Komunitas, Kecerdasan Membaca, dan Posisi Negara

Masih akrab dengan istilah ini: minat baca? Istilah ini berseliweran hadir di mimbar-mimbar pidato manakala bertemu dengan topik literasi. Dan, umumnya nadanya negatif.

Sudah lama saya tak ingin memakai istilah itu dengan segala tone-nya yang negatif itu. Sebab, yang menjadi fakta di hadapan mata kita, bukan soal minat baca itu, melainkan akses pada bacaan yang bermutu dan pengetahuan membaca.

Kita tahu, akses kepada bacaan biasanya berhenti di kota atau kabupaten besar. Bacaan menjadikan kota makin terang dan bersinar. Sementara, perdesaan tetap jauh dari jangkauan pendar terang itu. Buku, misalnya, menjadi barang yang sangat mewah. Sekaligus, aneh. Cobalah, jika di desa Anda rajin tampil dengan membawa buku dan membaca, langsung saja Anda mendapatkan cap pandai secara langsung tanpa saringan.

Akses pada bacaan, jika ia berjalan baik, mengindikasikan demokratisasi pengetahuan berjalan dengan baik. Akses dan ketersediaan bacaan itu memungkinkan kita memiliki harapan lebih besar bahwa kemungkinan munculnya mutiara literasi dari desa-desa yang “murni” karena terpapar oleh buku.

Baca juga: Menggali Orientasi Tradisi Menulis Kaum Santri

Yang justru berkembang di lapangan adalah derasnya acara televisi di desa-desa yang arus listriknya saja lebih banyak ambyar. Kita mendapatkan sekian banyak sinetron yang bukan hanya membuat imajinasi kita cupet, tetapi mendapatkan bagaimana warga desa terpapar tontonan yang sungguh jauh dari kehidupan mereka.

Kita kutuk televisi sialan itu? Tidak juga, karena di desa, hiburan paling murah adalah menonton televisi. Tidak peduli usia berapa pun, dari anak hingga nenek, menyaksikan tontonan yang memperlihatkan orang saling membentak tiada habisnya atau opera sabun yang menjual tangisan hingga pada taraf memuakkan.

Akses atas bacaan ini adalah tugas negara yang memang punya kewajiban konstitusional mencerdaskan kehidupan bangsa. Gugus negara yang menjadi leading sector soal akses ini adalah Perpustakaan Nasional RI beserta ratusan perpustakaan daerah yang berada di bawahnya.

Institusi inilah yang semestinya, tidak sekadar minta dikunjungi dan menunggu pembaca dalam sebuah gedung, melainkan mengirimkan armada-armada tangguh dengan banyak jenis moda memasuki alam perdesaan yang berada di tepi pantai atau di balik bukit dan gunung. Mereka membawa buku-buku terpilih sebagaimana kebutuhan pemustaka di desa.

Kutukan akses atas bacaan mestilah diputus oleh perpustakaan-perpustakaan resmi negara dengan menggunakan sumber dayanya secara maksimum.

Tentu saja, mereka tidak sekadar membawa buku, tetapi juga membawa program literasi yang merangsang tumbuhnya semangat literasi di perdesaan. Apalagi, saat ini situasi desa sudah berubah sangat pesat dengan mengalirnya dana besar untuk membangun desa.

Baca juga: Santri Desa Penjelajah 5 Benua Menginspirasi Siswa SMK Islam

Kerja sama dengan pemerintahan desa memungkinkan kampanye literasi ini menjadi bukan hambatan besar lagi. Bahkan, Presiden Joko Widodo pernah berucap bahwa dana desa sangat boleh dipakai untuk meningkatkan daya literasi warga.

Dengan daya dukung pendanaan seperti ini, program-program inovatif untuk menuju kecerdasan membaca bisa digalakkan. Urusan program inovatif inilah perpustakaan daerah yang menjadi armada pemutus akses bacaan mestilah berkolaborasi dengan komunitas literasi independen maupun taman bacaan masyarakat yang diinisiasi pemerintah.

Pentingnya melibatkan komunitas menyasar dua soal. Pertama, komunitas literasi umumnya menciptakan beragam program eksperimental ihwal kampanye literasi. Di lingkup komunitas ini berbagai kegiatan kreatif bagaimana mendekatkan buku kepada warga dilakukan.

Saya tumbuh dari pelapak buku jalanan. Komunitas saya, Dbuku, misalnya, pernah menggelar lapak buku tiap Minggu pagi hampir lima tahun lamanya di Alun-Alun Kota Magetan, Jawa Timur. Sekaligus, saya mendorong agar bupati memerintahkan Perpusda agar tidak sekadar menunggu di gedung permanen, tetapi turut ambil bagian melapak. Untunglah, bupati Magetan juga seorang pencinta buku. Himbauan itu ditindaklanjuti.

Atau, lihat Komunitas Guirillas di Ponorogo, Jawa Timur. Dari namanya saja, yang berarti gerilya, adalah pegiat literasi yang membawa mobil keliling berisi buku-buku. Usaha gigih mereka ini mendapatkan dukungan dari banyak kalangan. Mulai dari diajak pihak Kodim, diajak swasta, hingga Pemda untuk berkeliling dari desa ke desa desa.

Kedua, komunitas literasi memiliki kekhasan dalam soal koleksi buku yang “bergizi” untuk dikonsumsi. Sebab, pelaku-pelaku komunitas adalah mereka yang terpapar oleh bacaan-bacaan terpilih yang memungkinkan mereka mendapatkan pencerahan untuk berbuah menyinari daerah di mana mereka tinggal.

Di Makassar, komunitas-komunitas yang menjadi paviliun untuk pilihan bacaan yang membawa keberlimpahan sinar pencerahan. Sebut saja, Paradigma Ilmu, Rumah Baca Philosopia, Komunitas Dekker Baca, Kala Literasi, Pelita, Toko Buku Intuisi, Toko Buku Intelektual, Penerbit Liblitera, Edu Corner Makassar, Perpustakaan Kata Kerja, Nas Media Pustaka, dan seterusnya.

Kecerdasan membaca bukan saja bagaimana kita membaca, tetapi juga ikhtiar yang gigih menghadirkan bacaan yang bukan sekadar bacaan, melainkan bacaan yang membangkitkan imajinasi dan merangsang pembacanya untuk melakukan perubahan diri maupun perubahan sosial di sekelilingnya.

Dengan mengolaborasikan hidup dengan beragam komunitas literasi yang kreatif, kita mendapatkan limpahan bacaan yang memberi api pada semangat dan menghidupkan mimpi.

Pada akhirnya, kecerdasan yang secara harfiah muncul dalam bait konstitusi kita merupakan muara yang dituju dari semua proses literasi yang diperjuangkan. Tetaplah insyaf, ini negara besar, tidak mungkin bisa berjalan sendiri-sendiri, melainkan jalan kolaborasi semua pihak. Ini perjuangan semesta lewat jalan gotong royong literasi. (*)

Diana AV Sasa, Pegiat Literasi dan Anggota DPRD Jawa Timur 2019—2024.

Terkait

Opini Lainnya

SantriNews Network