Terorisme Rusak Citra Islam

Trio teroris Ali Ghufron, Imam Samudra dan Amrozi (santrinews.com/istimewa)

Jakarta – Benih radikalisme dalam Islam sejatinya telah muncul sejak tahun 8 Hijriah saat Rasulullah Saw bersama 15 ribu sahabat menaklukkan kota Makkah setelah selama delapan tahun terusir di Madinah.

Pemaparan tentang sejarah radikalisme dalam Islam itu disampaikan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siradj di acara short course ‘Menekan Kaderisasi Pelaku Terorisme di Indonesia’ di Pondok Pesantren Luhur Al Tsaqafah, Jakarta Selatan, Sabtu, 22 Maret 2014.

“Begitu masuk Makkah ada sebagian sahabat yang radikal. Mereka mengatakan hari ini adalah hari balas dendam,” kata Kiai Said.

“Tapi kata Rasul, hari ini bukan hari balas dendam melainkan hari merajut silaturahim. Siapa yang berlindung ke Masjidil Haram aman, barang siapa masuk rumah Abu Sufyan aman, dan siapa yang masuk rumahnya sendiri aman, semua pendududuk Makkah yang dulu menyakiti umat Islam, aman,” paparnya.

Peristiwa serupa kemudian terjadi para tahun 40 Hijriyah setelah Rasulullah wafat. Aksi terorisme pertama yang gemparkan dunia, yaitu pembunuhan Ali bin Abi Thalib terjadi. Pelakunya adalah Abdurrahman bin Muljam.

“Orangnya (Abdurrahman) tiap malam salat tahajud sampai dahinya hitam, tiap hari puasa dan hafal quran. Kenapa dia bunuh Ali? Karena menganggap Khalifah Ali kafir lantaran tidak menjalankan hukum Islam. Ali dituding mengutamakan hasil musyawarah dengan Muawiyah. Sahabat Ali dianggap tak mengambil hukum Alquran tapi mementingkan hasil musyawarah,” ulasnya.

Kiai Said melanjutkan, dari situ lantas muncul kelompok radikal dalam Islam. Mereka jumlahnya sedikit tapi mudah menghalalkan darah orang.

“Kaum radikal untuk persoalan syariat kecil sangat ketat, misal ambil buah kurma yang sudah jatuh di jalan harus izin kepada pemiliknya, tapi bunuh orang yang beda faham sangat gampang,” bebernya.

Selain Kiai Said dan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Ansyaad Mbai, short course juga menghadirkan narasumber lain, seperti Ketua NII Crisis Center Sukanto, dan Sekjen NII Crisis Center Ken Setiawan, serta mantan Panglima NII Abu Ridho.

Kegiatan ini diikuti oleh siswa dari sekolah setingkat SMA, perwakilan remaja masjid dan pondok pesantren, serta guru bimbingan konseling dari beberapa sekolah di DKI Jakarta.

“Ciri radikalisme di antaranya klaim kebenaran agama, merasa paling paham ayat dan hadits, serta suka menghakimi orang yang berbeda paham,” ungkap Ansyad Mbai.

Karena itu, kata Ansyad, BNPT tak hanya fokus pada skenario penindakan. Pencegahan merebaknya virus radikalisme coba ditangkal dengan menggembleng kaum muda.

Sekjen NII Crisis Center Ken Setiawan sepakat cara-cara pencegahan lebih massif dilakukan sehingga aparat tidak hanya fokus pada masalah penindakan. “Kalau tidak ditanggulangi, maka dampaknya akan merusak citra Islam,” tegasnya.

Menurut Ken Setiawan, persoalan terorisme tak mungkin diberangus sampai akar-akarnya lantaran berlandaskan ideologi. Yang bisa dilakukan adalah menanggulangi agar tidak sampai menimbulkan kerusakan besar. (hay)

Terkait

Nasional Lainnya

SantriNews Network