NU, Pesantren, dan Gus Muwafiq

Kasus Gus Muwafiq jadi pelajaran berharga bagi NU dan pesantren. Satu hal yang saya rasakan, NU dan pesantren dalam kasus Gus Muwafiq dan kasus-kasus serupa sebelumnya seperti kehilangan mekanisme untuk merespon secara cepat tapi solid, sehingga masalahnya tidak menjadi liar.

Karena hilangnya mekanisme ini, pesantren kemudian mengeluarkan pernyataan sendiri-sendiri yang justru dijadikan mesiu oleh pihak-pihak yang selama ini sebenarnya berseberangan dengan NU dan pesantren. Sementara NU meski mungkin bisa secara cepat merespon (faktanya tidak) tapi tanpa melibatkan pesantren, keputusannya tidak akan ligitimet. Ini tentu tak menguntungkan, karena justru bisa makin menjauhkan pesantren dan NU.

Di NU memang ada Rabithah Ma’ahid Al Islamiyah (RMI) yang dulu badan otonom tapi kemudian dijadikan lembaga. Perubahan itu bisa dimaklumi, karena kalau statusnya banom bisa tidak sejalan dengan NU, persis seperti beberapa banom selama ini. Tetapi perubahan RMI menjadi lembaga ternyata tak cukup menampung kekayaan dan dinamika pesantren yang demikian besar. Ibarat masak nasi, yang mau dimasak 10 kg beras, pancinya cuma muat 3 gelas beras.

Maka jalan keluarnya, kembalikan RMI menjadi banom. Jika khawatir banom tak sejalan dengan NU, maka batasi independensi banom, atur AD/ART agar senafas dengan AD/ART NU. NU sebagai sebuah organisasi besar memang harus rapi barisannya. Banom tentu tak boleh leluasa mengambil keputusan sendiri atas nama independensinya sebagai banom dengan alasan punya AD/ART sendiri. AD/ART banom harus sehaluan dengan NU. Biar tidak berjalan sendiri-sendiri.

Jika RMI menjadi banom diharapkan lebih cepat dan mobil mengonsolidasi pesantren, termasuk juga dalam merespon isu-isu keagamaan, kerakyatan, dan kebangsaan. Tentu dalam isu-isu yang menyita perhatian publik, RMI harus disupport oleh PBNU, sehingga NU dan pesantren bisa satu suara menyikapi berbagai isu dengan model silaturrahim yang gayeng khas NU.

Bayangan saya dalam kasus Gus Muwafiq, PBNU (melalui RMI) mengundang pengasuh-pengasuh pesantren dalam satu kegiatan secara tertutup, panggil Gus Muwafiq, bahas kasusnya, kalau perlu dijewer jewerlah Gus Muwafiq, buat rekomendasinya, dan publikasikan ke publik.

Di bulan Gus Dur ini, saya ingat dawuhnya, “NU adalah pesantren besar, sementara pesantren adalah NU kecil”.

Semoga di Muktamar NU pada 2020 mendatang di Lampung, soal hubungan pesantren dan NU betul-betul dikaji dan dimusyarahkan secara serius.

Salam.

A Dardiri Zubairi, Wakil Ketua PCNU Sumenep.

Terkait

Opini Lainnya

SantriNews Network