Ijtima Ulama

Ijtima Ulama MUI: Masa Jabatan Presiden Maksimal Dua Periode

Jakarta – Ijtima Ulama Ke-7 Komisi Fatwa MUI telah menghasilkan beberapa keputusan penting. Salah satunya tentang memilih pemimpin melalui Pemilihan Umum (Pemilu).

Para ulama bersepakat bahwa Pemilu dalam pandangan Islam merupakan upaya untuk memilih pemimpin atau wakil yang memenuhi syarat-syarat ideal bagi terwujudnya cita-cita bersama sesuai dengan aspirasi umat dan kepentingan bangsa.

“Memilih pemimpin (nashbu al-imam) dalam Islam adalah kewajiban untuk menegakkan imamah dan imarah dalam kehidupan bersama. Oleh karena itu, keterlibatan umat Islam dalam Pemilu hukumnya wajib,” kata Ketua MUI Bidang Fatwa KH Asrorun Niam Sholeh.

Ijtima Ulama ke 7 itu digelar oleh MUI di Hotel Sultan Jakarta,.pada Selasa-Kamis, 9-11 Nopember 2021.

Terkait Pemilu, Komisi Fatwa MUI berpendapat harus dilaksanakan dengan sejumlah ketentuan yaitu dilaksanakan dengan langsung, bebas, jujur, adil, dan rahasia; pilihan didasarkan atas keimanan, ketakwaan kepada Allah SWT, kejujuran, amanah, kompetensi, dan integritas.

Di samping itu, Pemilu harus bebas dari suap (risywah), politik uang (money politic), kecurangan (khida’), korupsi (ghulul), oligarki, dinasti politik, dan hal-hal yang terlarang secara syar’i.

Selanjutnya, untuk pemilihan kepala daerah (pilkada), para ulama juga bersepakat baik pemilihan maupun pengangkatan dapat dilakukan dengan beberapa alternatif metode yang disepakati bersama sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Sebab, selama ini MUI menilai pelaksanaan pilkada lebih besar mafsadatnya daripada maslahatnya.

“Penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah yang berlaku saat ini dinilai lebih besar mafsadatnya daripada maslahatnya, antara lain menajamnya konflik horizontal di tengah masyarakat, menyebabkan disharmoni, mengancam integrasi nasional, dan merusak moral akibat maraknya praktek politik uang,” ujarnya.

Selain itu, Komisi Fatwa MUI juga menyampaikan masa jabatan presiden maksimum dua periode untuk menciptakan kemaslahatan serta mencegah mafsadah atau kerusakan yang menimpa seseorang (kelompok).

“Pembatasan masa jabatan kepemimpinan maksimum dua kali sebagaimana diatur dalam Konstitusi dan Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku wajib untuk diikuti guna mewujudkan kemaslahatan serta mencegah mafsadah,” kata Ni’am. (red)

Terkait

Nasional Lainnya

SantriNews Network