Pilpres 2019
Bertendensi Politisasi Agama, Tes Baca Al Quran Rusak Iklim Demokrasi

Darwati A Gani, istri Gubernur Aceh nonaktif Irwandi Yusuf, mengikuti uji baca Al Quran di Sekretariat KIP Aceh, Sabtu, 21 Juli 2018 (santrinews.com/ist)
Jakarta – Usulan tes kemampuan membaca Al-Qur’an pada calon presiden dan calon wakil presiden, menuai polemik. Masing-masing calon dan tim koalisi pendukung merespon berbeda. Tak ketinggalan para pengamat dan penyelanggara pemilu.
“Ini berlebihan,” kata Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) PBNU Dr H Rumadi Ahmad, merespon usulan tes kualifikasi membaca Al Qur’an itu.
Baca: KH Afifuddin Muhajir: Politisasi Agama Hukumnya Haram
Adalah Dewan Ikatan Dai Aceh yang mengusulkan tes kemampuan membaca Al-Qur’an bagi capres dan cawapres. Usulan itu dimaksudkan untuk mengakhiri polemik identitas keislaman mereka.
Bahkan, mereka mengundang dua pasangan capres-cawapres, Jokowi Widodo-KH Ma’ruf Amin, dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno untuk mengikuti tes baca Al Quran di Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, pada 15 Januari 2019.
Rumadi menegaskan, usulan itu tidak perlu diperbincangkan terlalu panjang sehingga menjadi bahan pembicaraan yang terlalu serius. Pasalnya isu seperti ini merupakan bagian dari penggunaan agama sebaga komuditas politik.
“Tidak perlu urusan bisa baca Al-Qur’an atau tidak menjadi isu dalam Pilpres. Hal ini bertedensi politisasi agama,” kata Rumadi, Kamis, 3 Januari 2019.
Baca juga: Capres Harus Tanggungjawab Dampak Kapitalisasi Agama
Menurut Rumadi, ide tersebut merupakan konsekwensi penggunaan agama sebagai instrumen politik yang selama ini digunakan oleh kedua kubu, baik pendukung Jokowi maupun Prabowo. Padahal penggunaan isu agama seperti itu, lanjut Rumadi, tidak baik untuk perkembangan iklim demokrasi di Indonesia. Melalui isu agama, kedua kubu dan pendukungnya, berupaya menjatuhkan lawan politiknya.
“Sayangnya, hampir semua pendukung dua pasangan capres-cawapres menggunakan isu agama sebagai alat kampanye. Kedua kubu sekarang ini banyak menggunakan isu-isu keagamaan yang tidak terlalu sehat untuk demokrasi. Sayangnya tidak ada yang bisa mengendalikan. Mereka asyik saling berbalas untuk menjatuhkan lawan,” tegasnya.
Baca juga: ISIS, Ideologi Agama Vs Gerakan Politik Global
Oleh karena itu, Rumadi meminta agar kedua kubu menghentikan penggunaan instrumen agama sebagai medium untuk melakukan kempanye politik yang bertujuan menjatuhkan orang lain. “Saya ingin mengingatkan keduanya, tidak perlu menggunakan agama jika bertendensi untuk menjatuhkan yang lain,” pungkasnya.
Penggunaan isu agama marak ditemukan beberapa waktu terakhir. Beberapa waktu sebelum usulan tes membaca Al-Qur’an muncul, terdapat isu keagamaan yang lain yang sempat dijadikan “˜alat kampanye’, seperti isu “˜memimpin sholat’ dan isu lain.
Menurut Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PBNU KH Abdul Moqsith Ghazali, tes kemampuan membaca Al-Qur’an bukan persyaratan yang ditetapkan oleh Undang-Undang, melainkan kehendak dari sebagian umat Islam.
“Tapi bisa saja sekelompok warga negara membuat persyaratan tambahan untuk memastikan apakah yang dipilih itu cukup meyakinkan atau tidak,” ujar KH Abdul Moqsith Ghazali.
Baca juga: Mahfud MD: Pendiri NU dan Muhammadiyah Justru Mempolitisasi Agama
Walau begitu, ia menegaskan bahwa kemampuan membaca Al-Qur’an pada dasarnya bukan kualifikasi utama untuk pemimpin Indonesia yang merupakan negara dengan penduduk multi-agama. “Kemampuan baca Al-Qu’an sebenarnya kualifikasi yang tak diperlukan dalam konteks Indonesia yang bukan negara Islam,” ujarnya.
Namun, lanjut dia, masyarakat juga bisa mengusulkan persyaratan tambahan untuk menambah keyakinan dalam memilih pemimpin yang diinginkan. Misalnya di Aceh yang memang merupakan daerah istimewa dengan penerapan syariat Islamnya.
“Jika sekelompok masyarakat di Aceh ingin mengetahui kemampuan baca Al-Qur’an kandidat capres-cawapres, maka tes baca Al-Qur’an itu sangat mungkin dilakukan. Tapi tentu tidak dengan cara paksaan melainkan kesukarelaan,” paparnya.
Menurutnya hal itu lumrah dilakukan masyarakat untuk memastikan calon pemimpin yang akan dipilihannya. Bahkan, untuk lebih memantapkan hati, sebagian masyarakat mempercayai pasangan capres-cawapres yang merupakan hasil rekomendasi dari kalangan ijtima ulama tertentu.
“Namun, sebelum memilih, mereka ingin dapat kepastian; apakah calon yang direkomendasikan para ulama itu bisa Al-Qur’an atau tidak, bisa berwudhu dengan benar atau tidak, bisa menjadi imam shalat atau tidak, dan seterusnya,” pungkasnya. (us/nuo)