Muktamar Ke-34 NU 2021
Rais Aam PBNU

KH Miftachul Akhyar dan Habib Muhammad Luthfi Bin Yahya
Semenjak Nahdlatul Ulama (NU) berdiri tahun 1926, sudah ada 10 kiai yang menduduki Rais ‘Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Mereka pimpinan tertinggi yang mempunyai otoritas syariah dalam kehidupan jam’iyyah dan jamaah (warga nahdliyyin).
Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari menduduki Rais Aam (1926-1947), 21 tahun. KH Abdul Wahab Hasbullah (1947-1971), 24 tahun. KH Bisri Syamsuri (1971-1980), 7 tahun. KH Ali Maksum (1980-1984), 4 tahun. KH Achmad Shiddiq (1984-1991), 7 tahun. KH Ali Yafie (1991-1992), 1 tahun. KH Muhammad Ilyas Ruchiyat (1982-1999), 7 tahun.
Selanjutnya, KH Muhammad Ahmad Sahal Mahfudz (1999-2014), 15 tahun. KH Mustofa Bisri (2014-2015), 1 tahun. KH Makruf Amien (2015-2018), 3 tahun. KH Miftachul Akhyar (2018-sekarang) melanjutkan jabatan Rais Aam KH Makruf Amien yang mengundurkan diri karena menjadi calon wakil presiden Jokowi.
Rais Aam merupakan nomenklatur khas NU. Apalagi Rais Akbar yang disandang oleh Kiai Hasyim, istilah yang tak ada duanya dalam sepanjang sejarah NU. Rais Aam diduduki secara periodik oleh kiai pesantren melalui pemilihan langsung dalam muktamar atau melalui sistem ahlul halli wal aqdi (Ahwa).
Almaghfurllah Kiai Achmad Shiddiq pernah merasakan pemilihan melalui Ahwa sekaligus pilihan langsung dalam muktamar. Pada periode pertama, Kiai Achmad terpilih menjadi Rais Aam melalui Ahwa yang diketuai oleh KH As’ad Syamsul Arifin pada Muktamar ke-27 NU 1984 di Situbondo.
Sementara pada periode kedua, Kiai Achmad terpilih menjadi Rais Aam setelah mengalahkan KH Idham Chalid dengan 188 suara melawan 116 suara pada Muktamar ke-28 NU 1989 di Yogyakarta.
Sejak Muktamar ke-33 NU 2015 di Jombang, sistem pemilihan langsung dalam pemilihan Kiai Ilyas, dan Kiai Sahal pada Muktamar Cipasung, Muktamar Kediri, Muktamar Boyolali, Muktamar NU Makassar, dikembalikan pada sistem Ahwa.
Muktamirin memilih 9 ulama. Yakni KH Makruf Amin, KH Nawawi Abdul Jalil, Tuanku Guru Turmudzi Babruddin, KH Kholilur Rahman, KH Dimyati Rois, KH Ali Akbar Marboen, KH Maktum Hanan, KH Maemun Zubair, dan KH Mas Subadar.
Para kiai yang memperoleh suara terbanyak peringkat 1 sampai 9 yang menjadi anggota Ahwa. Mereka yang bermusyawarah untuk memilih Rais Aam dari 9 nama terpilih atau dari luar. Semua berdasarkan pada hasil musyawarah mufakat. Musyawarah menyepakati Gus Mus sebagai Rois Aam. Tapi tak bersedia dan akhirnya disepakati Kiai Makruf yang menjadi Rais Aam masa khidmat 2015-2020.
Sehubungan dengan pencalonan Kiai Makruf sebagai wakil presiden Jokowi, Kiai Makruf mengundurkan diri dan diganti oleh Kiai Miftah selaku Wakil Rais Aam yang otomatis naik menjadi Rais Aam PBNU, sesuai dengan AD/ART NU.
Memang, bursa calon Rais Aam tak seramai calon Ketua Umum PBNU. Ini lantaran sistem Ahwa ternyata efektif mengurangi temperatur politik menjelang Muktamar NU. Selain sistem Ahwa menghindarkan para kiai bertarung terbuka dan kecenderungan menjatuhkan martabat seorang tokoh panutan umat.
Ada nama calon Rais Aam yang dipaketkan dengan kandidat calon Ketua Umum PBNU. Jatim misalnya mempaketkan nama Kiai Miftah sebagai Rais Aam dan Gus Yahya sebagai Ketua Umum PBNU. Kubu KH As’ad Said Ali misalnya mempaketkan Maulana Habib Muhammad Luthfi Bin Yahya sebagai Rais Aam dan Kiai As’ad Said Ali sebagai Ketua Umum. Ada juga lontaran wacana jauh sebelum muktamar, Cak Imin mempaketkan Kiai Said Aqil sebagai Rais Aam dan Gus Yahya sebagai Ketua Umum PBNU.
Disamping itu, ada pula yang memasrahkan sepenuhnya pada Ahwa yang akan diusulkan oleh seluruh muktamarin dari PWNU, PCNU dan PCINU. Mereka sangat memahami benar, otoritas Muktamar NU sebatas memilih Ahwa. Yang berhak menentukan hasil musyawarah mufakat 9 Ahwa nanti. Konstitusi NU memperkenankan nama Rais Aam dari dalam maupun di luar Ahwa sendiri.
Namun demikian, nama yang beredar kuat saat ini, ada dua. Yaitu Kiai Miftah dan Habib Luthfi. Dua ulama asal Surabaya dan Pekalongan ini memenuhi kriteria AD/ART. Dimana Rais Aam harus seorang yang faqih (ahli agama), munaddhim (organisatoris), muharrik (penggerak) dan wira’i (hati-hati dalam agama). Lima kriteria tersebut sangat nampak pada dua figur Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan anggota Wantimpres tersebut. (*)
Moch Eksan, Pendiri Eksan Institute.