Refleksi Hari Santri Nasional
Revitalisasi Nilai-Nilai Pesantren

Euforia terhadap penetapan hari santri Nasional begitu luar biasa. Momentum ini seakan telah membangkitkan kembali gairah juang santri. Terbukti, perayaan terhadap penetapan hari santri nasional ini terjadi dimana-mana dan henti-hentinya dielu-elukan komunitas santri. Baik secara langsung maupun melalui media sosial. Dimana-mana terdapat ucapan “selamat hari santri Nasional”. Hampir semua pesantren se-Indonesia larut dalam kebahagian menyambut ditetapkannya tanggal 22 Oktober sebagai hari santri nasional.
Kegembiraan itu bisa dimafhum. Mengapa, 70 tahun lamanya Indonesia merdeka namun, tak sedikitpun peran pesantren atau kiai-kiai pesantren tertulis dalam buku-buku sejarah kemerdekaan Indonesia. Padahal sebagaimana kita ketahui sejak awal-awal kolonial Belanda meletakkan kakinya di bumi Indonesia, pada saat itu pula perjuangan kiai-kiai pesantren dimulai. Artinya, keberperanan pesantren dalam kemerdekaan Indonesia tidak bisa diragukan lagi. Dengan begitu, penatapan tanggal 22 Oktober sebagai hari Nasional merupakan hal yang wajar mengingat jasa-jasa pesantren terhadap Indonesia begitu luar biasa.
Peristiwa 22 Oktober berawal dari pertanya Bung Karno terhadap Mbah Hasyim Asy’ari terkait hukum membela tanah air. Setelah mendapat pertanyaan ini Mbah Hasyim kemudian memerintahkan KH Wahab Chasbullah, KH Bisri Syansuri, dan kiai lain untuk mengumpulkan kiai se-Jawa dan Madura.
Para kiai dari Jawa dan Madura itu lantas rapat di Kantor PB Ansor Nahdlatoel Oelama (ANO), Jalan Bubutan VI/2, Surabaya, dipimpin Kiai Wahab Chasbullah pada 22 Oktober 1945. Pada 23 Oktober 1945, KH Hasyim Asya’ri atas nama Pengurus Besar NU mendeklarasikan seruan jihad fi sabilillah, yang kemudian dikenal dengan Resolusi Jihad.
Resolusi jihad ini, kemudian dipublikasikan oleh Bung Tomo lewat sarana radio dengan suara khasnya yang menggelegar, heroik dan membakar semangat rakyat Jawa Timur dan juga rakyat Indonesia yang mendengarnya. Peristiwa inilah yang diapresiasi pemerintah sebagai gerakan santri.
Diakui atau tidak, penetapan hari santri nasional secara politik merupakan aktualitas dari kompromi politik yang telah dilakukan oleh Presiden Joko Widodo dengan tokoh-tokoh NU pada Pilpres tahu lalu.
Sedangkan secara historis, ia merupakan bentuk apresiasi pemerintah terhadap sumbangsih dalam pembangunan negara Indonesia. Kiprah pesantren dalam dinamika pembangunan Indonesia bukan hanya bisa dibaca dari peristiwa 22 Oktober dan 10 November tapi juga hingga saat ini pesantren tetap mengawal eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) melalui organisasi keagamaan dan kemasyarakat Nahdlatul Ulama (NU).
Jadi, menurut hemat saya asumsi bahwa penetapan hari santri nasional berpotensi menciptakan perpecahan persatuan Indonesia kurang tepat. Mengapa, dalam tradisi pesantren tidak mengenal polarisasi golongan dan dikotomi sosial. Misalnya, dalam pesantren putra Kiai, putra bangsawan, dan putra petani mempunyai kedudukan yang sama, sehingga sekat-sekat sosial dalam kehidupan pesantren tidak terjadi.
Polarisasi masyarakat santri, abangan dan priyayi merupakan teori konspirasi yang sengaja dibuat untuk melemahkan umat Islam yang ada di Indonesia. Dengan alasan inilah penetapan hari santri nasional bukanlah hal yang perlu dikhawatirkan. Karena integritas dan semangat nasionalisme santri sejak awal berdirinya negeri ini telah terbukti.
Beban Moral
Pada sisi yang lain, penetapan tanggal 22 Oktober sebagai hari santri nasional adalah beban moral bagi pesantren. Dengan penetapan hari santri nasional secara tidak langsung pemerintah telah mengajak pesantren untuk terus bahu membahu membangun bangsa ini melalui pendidikan pesantren. Karena melalui pendidikan, pesantren telah banyak melahirkan tokoh-tokoh nasional yang handal dan berintegritas. Nah, di tengah krisis multidimensi yang dihadapi bangsa dewasa ini, tentu diharapkan peran serta pesantren dalam menyelesaikannya.
Kemudian, pesantren juga dituntut untuk terus menjaga nilai-nilai pesantren. Semangat kebersamaan, gotong royong, semangat juang dan nasionalisme yang telah diajarkan oleh sesepuh pesantren harus terus digelorakan dan direvitalisasi. Karena melalui nilai-nilai inilah pesantren akan tetap menjadi pondasi dan benteng NKRI di tengah gerakan seporadis yang ingin memecah belah bangsa ini. Banyaknya kelompok-kelompok yang menggugat NKRI menjadi tantangan bagi pesantren.
Dalam situasi semacam ini pesantren harus tetap ambil bagian bagaimana mentransformasikan nilai-nilai dan ajaran-ajaran pesantren agar masyarakat atau rakyat Indonesia tetap berada pada paradigma kemuderatan dan tidak terprovokasi pada wacana sistem khilafah yang dilendingkan oleh kelompok-kelompok yang anti NKRI.
Selanjutnya, asumsi-asumsi negatif yang selama ini disematkan terhadap pesantren akibat maraknya terorisme di Indonesia yang membawa bendera agama Islam harus segera ditepis oleh pesantren melalui pembuktian komitmen dan semangat persatuan dan gotong royong yang telah digelorakan pada momentun resolusi jihad 10 November 1945 melalui transformasi pemikiran-pemikiran pesantren tentang kebangsaan dan keagamaan.
Ala kulli hal, penetapan tanggal 22 Oktober sebagai hari santri nasional merupakan momentum bagi pesantren untuk merevitalisasi nilai-nilai kepesantrenan. Semangat gotong royong, kebersamaan dan nasionalisme yang diajarkan oleh pesantren harus ditransformasikan kepada masyarkat.
Pemikiran-pemikiran keagamaan yang moderat yang telah menjadi ciri khas pesantren tidak boleh terkontaminasi dengan maraknya radikalisme keagamaan yang sengaja dikembangkan untuk mengenyahkan pesantren. Karena itulah Nilai-nilai pesantren ini tidak boleh runtuh akibat gelombang modernitas dan varian-varian pemikiran keagamaan kekinian. Pesantren harus tetap berada di garda depan dalam memperjuangkan eksistensi NKRI sebagai negara darussalam (Negara damai). Wallahu A’lam. (*)
Mushafi Miftah, Intelektual Muda NU Jawa Timur dan Dosen IAI Nurul Jadid Paiton Probolinggo.