Ibadah Individual Bernama Puasa

Selama ini umat Islam di negara-negara Islam seperti Indonesia, Malaysia, Turki, Pakistan, dan negara-negara Islam lainnya menyambut Ramadhan dengan gegap gempita. Mereka menyulap satu bulan Ramadhan menjadi bulan “pesta”. Pesta bagi pelaku ekonomi dan pesta bagi mayoritas umat Islam.
Hadis yang dipakai untuk menyambut Ramadhan degan gegap gempita dan selalu disampaikan oleh para muballig adalah “barang siapa yang senang bahagia dengan datangnya Ramadhan maka ia masuk surga”.
Hadis ini di tanah Jawa dipakai oleh orang-orang untuk mengadakan megengan. Di saat lain, tak jarang pula orang-orang mengadakan pengajian atas nama ikut berbagaia dengan datangnya bulan Ramadhan. Makanan serba ada dihidangkan, para tetangga berbagi ceria. Masjid-maasjid biasanya dicat pertanda Ramadhan akan tiba dan bahkan tak jarang menambah asesoris lampu kelap-kelip untuk menambah kesemarakan tersebut.
Selama bulan Ramadhan, makanan pun berlimpah, masjid-masjid mengadakan buka puasa bersama selama sebulan penuh. Belum lagi teman SD, teman SMP, teman SMA, teman kuliah, handai taulan, dan keluarga juga mengadakan buka puasa bersama. Tak cukup buka bersama, sahur bersama pun diadakan bahkan ada istilah sahur on the rood. ngasih makan sama orang-orang dan sekaligus makan bersama para teman.
Belum lagi para ustad yang kebanjiran job, pengajian senin, pengajian selasa, dan pengajian hari lain berdatangan. Belum lagi juga kalau dihitung pengajian subuh, duhur, ashar, maghrib, isya, dan tarawih. Para ustad menjadi sangat sibuk dan harga pasar para ustad naik.
Para pengusaha travel menjelang, selama, dan pasca puasa juga panen. Selain masjid-masjid indah, kuburan-kuburan keramat juga menjadi jujukan orang-orang. Belum lagi budaya mudik dan budaya balik menjelang dan pasca lebaran. Semuanya gegap gempita.
Tiba-tiba, Covid-19 datang, orang shock. Ramadhan tak lagi semarak. Ramadhan tiba-tiba sepi, tak seperti tahun-tahun lalu. Kali ini mereka dipaksa puasa sungguhan. Puasa dari segalanya. Ya, puasa sungguhan.
Latihan lapar, latihan rugi, dan latihan tidak pegang duit. Semua sektor lesu. Jangankan makam keramat, pemerintah desa di Pasurua pun sampai membuat spanduk agar orang-orang jangan mengunjugi istri muda asal desa mereka dahulu.
Padahal puasa itu memang latihan puasa, menahan diri dari segala hal keduniawian. Hal-hal yang jika tidak puasa halal maka tatkala puasa menjadi haram: makan dan minum, berhubungan suami istri contohnya.
Puasa mengajarkan kita untuk belajar menjaga diri dari hasrat keduniawian, dari hasrat kebendaan, mengingatkan kembali kalau dunia itu hanya permainan belaka, tak perlu dikejar mati-matian. Toh, kita akan meninggalkannya.
Puasa adalah ibadah indiviual kontemplatif. Disebut ibadah individual karena puasamu tidak tergantung puasa orang lain. Lagi pula tak ada puasa berjamaah. Sebuah ibadah yang berbeda dengan salat.
Puasa itu pure ibadah pribadi-pribadi. Maka puasa itu langsung Tuhan yang menilai kualitasnya, apakah puasamu masih memikirkan makanan lezat dan minuman dingin setiap menjelang maghrib ataukah kau sudah mencapai tahap pencerahan macam baginda Nabi di Gua Hira, Musa di Bukit Tur Sina, atau Budha Gautama di bawah pohon Budhi.
Semuanya tergantung pada kualitas puasamu sendiri-sendiri. Hanya kau dan Tuhanmu lah yang bisa mengukurnya. Wallahu a’lam. (*)