Salam untukmu Para Nabi dan Selamat Natal untukmu

Seluruh para Nabi adalah bersaudara, hanya ibunya yang berbeda. Kita umat Islam tidak boleh membeda-bedakan antara satu Nabi dengan yang lainnya. (Al-Baqarah, 284). Seluruh para Nabi dan Rasul wajib diimani. Mengingkari satu nabi saja, sama dengan dengan mengingkari keseluruhan.

Al Quran menyebut 25 Nabi dan Rasul yang wajib diimani oleh seluruh umat Islam. Umat Islam tidak boleh membeda-bedakan dalam hal keimanan dan penghormatan, sekalipun Allah membeda-bedakan derajat para Nabi sesuai dengan peran mereka dan atas dasar karunia Allah.

Salah satu bentuk penghormatan al-Quran adalah, ungkapan “Salam” yang disampaikan kepada Nuh (QS. Ash-Shaffat, 79), Ibrahim (ash shaffat, 109), Musa dan Harun (ash shaffat, 120), dan Ilyasin (ash shaffat, 130).

Ungkapan salam juga dipersembahkan al-Quran kepada Isa AS (Maryam, 30-33). Dikisahkan dalam al Quran, ketika kelahiran Isa AS dicurigai, Isa AS yang ketika itu masih dalam gendongan bundanya Maryam as mengatakan “(1) saya adalah hamba Allah, (2) aku diberi al kitab, (3) aku dijadikan Nabi, (4) saya diberkati dimanapun berada, (5) aku diberi wasiat agar menjalankan shalat dan zakat selagi hidup, dan (6) senantiasa berbuat baik pada kedua orang tua, (7) tidak sombong dan (8) tidak mencelakakan. Atas pencapaiannya ini al Quran megucakpan “as salam “ kepadaku di hari aku dilahirkan dan di hari aku kembali kepadanya.

Al Qur’an juga mengucapkan “as salam” kepada Yahya AS, sepupu Isa AS. Sama dengan Isa AS, Nabi Yahya juga sosok Nabi yang dijelaskan secara rinci karakternya, yaitu, (1)berpegang teguh pada al kitab, (2) memiliki kebijaksanaan sejak belia, (3) sangat mengasihi sesama, (4) bersih jiwa dan orang yang bertaqwa, (5) berbuat baik kepada kedua orang tua dan juga (7) tidak sombong lagi tidak durhaka. Atas pencapaiannya ini, al Qur’an mengucap As Salam di hari ia dilahirkan, hari kematiannya, dan hari kelak dibangkitkan) (Maryam 12-14).

Banyak para Nabi yang mendapatkan ucapan “salam” dari Allah SWT: Nuh AS, Ibrahim AS, Musa AS, Harun AS, Ilyasin AS, Yahya AS dan juga Isa AS. Bahkan dua Nabi yaitu Nabi Yahya dan Isa AS mendapatkan “salam khusus” di hari dimana ia dilahirkan dan hari ia dikembalikan.

Sebagai Nabi akhir zaman, Nabi Muhammad saw, juga mendapatkan “Ash Shalatu wa As Salam”. Bahkan umat Islam diperintahkan untuk mengucap shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad saw. Bukan hanya manusia, Allah dan para malaikah juga mengucapkan hal yang sama. Allahumma shalli ala Muhammad (al-Ahzab, 56).

Jadi Al-Quran, telah memberikan contoh dan keteladanan untuk mengucapkan “Salam “ kepada para Nabi Nabi, karena pasti Jasa jasa mereka tidak bisa dibalas oleh apapun. Ungkapan “salam” hanyalah ucapan terima kasih kecil atas Jasa jasa yang tidak mungkin terbalaskan.

Bagaimna dengan selamat Natal?
Al Qur’an menyebut secara khusus dua Nabi yang mendapat ucapan “Salam” di hari kelahiran dan kematiannya, yaitu Nabi Yahya AS dan Nabi Isa AS.

Pertayaannya, apakah ungkapan Salam dalam al Quran itu sama dengan ucapan Selamat Natal?

Dalam Usul Fiqih pertanyaann ini masuk dalam kerangka ijtihad bi tahqiqi al manath, yaitu memastikan apakah salam yang dimaksud dalam al Qur’an itu juga mencakup Selamat Natal? Atau apakah ucapan “Selamat Natal” sama dengan “Salam dalam al Qur’an itu”?

Di sinilah letak masalahnya. Bagi orang yang menyakini bahwa Selamat Natal adalah ungkapan selamat atas hari kelahiran Isa AS, berarti Selamat Natal sama dengan Salam yang ada dalam al Qur’an. Bagi yang menyatakan selamat natal bukanlah hari kelahiran Isa AS, berarti Selamat Natal beda dengan Salam dalam al Qur’an. Tapi, bukankah mengucapkan selamat atas hari kelahiran tidak harus pada saat “teeng” hari kelahirannya, sebagaimana bermaulid Nabi tidak harus “teng” di hari kelahirannya.

Alhasil, soal ucapan “selamat hari natal” adalah soal furu’iyyah-juz’iyyah-dhanniyah, yang tidak boleh mengorbankan suatu ajaran ushuliyyah-kulliyah-qhat’iyyah, yaitu ajaran ukhuwwah insaniyyah, ukhuwwah basyariyah dan ukhuwwah wathaniyah (persaudaraan kemanusiaan dan kebangsaan). (*)

Situbondo, 24 Desember 2020

Dr KH Imam Nakha’i, Dosen Fikih-Ushul Fikih di Ma’had Aly Salafiyah-Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo.

Terkait

FIKRAH Lainnya

SantriNews Network