Ragam Perayaan Hari Raya Sepanjang Sejarah

Setiap umat memiliki hari perayaan dan musim-musim tertentu sejak dahulu kala. Dimana disaat itu mereka berkumpul untuk menunjukkan syiar-syiar ibadah dan ekspresi luapan kegembiraan dengan saling bertukar hadiah ataupun penghormatan.

Perayaan merupakan hal yang penting bagi segenap kaum. Dan kaum yang tidak memiliki perayaan adalah kaum yang tidak memiliki sejarah. Sebab di dalam suatu perayaan selain merupakan tradisi sosial budaya juga memperkokoh unsur toleransi kebersamaan.

Setiap umat tentunya memiliki keragaman dalam melakukan perayaan itu sendiri, ada yang positif, ada yang negatif berikut uraian perayaan yang pernah ada sepanjang sejarah.

Perayaan Pra Islam
Bangsa jahiliah sebelum Islam memiliki banyak jenis perayaan biasanya berkaitan dengan penyembahan kepada berhala, merayakan kebangkitan suku, dll. Ibnu Risiq dalam kitab “Al Umdah” menjelaskan; “qobilah suku Arab memiliki 3 tiga perayaan. Pertama saat melahirkan anak laki-laki, kedua saat kuda mereka melahirkan, ketiga saat muncul penyair baru dan bentuk perayaannya mereka luapkan dengan pesta seks, berjoget, mabuk, dan judi.”

Bangsa jahiliyah juga merayakan hari “Naairuz” dan hari “Mahrojan” yaitu dua perayaan menunjukkan perubahan iklim cuaca.

Sementara umat jahiliyah modern dalam kitab Haitsi karya Syekh Nasir Assyaibani mendiskripsikan suatu perayaan dengan hal yang berbau hiburan, malahi, miras dan pelacuran. Misalnya bangsa Yunani kuno memiliki perayaan “BAKUS” yang mana perayaan ini menyuruh wanita dan pria melepaskan rasa malu untuk melampiaskan hasrat seksualnya dan siapa saja yang menolak akan dikubur hidup-hidup.

Perayaan Ahli Kitab

Mengenai perayaan kaum Nabi Musa, Allah SWT berfirman; “dan dia (Musa) berkata (perjanjian) waktu (untuk pertemuan kami dengan kamu itu) ialah pada hari raya dan hendaklah orang orang dikumpulkan pada pagi hari (dluha).” QS Thaha; 59.

“Yaumu Zinah” merupakan perayaan bagi mereka untuk melakukan penampilan terbaiknya dan berhias diri pada setiap hari Asyura tepatnya hari Sabtu.

Sementara Allah berfirman mengenai kaum Nabi Isa; “Isa putra maryam berkata “ya Tuhan kami turunkanlah kepada kami hidangan dari langit (yang hari turunnya) akan menjadi hari raya bagi kami yaitu orang orang yang sedang bersama kami ataupun yang datang setelah kami, dan menjadi tanda bagi kekuasaanmu; berilah kami rezeki dan engkau sebaik baiknya pemberi rezeki.” QS Al Maidah 114.

Berkata ahli tafsir yang dimaksud “hidangan/maidah” di sini 7 roti dan 7 ikan hiu yang mereka makan hingga kenyang. Sementara dalam hadits disebutkan “maidah” adalah hidangan dari langit berupa roti dan daging yang mana mereka diperintahkan agar tidak berkhianat dan tidak menyimpannya untuk esok harinya. Namun mereka berkhianat dan menyimpannya hingga mereka dikutuk menjadi kera dan babi (Tafsir Jalalain).

Perayaan dalam Islam
Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Aisyah r.a
(( جاء حبشي يزفون في يوم عيد في المسجد فدعاني النبي صلى الله علبه وسلم فوضعت رأسي على منكبيه وجعلت انظر الى لعبهم حتى كنت انا التي انصرف عن النظر اليهم ))

“Datang kaum habasyah mereka berzafin pada Hari Raya di masjid lalu Rosulullah memanggilku kemudian kepalaku diletakkan di sikutnya agar aku bisa melihat pada permainan mereka hingga aku yang berpaling dari melihat mereka”.

Dan diriwayatkan oleh Imam Nasai dan Ibnu Hibban dengan sanad yang shohih dari sahabat Anas RA, ia berkata;
قدم النبي صلى الله عليه المدبنة ولهم يومان يلعبون فيهما فقال : قد ابدلكما خيرا منهما يوم الفطر والأضحى

“Nabi datang ke Madinah dan penduduk Madinah memiliki dua hari perayaan untuk bermain-main. Nabi berkata; Allah telah mengganti dengan dua hari yang lebih baik darinya yaitu hari Idul Fitri dan Idul Adha.”

Dari kedua hadits ini bisa kita ketahui bahwa Islam memjadikan hari Idul Fitri dan hari Idul Adha sebagai perayaan Islam. Sebagaimana yang telah kita lakukan dalam menyambut Hari Raya biasanya kita mengumandangkan takbir, melaksanakan shalat Ied, membayar zakat menyembelih kurban, bersilaturahmi pada sanak family tentu semua ini tidak lepas dari “maqosid syariah” atau tujuan syariah yaitu;

- Iedul Fitri dirayakan setelah kita menyempurnakan ibadah agung pada bulan ramadhan mulai dari puasa, shalat tarawih, tadarus, qiyamul lail, dll. Sementara pada Idul Adha tidak dilakukan kecuali telah melakukan manasik haji.

- Perayaan Islam merupakan perayaan yang meninjau aspek sosial kemasyarakatan, memperhatikan kaum yang lemah agar tidak merasa lapar pada hari yang berbahagia dengan program zakat dan sodaqoh atau juga THR bagi segenap karyawan.

- Momentum memperkuat ukhuwah islamiyah dengan silaturahmi. Aristoteles berkata, manusia adalah zoon foliticon yaitu makhluk yang bermasyarakat, bersosialisasi, berinteraksi sosial, dalam bersosialisasi manusia akan selalu berinteraksi dengan manusia. Interaksi sosial merupakan syarat utama terjadinya aktifitas sosial. Interaksi sosial adalah adalah hubungan yang dinamis yang menghubungkan masing masing individu dan kelompok. Salah satunya bisa kita tempuh melalui bersilaturahmi.

- Menurut Syeh Abdurrohman Habannaka: “perayaan ini tidak hanya untuk mengenang sejarah atau meneruskan sejarah saja, akan tetapi untuk merealisasikan keluhuran yang selalu di upgrade setiap tahunnya. Kemudian ditanamkan pada setiap muslim atau paling tidak bagi mayoritas umat Islam. Sebagaimana shalat sebagai ibadah harian maka Allah menjadikan hari Jumat sebagai hari raya dengan perasaan bahagia sebab sudah sukses melaksanakan ibadah selama seminggu penuh.”

Sementara di sisi lain Al Habib Abu Bakar Ahmad Al Haddar mengatakan dalam kitab “Madrosah Romadloniyah” bahwa perayaan hari raya ini memiliki beberapa perspektif ditinjau dari beberapa bidang, berikut perinciannya:

Menurut para Arifin (orang sholih); Imam Ali RA berkata; hari ini merupakan hari raya bagi orang yang diterima puasanya dan bagus track record nya serta mendapat ampunan dosanya. Hari ini bagi kita adalah hari raya, besok juga hari raya, dan setiap kita tidak bermaksiat kepada Allah adalah hari raya.”

Menurut ahli gramatika; Hari Raya “Ied” yaitu setiap hari yang terdapat perkumpulanatau sejenisnya. Ibnu Arobi berkata; mengapa dikatakan ied? Karena perayaan itu kembali setiap tahunnya dengan beragam kebahagiaan yang baru.”

Oleh karena itulah disaat hari raya kita mengucapkan “Minal Aidzin Wal Faidzin Kullu Amm Wa AntUM Bikhoirin” agar kita tahun kembali di tahun berikutnya dengan kondisi yang bebahagia.

Menurut para penyair; hari raya “ied” merupakan kesempatan yang digunakan para penyair untuk berbicara dan open house dengan para pimpinan, khalifah, pejabat pemerintah, ulama, atau siapapun yang memiliki kedudukan penting meskipun tidak harus dalam kondisi senang sajabisa jadi juga dalam kondisi gawat atau sedih namun bertujuan membangkitkan gairah dan semangat kebahagiaan. (*)

Tarim, 28 Ramadlan 1436 H

Moh Nasirul Haq, santri Rubat Syafii Mukalla Yaman.

Terkait

Opini Lainnya

SantriNews Network