Ramadhan: Antara Berkah dan Sampah

Di jalan pinggir Masjid Nasional Al-Akbar Surabaya itu, para pedagang berjubel berjualan makanan hingga pakaian. Para pengunjung ramai berdatangan. Kendaraan-kendaraan diparkir beraturan. Pun sampah-sampah berserakan. Jalanan tidak lagi lancar.
Ya, setiap bulan Ramadhan datang memang selalu ada bazar di sepanjang jalan Masjid Al-Akbar. Memang, Ramadhan selalu menjanjikan keuntungan yang berlipat bagi para pelaku usaha.
Wajar, pada bulan ini tidak hanya ibadah yang meningkat, namun juga daya beli masyarakat turut terangkat. Konsumerisme masyarakat tidak terbendung.
Studi AC Nielsen, sebagaimana dilansir dari Republika, penjualan barang konsumen di Indonesia naik 9,2 persen pada bulan Ramadhan. Penjualan biskuit misalnya meningkat 11 kali lipat, ikan dan daging kalengan naik dua kali lipat, sosis dan bakso meningkat 34 persen. Itu di pasar modern. Di pasar tradisional juga terjadi peningkatan permintaan yang tinggi.
Saya jadi teringat beberapa tahun lalu. Di Musholla Pesantren Annuqayah Latee, Guluk-guluk, Sumenep, ratusan santri duduk khidmat. Salah satu pengasuh, Kiai Wadud memberikan wejangan agar hidup sehat selama berpuasa. Salah satu caranya adalah menjaga pola hidup sehat dan tidak menjadikan perut sebagai tempat sampah.
Ketika berbuka puasa misalnya, kita mengkonsumsi berbagai jenis minuman yang menyegarkan, buah-buahan dan makanan, sehingga perut tak ubahnya tempat sampah yang berisi segala jenis mamin. Tidak lagi menjelang lebaran, bukan hanya makanan dan minuman yang dipersiapkan, tapi juga masyarakat berbondong-bondong membeli pakaian baru untuk merayakan yang menurut mereka demi merayakan hari kemenangan.
Hal itu tidak berlaku bagi saya. Bukan karena komitmen untuk berpuasa lahir dan bathin, akan tetapi karena saya pemburu Takjil, yang mendapatkan sebungkus nasi dan secangkir minuman untuk berbuka. Setelah itu, tidak mengkonsumsi apa-apa, selain kopi dan rokok sebagai minuman pokok.
Itulah yang dimaksud judul tulisan ini, Ramadhan tidak hanya berisi berkah semata, namun juga sampah.
Fenomena itu bisa jadi karena keinginan (nafsu) yang seharusnya tunduk pada hati, malah menundukkan hati. Artinya, orang berpuasa yang menuruti keinginannya untuk memuaskan yang ragawi adalah kekalahan hati dari para pasukannya.
Ulil Abshar Abdalla, pendiri Jaringan Islam Liberal (JIL) yang mengkaji Ihya’ Ulumuddin secara online dan saya kadang-kadang mengikutinya, menyebutkan bahwa keinginan (nafsu) dan amarah merupakan pasukan hati. Ada kalanya, pasukan ini tunduk sepenuhnya kepada hati, tapi bisa juga kedua tentara ini melakukan tindakan indisipliner dan membangkang terhadap penguasanya, hati. Akibatnya, hati yang ditundukkan oleh kedua tentaranya itu.
Hati, lanjut Ulil ketika menjelaskan isi Ihya’ Ulumuddin juga memililiki satu pasukan lainnya, yakni akal. Akal inilah yang akan mencoba melawan keinginan dan amarah ketika melakukan perlawanan terhadap hati.
Namun, ada kalanya ketika hati ditundukkan oleh kedua tentaranya, akal juga dapat dikalahkan. Sehingga, ketika dalam diri manusia yang berkuasa adalah keinginan dan amarah, maka akal akan digunakan untuk menjustifikasi keinginan tersebut.
Dalam konteks bulan Ramadhan, di mana tingkat konsumerisme meningkat sesungguhnya bagian dari kemenangan keinginan. Sebab, Ramadhan adalah menahan, tidak hanya makan dan minum, namun juga menahan keinginan-keinginan semu yang tidak substantif.
Makanan dan minuman ketika berbuka puasa, serta baju baru ketika berlebaran sebenarnya bukanlah tujuan puasa. Berkah, bukan sampah yang seharusnya dikumpulkan para shoim.
Berkah hanya bisa didapatkan melalui ritual-ritual yang diajarkan, dan berbelanja sebanyak-banyaknya bukanlah anjuran dalam agama Islam, baik di luar Ramadhan, apalagi selama bulan seribu bulan itu. Saya tidak menemukan suatu dalil yang menyatakan bahwa umat Islam selama bulan Ramadhan diutamakan untuk mengisi perut dengan makanan yang enak-enak ketika berbuka dan memakai pakaian baru dan bagus ketika merayakan hari kemenangan, Idul Fitri.
Islam menyebutkan bahwa puasa selama Ramadhan untuk membentuk pribadi yang taat kepada Allah sebagaimana dijelaskan dalam Al-Quran surat Al Baqarah ayat 183. Belum ditemukan satupun ayat yang menyebutkan bahwa tujuan berpuasa selama bulan Ramadhan adalah untuk membentuk manusia yang suka berbelanja. (*)