Bedah ‘Kepala Yang Hilang’ di Geladak Sastra #23

Latar acara bedah buku 'Kepala Yang Hilang' di Geladak Sastra #23, di Jombang (dok/santrinews.com)
Jombang – Acara sastra mungkin semacam dialog sunyi. Ia hadir dan berhelat dalam ruang-ruang senyap. Pagelarannya hanya dihadiri orang-orang dengan karakter keras dan unik. Karena itu keberlangsungan acara sastra tidak terlepas dari komunitas sastra.
Geladak sastra, pagelaran sastra yang diselenggarakan komunitas Lembah Pring Jombang, setelah mengalami “kebekuan” kembali menggeliat. Pada gelaran yang ke-23, Sabtu 11 Oktober 2014 geladak sastra menyuguhkan bedah buku “Kepala Yang Hilang” karya Set Wahedi.
Bedah buku berlangsung di Dusun Jambu, Jabon, Jombang, dengan menghadirkan pembicara Dadang Ari Murtono (cerpenis), Robin Al-Kautsar (Badan Pusat Statistik Kabupaten Jombang) dan M. Syaifuddin, MA (Dosen STKIP PGRI Jombang) dengan moderator Rahmat Sularso, NH.
“Saya kira di acara semacam ini kita dapat mempererat silaturahmi dan menemukan teman-teman baru,” kata Jabbar Abdullah, ketua panitia geladak sastra.
Jabbar menguraikan, bahwa geladak sastra #23 menjadi momentum bagi komunitas Lembah Pring pasca meninggalnya Fahrudin Nasrullah, ketua Komunitas Lembah Pring. “Kepala Yang Hilang karya Set Wahedi menjadi penanda Lembah Pring untuk kembali menjalankan visi-misinya membangkitkan gairah bersastra,” tegas Jabbar.
Dalam acara yang berlangsung dalam gelap karena putusnya aliran listrik, para pembicara memberikan pembacaan yang cukup variatif. Dadang Ari Murtono mengungkapkan bahwa cerpen-cerpen dalam Kepala Yang Hilang menyuguhkan struktur cerita yang saling membantai. “Beberapa bagian menyuguhkan cerita yang utuh dan beberapa bagian yang lain menghancurkannya,” papar Dadang.
Dadang mencontohkan kecerobohan pengarang dalam menyuguhkan peristiwa anak kelas 5 SD yang sudah belajar biologi. “Tapi dalam cerpen “Malam Nyadhar” dan “Hand Phone” Set Wahedi berhasil melakukan eksplorasi,” Dadang menjelaskan.
Robin Al-Kautsar juga menyoroti beberapa cerpen Set Wahedi yang kedodoran dalam teknik penulisan. “Sedangkan secara tema, KYH (Kepala Yang Hilang) mampu memainkan metafora untuk menyuguhkan kritik sosial,” jelas Robin.
Sedangkan M. Syaifuddin menjabarkan eksplorasi kebudayaan yang dilakulan oleh Set Wahedi. Menurut Syaifuddin, cerpen-cerpen Set Wahedi memperkenal sisi lain sosio-kultur Madura. “Dengan cerpen “Malam Nyadhar” kita jadi tahu Madura bukan sebatas Kerapan Sapi,” tandas Syaifuddin.
Di akhir acara, Set Wahedi memberikan pandangannya tentang beberapa uraian para narasumber. Mantan pengurus Koordinator Cabang PMII Jawa Timur 2011-2013 ini menegaskan kehadiran cerpen-cerpennya pada mulanya sekadar ditulis untuk menghibur diri sendiri.
“Tapi malam ini saya jadi tahu, berkarya itu mesti mempertimbangkan banyak hal,” kata cerpenis asal Sumenep Madura ini yang juga penjaga gawang rubrik budaya di SantriNews.com.
Pada kesempatan itu, dia juga berbagi pengalamannya dalam menjalani proses kreatif menulis cerpen. “Bagus tidaknya cerita bergantung pada konsistensi pengarang untuk terus berkarya,” tandasnya disambut tepuk tangan peserta. (ahay)