Mahar Politik, Jalan Terjal Demokrasi

Biaya politik di Indonesia paling mahal dibanding Negara lain, pernyataan ini terjadi pada pemilu 2014 tahun silam. Negara menyiapkan biaya pemilu sebesar 16 triliun. Negara mempersiapkan dana sebesar itu, karena ingin menyelamatkan bangsa dari segala hal yang merugikan rakyat seperti krisis dan persoalan-peroalan bangsa yang lain.

Mahar ternyata tidak hanya terjadi dalam pernikahan seorang pria terhadap seorang perempuan. Akan tetapi mahar berlaku dalam transaksi seseorang dalam melakukan transaksi, termasuk dalam dunia politik. Dalam politik para politisi tidak cukup bermodalkan ide maupun gagasan, namun dibutuhkan kekuatan finansial agar mampu bersaing dengan para politisi lainnya. Lebih-lebih para politisi yang tidak mempunyai kredebilitas.

Fenomena terjadi baru-baru ini antara La Nyalla Matalitti dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, La Nyalla dimintai uang 40 Milyar dalam pencalonnanya untuk menjadi Gubenur di Jawa Timur. Statemen LNM ini, mendapat respon dari berbagai kalangan termasuk telivisi TV One dan menjadikan problema ini sebagai tema yang didiskusikan pada acara ILC (15/1/18) lalu.

Tanggapan pun beragam, pro kontra tak terhindarkan. Yang pro terhadap LNM mensupport keberaniannya dalam mengungkap mahar politik ini dan mendukungnya untuk terus mengawal sampai ke meja hijau. Begitu juga yang kontra dengan terhadap statemen LNM, ia mrengatakan bahwa LNM mengungkapkan kekesalannya karena tidak mendapatkan dukungan partai, sehingga berkoar-koar mencari kambing hitam atas kegagalannya untuk meramaikan pesta demokrasi Jatim.

Namun masalah yang terjadi antara LNM dengan Partai Gerindra harus mendapat respon dari berbagai pihak agar ikut andil dalam melakukan pengawasan. Sebab, ini adalah pintu masuk dalam melakukan tindakan korupsi. Kasus ini meng-informasikan bahwa ada jual beli politik yang terjadi ditubuh partai.

Bisa jadi, baru satu kejadian yang “terberitakan” diantara beberapa partai yang melakukannya, meski sampai detik ini pernyataan LNM tidak dapat dibuktikan. Mungkn, agar bsa mengurang praktik mahar politik yang sangat fantastis, seyogyanya Negara harus turun untuk ikut mengkaji terhadap cost politik yang begitu mahal, mulai dari sistem pemilu, biaya kampanye bahkan batasan-batasan menggunakan atribut. Karena mahar politik ada yang menyebutnya akibat ongkos politik sangat mahal sebab untuk mendapatkan rekomendasi partai harus mengeluarkan biaya yang signifikan.

Akomodasi yang berlebihan juga pertemuan-pertemuan bersama Tim pemenang membutuhkan biaya, sehingga sangat wajar biaya politik di Indonesia melambung tinggi. Untuk menjadi bupati saja harus mempersiapkan uang 30 miliar dan kalau jadi bupati, selama lima tahun menjabat tidak mungkin bisa mengembalikan uang sebesar itu, sehingga uang APBD digerogoti. Sosialisasi untuk memperkenalkan diri para calon kepada seluruh elemen masyarakat sangat dibutuhkan, apalagi calon yang hanya bermodalkan uang.

Inilah cost politik yang merusak citra demokrasi. Untuk mengurangi mahalnya cost pesta rakyat ini ada beberapa yang bisa penulis tawarkan. Pertama, sebaiknya pemilihan Bupati, Gubenur bahkan Presiden melalui DPR, MPR. Dengan cara ini pembiayaan pemilu tidak terlalu mahal.
Kedua, harus ketat membuat kriteria calon, sehingga tidak perlu untuk melakukan gerakan massif di dalam mensosialisasikan dirinya ke setiap dewan. ketiga : batasi partai politik agar tidak terlalu banyak karena semakin banyak partai politik yang ikut dalam pesta demokrasi, akan meningkatkan pembiayaan politik yang sangat tinggi.

Jalan Terjal Demokrasi
Ketua Umum Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) Jimly Asshiddiqie menegaskan bahwa politik mahar dan politik dinasti, sama-sama merusak dan membahayakandemokrasi di tanah air. Oligarki politik akan menyatu dengan oligarki ekonomi membuat demokrasi dibajak. Keduanya harus dikendalikan oleh nilai-nilai norma konstitusi, sambungnya”.

Persoalan mahar ini menjadi ancaman perjalanan demokrasi, layaknya persoalan politik dinasti. Mahar politik adalah sampah kehidupan perpolitikan tanah air. Demokrasi di Indonesia mengalami kebuntuan dan gagal melahirkan demokrasi potensial.

Hal ini akibat dari politik transaksional yang sulit dibendung, sehingga menjadi bomerang dalam perjalanan demokrasi dewasa ini. Demokrasi acapkali disebut sebagai system yang paling baik dalam membangun kesejahteraan sosial (social welfare) walaupun disana sini banyak kesalahan-kesalahan elementer. Demokrrasi dalam tafsiran liberal, nyaris tidak mempunyai arti selain mendapatkan suara terbanyak seperti ini pula membuka peluang terjadinya penyimpangan-penyimpangan.

Mahar politik adalah satu jalan menggembosi praktik berdomakrasi yang sehat, karena inilah politik transaksional yang sesungguhnya. Mempertukarkan kepentingan nilai-nilai universal perpolitikan dengan sejumlah uang merupakan memperosa demokrasi itu sendiri.

Menjamurnya mahar politik dari setiap arena kontestasi pesta rakyat, mulai dari tahap penjaringan calon kepala daerah dapat dilihat dari dua sudut pandang. Di satu sisi, hal ini menunjukkan kegagalan partai politik dalam melahirkan kader terbaik sebagai proyeksi pemimpin masa depan bangsa.

Artinya partai tidak mampu menjalankan fungsi kaderisasi, dan sangat wajar partai politik mengusung calon yang bukan kadernya, sehingga terjadilah politik transaksional yang dimaksud. Di sisi lain, benar seperti yang di ungkapkan para pemikir liberal kiri, system politik yang senafas dengan system ekonomi kapitalisme, bahwa semua orang punya kesempatan untuk menjadi sejahtera, namun ditelikung bahwa yang mempunyai modal yang vakan memperolehnya.

Menilik dari fenemena diatas, demokrasi seharusnya bisa beranjak dari corak transaksional kearah yang tranformasional. Karena pemimpin yang dilahirkan dari politik transaksioanal akan selalu menghitung pendapatan dengtan logika untung rugi. Sementara, pemimpin transformasional akan mencetak pemimpin visioner dan tidak terjebak padapada transaksi politik jangka pendek termasuk mahar politik. Bernard M. Bass dan Bruce J. Avolio mencirikan pemimpin berorak transformasional ke dalam empat karakter.

Pertama, idealized influenced, yakni pemimpin yang mampu menjadi patron ideal bagi masyarakat yang dipimpinnya. Kedua, inspirational motivation, tampil sebagai sosok yang inspiratif dan mampu membangun peradaban menuju masyarakat madani dan terampil dalam menumbuhkan gagasan serta cakap dalam mengeksekusi setiap tindakan.

Ketiga, intellectual simulation, pemimpin yang berpikiran terbuka, inovatif sekaligus piawai dalam memecahkan setiap problematika yang ada. Keempat, individualized consideration, pemimpin sebagai pelayan masyarakat tanpa berupaya membangun jarak dan tidak tersandra oleh kepentingan politik tertentu.

Untuk itu, sebagai kontrol agar terciptanya demokrasi yang sesungguhnya yanpa ada transaksi politik yang mengarah kepada terhambatnya bangunan demokrasi, maka peran civil society harus menjadi pilar dalam mengawal tegaknya demokrasi. Wallahu A’lam. (*)

Ponirin Mika, Pengurus Pesantren Nurul Jadid dan Anggota Community Of Critical Social Research Probolinggo.

Terkait

Opini Lainnya

SantriNews Network