Muktamar Ke-34 NU 2021
Kemelut PBNU dan Spirit Reorganisasi

Selasa, 7 Desember 2021 merupakan batu uji dari kepemimpinan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) hasil Muktamar ke-33 NU di Jombang 2015. Duet KH Miftachul Akhyar dan KH Said Aqil Siradj benar-benar sudah berjalan sendiri-sendiri. Dengan otoritas yang melekat sebagai Rais Aam dan Ketua Umum, menggelar agenda pertemuan masing-masing untuk memutuskan jadwal pelaksanaan Muktamar NU.
Rupanya, jadwal Muktamar NU bukan sekadar soal waktu, akan tetapi menyangkut legalitas PBNU yang sudah melebihi masa khidmat kepengurusan selama 5 tahun, seperti yang diatur pada Anggaran Dasar Pasal 16 ayat (1). Keberadaan PBNU sekarang dalam kondisi darurat lantaran Pandemi Covid-19. Penundaan demi penundaan pelaksanaan Muktamar NU telah menimbulkan krisis kepemimpinan yang telah mengoyak AD/ART sebagai acuan tata kelola organisasi.
Syuriah dan Tanfidziyah merupakan satu kesatuan yang tak terpisah. Satu sama lain tak bisa berjalan masing-masing dalam proses pengambilan kebijakan strategis serta menggerakkan roda organisasi. Pasal 58 ayat (1) dan ayat (2) Anggaran Rumah Tangga (ART) mengharuskan Rois Aam untuk bersama-sama Ketua Umum PBNU dalam mengelola organisasi, menandatangani keputusan strategis atau membatalkannya, serta memimpin pelaksanaan Muktamar, Munas Alim Ulama, Konbes, rapat pleno, dan rapat harian Syuriah dan Tanfidziyah.
Senada dengan itu, Pasal 64 ayat (1) dan ayat (2) ART, juga mengharuskan Ketua Umum bersama-sama Rais Aam mengelola organisasi, menandatangani keputusan strategis atau membatalkannya, serta memimpin pelaksanaan muktamar, Munas Alim Ulama, Konbes, Rapat Pleno dan Rapat Harian Syuriah dan Tanfidziyah.
Saifullah Yusuf, Walikota Pasuruan sekaligus salah satu Ketua PBNU menyatakan bahwa surat undangan rapat pleno gabungan yang ditandatangani oleh Kiai Said tanpa Kiai Miftah dinilai tak sah. Rapat ini bertujuan untuk memutuskan jadwal Muktamar NU.
Habib Muhammad Salim Al-Jufri, salah satu Ketua PBNU mewarning, jangan main-main dengan AD/ART NU. Munas Alim Ulama dan Keputusan Konbes NU, pada 25-26 September 2021 memutuskan jadwal pelaksanaan Muktamar NU diserahkan pada PBNU. Rapat harian Syuriah dan Tanfidziyah merupakan forum untuk memutuskan agenda suksesi kepemimpinan NU tersebut.
Pelaksanaan Konbes NU atas inisiatif Kiai Miftah berdasarkan desakan dari separuh lebih PWNU seluruh Indonesia, tanpa diputuskan melalui rapat pleno PBNU juga dianggap tak sah, meski agendanya penetapan jadwal pelaksanaan Muktamar NU.
Rapat pleno yang diinisiasi oleh Kiai Said maupun Konbes yang diinisiasi oleh Kiai Miftah yang dijadwalkan hari ini, bukti dalam internal PBNU telah terjadi kemelut. Dalam berbagai kesempatan, memang pucuk pimpinan NU secara fisik dapat duduk bersama, tapi gagal membuat agenda bersama. NU diambang jurang perpecahan akibat ego kuasa yang menyalahi Mukaddimah Qonun Asasi NU dari Hadratus Syeikh KH Hasyim Asy’ari.
Kiai Hasyim telah mengingatkan, “Sahabat Ali Karamallahu Wajhah berkata dengan fasihnya: “Kebenaran dapat menjadi lemah karena perselisihan dan perpecahan, dan kebatilan sebaliknya dapat menjadi kuat dengan persatuan dan kekompakan”.
Kondisi di atas pernah dialami oleh NU di dekade di awal dekade 80an. Faksi Syuriah NU di bawah komando KH Ali Maksum dengan faksi tanfidziyah di bawah kepemimpinan Dr KH Idham Cholid bertarung dalam menentukan status organisasi NU sebagai fusi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dengan gerakan kembali ke Khittah NU 1926. Pertarungan ini dimenangkan oleh faksi Kiai Maksum yang disupport oleh banyak kiai kharismatik. Keberhasilan ini menguatkan posisi ulama dalam pengelolaan dan pengembangan NU.
Monumen keberhasilan faksi Khittah NU secara konseptual organisatoris termaktub pada rumusan AD/ART NU yang berlaku sampai sekarang. Bahwasannya Syuriah merupakan pimpinan tertinggi di NU, sementara Tanfidziyah adalah pelaksana, seperti yang digariskan pada Pasal 14 ayat (2) dan ayat (3) AD. Namun dalam pelaksanaannya, seringkali terjadi overlapping antara Syuriah dan Tanfidziyah tersebut.
Oleh karena itu, reorganisasi NU perlu digaungkan kembali. Apalagi perintah Rois Aam dan kebijakan agar menggelar Konbes untuk menentukan jadwal Muktamar NU diabaikan oleh Ketua Umum. Kiai Miftah secara terbuka mengatakan bahwa saran pendapatnya diabaikan oleh Kiai Said. Barangtentu kemelut PBNU ini memunculkan spirit reorganisasi untuk menguatkan posisi ulama kembali di NU sebagai penggerak dan pengendali organisasi seperti gagasan KH Achmad Shiddiq dalam Fikrah Nahdliyyah pada 4 dekade yang lalu.
Untuk mengakhiri kemelut PBNU sekarang, mekanisme organisasi sudah buntu. Keterlibatan tokoh kharismatik NU seperti KH Makruf Amien dan tokoh perdamaian seperti Jusuf Kalla sangat penting untuk memaksa dua kubu yang bertarung menggelar Muktamar NU bersama. Ini untuk menghindari “NU Kembar” yang bisa merugikan semua, baik NU maupun bangsa Indonesia sendiri. NU adalah aset umat dan bangsa yang perlu diselamatkan. Save NU! (*)
Moch Eksan, Pendiri Eksan Institute.