuan agak gemuk bermata sipit itu, yang biasa menemui lelakinya di samping gardu telephone, tak kunjung tampak. Perempuan itu mungkin telah keluar dari lintasan waktunya.
“Ke mana perempuan itu?” Berulang Tukang Ojek melepas nafas dengan hentakan. Pandangannya jelalatan, menyusuri setiap sudut terminal. Mencari perempuan yang biasa memandang lelakinya dari balik pagar terminal.
“Rahasia apa yang mereka nikmati sebenarnya?” Serunya memainkan cincin dengan nama kecil yang melingkar: Nasthi. (*).
Untuk yang bertunangan pada 13 September 2010.
Jogyakarta, Desember 2012
Salamet Wahedi
Redaktur portal berita “Santrinews.com” yang menggawangi rubrik “Budaya”. Lahir di Sumenep. Nama pena, Set Wahedi. Alumni Pondok Pesantren Mathali’ul Anwar Sumenep, ini sekarang tercatat sebagai mahasiswa Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya UGM Yogyakarta. Pemilik blog: Catatan Perjalanan Si Dungu, ini karya-karyanya pernah dipublikasikan di Majalah Sastra Horison, Majalah Gong, Radar Madura, Majalah Media, Majalah Widyawara, Majalah Al-Fikr, Duta Masyarakat, Tabloid Gema, Surabaya Post, Suara Pembaruan, Batam Pos serta pernah dimuat dalam Nyanyian Nirwana (2003), Keroncong Bibir Biru (2008), Nemor Kara (Balai Bahasa Surabaya, 2006), Yaa-sin (Balai Bahasa Surabaya, 2007), dan Taufiq Ismail di Mata Mahasiswa (Horison, 2008).