Ragam Perspektif Kelahiran Nabi Muhammad
Bagaimana kita hendak menjelaskan peristiwa kelahiran Nabi Muhammad Saw? Kita punya banyak cara melakukannya lewat berbagai perspektif.
Ada perspektif Hadits, dimana sanadnya harus dijelaskan oleh ahli Hadits dan terkadang ada perbedaan pandangan akan status kesahihannya.
Ada cara pandang sejarawan yang mengumpulkan kisah memakai sanad. Namun bukan saja sanadnya tidak sampai ke Rasul, tapi juga sulit diverifikasi dengan kacamata ilmu Hadits.
Sampai di sini saja sudah akan beda perspektif antara riwayat yang kita temui dalam Shahih Bukhari – Shahih Muslim dengan Sirah Ibn Hisyam.
Ada lagi yang memandang peristiwa kelahiran Nabi Muhammad dari sudut tasawuf. Maka penjelasan ilmu ma’rifah tentang Nur Muhammad tidak bisa sembarangan dijelaskan di kalangan awam, apalagi hanya di panggung ceramah.
Ada lagi yang menjelaskannya dengan pendekatan cinta. Maka dia akan mengutamakan pendekatan adab, bukan bukti-bukti sejarah atau kesahihan riwayat.
Ada lagi yang menuliskan peristiwa kelahiran Nabi lewat syi’ir puji-pujian. Ini jelas berbeda dengan riwayat Hadits. Diksi yang dipilih juga sering berupa metafor yang glorifikasi. Tidak bisa dipahami secara harfiah apa adanya. Puji-pujian dalam Barzanji, misalnya, tidak layak dibenturkan dengan Shahih Bukhari. Karena perspektif kedua kitab ini berbeda. Berbeda bukan berarti keliru.
Baik, sudah paham kan akan perbedaan perspektif yang ada? Saya ingin kasih dua contoh saja. Jangan banyak-banyak contohnya, nanti heboh.
Kalau dalam perspektif syi’ir puji-pujian, seperti dalam Barzanji, kita bisa menerima info bahwa Nabi lahir 12 Rabiul Awal. Tapi kalau kita buka kitab sejarah, seperti Sirah Nabawiyah karya Ibn Katsir (jilid 1, hal 199-200) kita akan terkejut mendapati sekian banyak riwayat sejarah yang berbeda tentang tanggal kelahiran Nabi. Ada yang bilang tanggal 17 dan ada pula yang bilang tanggal 8 bulan Rabiul Awal. Ternyata Ibn Katsir juga mencatat ada yang bilang Nabi Saw lahir 12 Ramadhan. Kalau informasi berbeda ini disampaikan dalam ceramah, bisa-bisa umat pada heboh. Padahal dalam perspektif sejarah, perbedaan tanggal ini hal biasa.
Contoh kedua. Benarkah Ibunda Nabi, Siti Aminah, melihat cahaya saat Nabi lahir? Kalau kita lihat syair dalam Barzanji memang disebutkan demikian. Namun bila kita merujuk pada literatur Hadits, diskusinya akan seru dan asyik. Ada sanad dan redaksi yang berbeda, serta berbeda pula para ulama menilai kualitas haditsnya.
Hadits pertama:
Dari Kholid bin Ma’dan dari para sahabat Rasulullah bahwa mereka mengatakan:
يا رسول الله ، أخبرنا عن نفسك. قال : دعوة أبي إبراهيم ، وبشرى عيسى ، ورأت أمي حين حملت بي كأنه خرج منها نور أضاءت له قصور بصرى من أرض الشام
“Wahai Rasulullah, tolong beritahukan kepada kami tentang dirimu. Maka beliau bersabda, “(Aku adalah hasil) doa ayahku (Nabi) Ibrahim dan kabar gembira (Nabi) Isa. Dan ibuku bermimpi ketika beliau mengandungku, seakan keluar cahaya darinya menyinari istana Bushra di negeri Syam.”
Imam Hakim mengatakan hadits ini shahih. Ibn Katsir dalam tafsirnya mengatakan sanadnya jayyid (bagus). Al-Bushiri mengatakan hasan.
Hadits kedua:
Diriwayakan dari Irbad bin Sariyah radhiallahu anhu sesungguhnya Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam bersabda, kemudian disebutkan hadits di dalamnya ada,
إِنَّ أُمَّ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَتْ حِينَ وَضَعَتْهُ نُورًا أَضَاءَتْ مِنْهُ قُصُورُ الشَّام
“Bahwa ibunda Rasulullah ketika melahirkan beliau, dia melihat cahaya yang menyinari istana negeri Syam.”
Imam adz-Dzahabi mengatakan sanadnya hasan. Tidak mencapai derajat sahih karena menurut beliau perawi yang bernama Abu Bakr bin Abi Maryam itu lemah. Namun menurut Syekh Arnauth, karena ditopang riwayat-riwayat lain yang sejenis, maka statusnya naik menjadi Shahih lighairih.
Ada tambahan kalimat dalam riwayat lain:
وَكَذلِكَ أمَّهاتِ النبيِّينَ يريْنَ
‘Begitupula ibu-ibu para Nabi juga melihatnya”
Hadits dengan tambahan kalimat ini dinyatakan shahih oleh Ahmad Syakir, tapi dinyatakan dha’if oleh al-Albani.
Ini baru dari segi sanad. Dari segi matan, para ulama berbeda memahami kedua riwayat di atas. Ada sebagian yang menganggap redaksinya berbeda: hadits pertama melihat cahaya saat mengandung, sedangkan hadits kedua saat melahirkan. Mana yang benar?
Ada pula yang mencoba menggabungkanya: cahaya itu terlihat dua kali; saat mengandung dan saat melahirkan. Jadi tidak bertentangan.
Ada pula yang mengatakan bahwa hadits pertama itu saat mengandung melihat cahaya dalam mimpi, sedangkan saat lahir Siti Aminah melihatnya secara langsung.
Ini tentu saja kalau kita menerima status kedua riwayat di atas shahih.
Begitulah perbedaan cara melihat peristiwa kelahiran Nabi. Banyak perspektif yang berbeda sesuai dengan pendekatan yang mau kita ambil. Jadi, jangan terburu-buru mau menyalahkan pihak lain. Apalagi menganggap orang lain menghina Nabi hanya karena melihat satu peristiwa dengan perspektif yang berbeda.
Terakhir, Gus Muwafiq sempat kontak saya, dan sambil guyon khas NU saya bilang: “njenengan gak salah Gus. Cuma kurang ganteng saja!”
Kata beliau: “kalau gitu sudah waktunya saya diajari untuk ganteng.”
Tabik,