Haji-Umrah
Main Petak Umpet dengan Askar Masjidil Haram

Dua hari yang lalu saya punya pengalaman menarik. Main petak umpet dan berdebat dengan Askar. Padahal bahasa Inggris saya pas-pasan, tapi ternyata itu cukup membantu ketika harus menjelaskan sesuatu pada orang asing di sini.
Saya bersama suami dan dua orang perempuan satu kamar, waktu itu menjalankan umroh sunnah. Kami berangkat dari pemondokan sekitar pukul dua siang menuju Masjid Tan’im untuk mengambil miqat. Kami berniat bisa shalat Ashar berjamaah di Masjidil Haram. Setiba kami di Masjidil Haram jelang Ashar beberapa jalan masuk menuju Ka’bah sudah ditutup Askar.
Beberapa kali kami harus pindah tempat. Karena Askar perempuan secara tegas menyuruh kami bertiga tidak menghalangi jalan. Kami berputar-putar mencari tempat shalat khusus perempuan, yang hampir semuanya sudah penuh. Eh saya sempat memperhatikan Askar perempuan yang suaranya nge-bass seperti suara laki-laki.
Setelah saya perhatikan ulang dengan melihat gandul mamae benar dia perempuan. Soalnya ada orang yang pernah mengingatkan agar hati-hati dengan orang berbaju hitam dan bercadar, bisa jadi dia laki-laki, karena faktor suara itu. Setelah mengetahui langsung saya bisa langsung membantah, suara berat bukan hanya monopoli laki-laki, perempuan juga banyak kok. Jadi itu hanya paranoid yang berlebihan.
Lalu dalam kondisi bingung mencari tempat shalat yang diperbolehkan, tetiba seorang cleaning service Masjidil Haram mendatangi kami. Dia bertanya yang saya artikan begini, “Anda mau shalat?” Na’am, saya jawab memakai bahasa Arab. Lalu dia mengarahkan ke arah bawah tangga pintu King Fahd, persis di samping toilet perempuan. Alhamdulillah akhirnya kami bisa shalat dengan tenang.
Singkat cerita setelah Ashar, kami thowaf dan sa’i hingga jelang maghrib. Karena berangkat sejak pukul dua siang, dengan asupan minum yang terus menerus saking panasnya, kami berhajat ingin ke toilet. Sekalian ambil wudhu untuk maghrib. Ketika keluar semua akses masih dibuka.
Selang berapa menit kemudian usai menuntaskan hajat dan berwudhu kami tidak diperbolehkan masuk. Semua pintu dijaga Askar. Paniklah kami karena tas kami ditinggal di Lantai 1 area bukit Marwah, titik akhir sa’i. Sebenarnya di sana ada suami yang menjaga tas-tas itu. Tapi selubung tangan dan kaos kaki juga ditinggal di sana. Praktis saya tidak bisa shalat.
Waktu sudah menunjukkan pukul 7 malam kurang beberapa menit. Saya mencari akal bagaimana caranya bicara pada Askar. Lalu saya katakan jika tas tertinggal di dalam. Isinya ada uang dan handphone. Entah saya gunakan bahasa campur aduk. Mungkin ada Askar yang paham, bagi Jamaah uang dan ponsel itu penting. Dia bilang “Anti wahidah” (anda sendirian aja). Ya hanya saya yang boleh masuk. Dua teman saya tertahan di depan toilet.
Tetapi karena saya tak tega meninggalkan dua orang teman, kebetulan di situ ada para petugas haji Indonesia yang sedang berjaga. Saya tanya mereka ada yang berasal dari Karawang dan Sulawesi. Tapi petugas haji tak banyak membantu. Mereka takut pada sikap tegas dan disiplin Askar.
Lalu saya bicara pada dua orang teman tadi agar mengizinkan saya masuk. Untuk mengambil tas dua temanku dan mengabarkan pada suami tentang posisi mereka yang berada di pos jaga petugas Indonesia. Karena gawai saya juga tertinggal di sana, jadi saya tidak bisa melakukan komunikasi.
Setelah kompromi dengan dua teman tadi, saya maju lagi menghadap Askar. Saya jelaskan kondisinya. Saya katakan “I am promise ana wahidah”. Bahasa Inggris dan Arab yang campur aduk. Hahaha… Akhirnya saya boleh masuk.
Saya cari suami tidak ketemu. Ah, ternyata salah lantai. Saya keluar lagi berdebat lagi dengan Askar, lalu saya ditunjukkan jalan menggunakan jalur khusus lewat lift. Naik bersama tiga petugas Masjidil Haram. Saya perempuan sendirian dalam lift, sambil terus merapal doa keselamatan. Alhamdulillah satu rintangan terlewati.
Setelah sampai di lantai 1, saya langsung mencari wajah suamiku di antara orang-orang yang menunggu shalat maghrib berjamaah. Lalu saya jelaskan situasi di bawah, akhirnya kami yang berniat shalat Isyak berjamaah, harus turun ke bawah untuk menjemput dua temanku yang masih menunggu.
Seperti biasa, akses menuju toilet ditutup dan dijaga Askar. Saya jelaskan lagi, hanya saya yang boleh turun. Suami saya tidak. Saya diam, rasanya pengen nangis. Eh tetiba Askar berteriak “Bissyur’ah” cepat, cepat, cepat. Tak melewatkan kesempatan itu, saya tarik tangan suami dan segera berjalan cepat menuruni tangga.
Begitu bertemu dua teman yang tadi tertahan, saya lihat wajahnya sudah pias. Tanpa tas mereka tak bisa ke mana-mana. Setelah mengatur nafas, kami berjalan menerobos kerumunan jamaah yang baru keluar dari masjid. Seperti semut yang keluar dari lubangnya. Kami harus berjalan memutar ke pintu King Abdul Aziz karena lokasi pemondokan kami di Misfalah, dan terminal Ajyad. Sementara pintu di mana kami keluar adalah pintu Shofa’ Marwah yang arah halamannya menuju ke Mafazin, Aziziyah dan Raudhah.
Sekarang saya paham kenapa banyak jamaah yang nyasar, tidak tahu jalan pulang. Karena banyaknya pintu di Masjidil Haram. Ada 4 pintu utama yakni Fatteh Gate, King Fahd Gate, King Abdul Aziz Gate, King Abdullah Gate, dan 120 pintu biasa. Masing-masing pintu utama akan mengarah pada area terminal atau pemondokan di mana Jamaah tinggal.
Setelah lolos dari padatnya lalu lalang Jamaah, dan langkah kami sudah pasti menuju ke terminal, kami bisa menghela nafas dengan lega. Ingin segera tiba di pemondokan, menyantap makan malam lalu mengistirahatkan raga yang lelah tak terkira. (*)