Kasus OTT Irman Gusman, Pengamat UI: KPK Melakukan Praktek Sesat

Ketua DPD RI Irman Gusman (santrinews.com/ist)

Jakarta – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilai melanggar aturan saat melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Ketua DPD RI Irman Gusman pada 17 September 2016 lalu. Aturan yang dilanggar KPK yaitu UU Nomor 81 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Pengamat Hukum dari Universitas Indonesia (UI) Andri W. Kusuma menilai, bahwa Irman Gusman harus mengajukan praperadilan terhadap kasus yang menimpa dirinya. Sebagaimana mengacu pada UU Hukum Acara Pidana bahwa KUHAP merupakan benteng terakhir Declaration of Human Right bagi setiap warga negara saat berhadapan dengan negara (KPK) dalam konteks penegakan hukum di Indonesia.

Andri menjelaskan, beberapa alasan Irman Gusman harus mengajukan praperadilan. Di dalam KUHAP terdapat beberapa asas penting dalam penegakan hukum antara lain; asas legalitas, asas keseimbangan, asas praduga tidak bersalah, asas pembatasan penahanan, asas ganti rugi dan rehabilitasi.

Asas itu jelas mengatur larangan-larangan dan batasan-batasan terhadap aparat penegak hukum (termasuk KPK) dalam menjalankan tugas dan kewenangannya, dan di sisi lain juga memberikan perlindungan terhadap warga negara baik ia tersangka maupun terdakwa.

KPK memang punya kewenangan sangat besar, bahkan mampu berbuat apa saja, tetapi setiap warga negara juga harus mendapatkan kebenaran yang hakiki atau kebenaran materil. Penetapan tersangka, terdakwa, korban dan keadilan yang sebenarnya,” terang Andri, Rabu, 21 September 2016.

Kebenaran materil, kata Andri, hanya bisa didapatkan jika aparat penegak hukum (termasuk KPK) telah menjalankan KUHAP secara konsekuen, proporsional dan profesional, sehingga akan memberikan kepastian hukum bagi seluruh masyarakat yang berujung pada stabilitas hukum itu sendiri.

Andri menilai, KPK sudah melakukan praktek sesat saat melakukan penegakan hukum, KUHAP telah dilanggar, di mana berdasarkan kesaksian istri Irman Gusman, Liestyana Rizal, KPK tidak sesuai aturan hukum saat melakukan OTT terhadap Irman Gusman.

Upaya paksa penggeledahan, penangkapan dan penyitaaan dilakukan tanpa surat perintah dan izin dari pengadilan. Bahkan berdasarkan keterangan Liestyana, KPK menunjukkan surat perintah atas nama orang lain.

Sebelum perkara Irman Gusman, tutur Andri, ada kasus Rumah Sakit (RS) Sumber Waras dan reklamasi yang jelas-jelas sudah merugikan negara akan tetapi sampai saat ini diduga aktor utamanya diabaikan oleh KPK, belum lagi perkara PT BA, di mana dikatakan OTT, akan tetapi tidak ada pihak yang disuap.

Padahal patut diingat upaya paksa seperti; penangkapan, penggeledahan dan penyitaan itu pada dasarnya adalah merupakan pelanggaran HAM karena itu pelaksanaannya wajib dilakukan secara profesional dan proporsional yakni berdasarkan KUHAP.

“Belum lagi KPK menyatakan kesalahan Irman Gusman adalah telah melakukan trading in influence atau dagang pengaruh, hal ini sangat menyedihkan karena dalam UU KPK tidak terdapat delik dagang pengaruh ini. Sangat jelas terdapat asas legalitas dimana seseorang tidak dapat dihukum tanpa ada aturan secara tertulis atau UU yang mengaturnya terlebih dahulu yang harus ditafsirkan seperti apa yang dibaca serta tidak multitafsir (lex scripta, lex stricta dan lex certa),” papar Andri.

“Praktek sesat KPK ini tentunya harus segera diakhiri karena akan sangat berbahaya ke depan, terutama dalam konteks penegakan hukum pidana. Tentunya Pak Irman Gusman harus ajukan praperadilan,” seru Andri lagi.

Ia menambahkan bahwa beberapa kali KPK kalah dalam proses praperadilan, akan tetapi sayangnya KUHAP belum mengatur mengenai reward and punishment bagi penyidik dalam hal ini KPK yang kalah dalam proses praperadilan.

“Terlebih biaya yang digunakan oleh KPK dalam menyelidiki dan menyidik suatu dugaan tindak pidana korupsi tidak lah kecil bahkan jika dibandingkan dengan lembaga lain kejaksaan dan kepolisian dapat dibilang sangat lah besar,” pungkas dia. (us/okezone)

Terkait

Politik Lainnya

SantriNews Network