Muktamar NU 2015
Seniman Pamerkan Karya Islam Nusantara
Yogyakarta – Para aktivis muda Nahdlatul Ulama Yogyakarta menggelar pameran seni rupa bertema Matja Seni Wali-wali Nusantara. Pameran yang melibatkan 50 seniman ini digelar di Jogja National Museum, 27 Juli-30 Juli 2015. Pameran ini untuk menyambut Muktamar NU ke-33, yang digelar di Jombang, Jawa Timur Agustus mendatang.
Panitia pameran, Hasan Basri, mengatakan pameran seni rupa yang pertama kali digelar oleh aktivis muda NU ini melibatkan sebanyak 50 seniman kondang. Di antaranya Nasirun, Zawawi Imron, Musthofa Bisri, Ahmad Tohari, Lucia Hartini, Ivan Sagita, Agus Suwage, Stefan Buana, Arahmaiani, S Teddy D, Bunga Jeruk, Jeihan, Tisna Sanjaya, Entang Wiharso, dan Heri Dono. Setidaknya terdapat 70-90 judul karya seni yang tampil dalam pameran ini.
Hasan menyatakan satu di antara tradisi Islam Nusantara adalah menempatkan kesenian pada posisi yang mulia. Kesenian menjadi lambang kematangan rohani manusia. Semakin rendah selera seni sebuah masyarakat menunjukkan rendahnya tingkat spiritualitas masyarakat. Kesenian mampu menampung bahasa rohani sampai pada kemanusiaan.
“Tidak perlu berdebat soal halal dan haram dalam berkesenian. Praktek keberagaman yang lekat dengan kemanusiaan ada dalam seni,” kata Hasan saat jumpa pers di Jogja National Museum, Jumat, 24 Juli 20015.
Pameran bertema MATJA: Seni Wali-Wali Nusantara merupakan usaha untuk menghadirkan kehangatan hubungan antara Islam dan seni. Islam Nusantara membuka segala kemungkinan untuk mewujudkan perubahan sosial, tanpa memutuskan pertautan dengan masa lalu. Islam Nusantara, kata Hasan, tidak alergi dengan perubahan. Pameran ini adalah ekspresi berkesenian yang berhubungan dengan tradisi. Seni menyatu dalam keseharian masyarakat Indonesia. Yogyakarta sebagai tempat pameran karena acara seni banyak disuguhkan di kota ini.
Kurator pameran, A. Anzieb, mengatakan NU sangat khas dengan konsep Islam Nusantara. Pameran banyak bicara ihwal kebangsaan, tradisi, dan spiritualitas. Tradisi, misalnya merupakan akar budaya. Karya seni yang dipamerkan kontekstual. Dia mencontohkan wayang jumbo berfigur seniman Slamet Gundono, karya seniman Nasirun. Karya ini dekat dengan gagasan Islam Nusantara. Almarhum Slamet Gundono, kata dia, merupakan kiai nusantara, yang melakukan banyak perjalanan dalam kehidupan berkesenian. “Dia merupakan penggagas “seni rakyat“agar tetap relevan dan aktual.
Nasirun menyatakan tertarik memfigurkan Slamet Gundono karena Almarhum Gundono mampu mendefinisikan dan menafsir Iqro dengan baik. Iqro atau membaca Gundono tafsirkan sebagai membaca bencana alam, membaca perbedaan keyakinan. “Gundono tidak kaku menafsir ayat,” kata Nasirun.
Dalam pameran itu, seperti dilansir Tempo, ada pula lukisan karya S Teddy D yang bicara soal pluralisme yang bicara tentang keberagaman. Ia melukis Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dengan posisi tangan menengadah ke atas berupa tulisan arab pegon “pancasila” di atas kanvas.
Dalam karya itu, Teddy mengapresiasi figur KH Hasyim Asy’ari (kakek Gus Dur), yang telah membuat rumusan Pancasila, tanpa ada keinginan untuk memaksakan diri menjadikan negara Republik Indonesia sebagai negara Islam. (shir/onk)