Drs KH Hasan Makarim, Kiai Pendamping Terpidana Mati

KH Hasan Makarim (santrinews.com/indopos)
Sudah 24 tahun dipercaya mendampingi terpidana mati dari kalangan Islam. Drs KH Hasan Makarim mengemban amanat cukup berat menenangkan hati dan pikiran para terpidana sebelum ajal menjemput.
TAK banyak orang yang “berprofesi” seperti KH Hasan Makarim. Dia bisa bolak-balik masuk keluar Pulau Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, secara leluasa. Maklum, dia adalah pendamping atau rohaniwan bagi para pesakitan di pulau yang digunakan pemerintah untuk memenjarakan narapidana kelas berat agar terpisah dari dunia luar tersebut. Peran rohaniawan cukup membantu dalam proses melancarkan “jalan” para terpidana mati menjelang eksekusi.
Tiga kali dalam seminggu Kiai Hasan – sapaannya – menyambangi tujuh lembaga pemasyarakatan (lapas) di Nusakambangan. Yakni Lapas Besi, Kembang Kuning, Narkoba, Batu, Permisan, Terbuka, dan Pasir Putih. Di penjara-penjara itu kiai yang kini menjabat ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Cilacap tersebut dengan telaten memberikan pengajian dan berdakwah. Mengajak para penghuni lapas untuk kembali ke jalan kebenaran, jalan Tuhan.
Ikhlas Jalani Tugas
Tak sekadar menjadi rohaniawan, Kiai Hasan juga mendapat tugas dari Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkum HAM) untuk menjadi salah seorang pendamping terpidana mati di Nusakambangan. Sebuah amanah yang berat. Namun, dia menjalani tugas itu dengan keikhlasan.
Kiai Hasan bukan orang baru di Nusakambangan. Bahkan, sebagian hidupnya dia dedikasikan untuk menyebarkan nilai-nilai Islam di pulau terpencil tersebut. Koordinator pondok pesantren di Nusakambangan itu sudah menjalani pekerjaan sebagai pendamping terpidana mati sejak 24 tahun silam.
Kediaman kiai karismatis tersebut berada di Jalan Perintis Kemerdekaan, Cilacap. Saat ditemui, Kiai Hasan mengaku sedang menyelesaikan tulisannya tentang pengalaman pribadinya selama mengabdikan diri di Nusakambangan. “Mumpung ada waktu senggang, saya tulis. Biar tidak lupa ceritanya,” ujar dia ramah.
Sebagai ulama terpandang di Cilacap, Kiai Hasan tinggal di rumah yang terkesan sederhana. Seperti dimuat Jawa Pos, edisi Rabu, 18 Februari 2015, bagian depan rumah dijadikan toko yang menjual busana muslim serta beraneka majalah.
Baru di ruang tengah sosok Kiai Hasan sebagai pemuka agama yang dihormati terlihat. Foto-foto ketika dia menerima penghargaan dari presiden dipajang. Selain itu, koleksi puluhan buku islami tertata rapi di dalam rak. Hal tersebut mencerminkan bahwa sang pemilik rumah merupakan intelektual muslim.
Kiai Hasan bisa berdakwah di kompleks Lapas Nusakambangan bukan lantaran faktor kebetulan. Awalnya, pada 1985, dia diajak seorang ulama senior Cilacap untuk mengajarkan ilmu agama di Lapas Nusakambangan. Ajakan itu tidak lantas dia terima. Kiai Hasan berpikir lama. Dia sempat ragu untuk menyanggupi ajakan tersebut atau tidak. Sebab, dia menyatakan belum siap membenahi akhlak penghuni lapas itu.
Setelah berpikir lama, baru enam tahun kemudian Kiai Hasan bisa memutuskan untuk ikut berdakwah di Nusakambangan. Bahkan, sampai kini dia masih aktif keluar masuk lapas-lapas di sana. “Kuncinya ketulusan dalam memberikan ilmu,” tutur anggota Dewan Kehormatan Palang Merah Indonesia (PMI) Cilacap itu.
Sejak hukuman mati mulai diberlakukan di Indonesia, tugas Kiai Hasan pun bertambah. Dia tidak hanya berdakwah di depan para narapidana, namun juga ditugaskan sebagai pendamping terpidana mati. Khususnya bagi yang beragama Islam. Dia pun dengan ikhlas menjalankan tugas berat itu.
Karirnya sebagai pendamping terpidana mati dimulai ketika eksekusi hukuman mati terhadap trio pelaku bom Bali I. Yakni Amrozi, Imam Samudra, dan Ali Ghufron. Sayangnya, dia tidak bersedia menceritakan bagaimana pengalamannya mendampingi tiga sekawan itu.
“Mohon maaf, saya tidak bersedia cerita soal itu. Yang lainnya saja ya,” ujarnya tanpa mau mengungkap alasan penolakan bercerita soal terpidana mati trio bom Bali I tersebut.
Terakhir, Kiai Hasan menjadi pendamping bagi terpidana mati kasus narkoba, yakni Rani Andriani alias Melisa Aprilia dan Namaona Denis, warga negara Malawi. Mereka dieksekusi mati bersama empat terpidana mati lainnya, Marco Archer Cardozo Mereira, Daniel Enemua, Ang Kim Soe, dan Tran Thi Han. Eksekusi dilangsungkan serentak di Nusakambangan dan Lapas Boyolali, Jawa Tengah, 18 Januari 2015 pukul 00.00.
Kiai Hasan mengatakan, seminggu sebelum hari H eksekusi, dirinya sudah harus mendampingi dua terpidana itu (Rani dan Namaona). Mereka diletakkan di sel isolasi. Tiap sel dihuni seorang terpidana. Setiap hari Kiai Hasan dengan tekun memberikan motivasi dan siraman rohani kepada keduanya.
Menurut Kiai Hasan, mendekati hari-hari terakhir hidup, biasanya para terpidana mati lebih khusyuk beribadah. Tak terkecuali Rani dan Namaona. “Mereka menjalankan semua tuntunan agama dengan baik,” ucapnya.
Rani misalnya. Perempuan asal Cianjur, Jawa Barat, itu merupakan muslimah yang taat. Hari-harinya dia habiskan dengan beribadah. Salat lima waktu tidak pernah dia tinggalkan.
Dia juga rajin mengaji. “Saya kagum pada dia. Salatnya tidak pernah bolong. Dia menjalaninya dengan khusyuk,” paparnya.
Selain salat dan mengaji, Rani rajin berpuasa. Sekitar dua bulan menjelang eksekusi, dia menjalankan puasa setiap hari. Targetnya sampai 40 hari. Sayang, baru 35 hari dia sudah harus menjalani eksekusi.
Rani juga dikenal sebagai perempuan yang pandai bergaul. Vonis mati yang dia terima tak menghilangkan keceriaannya. Setiap hari perempuan yang ditangkap saat membawa heroin seberat 3,5 kilogram itu selalu menjalankan kegiatan di lapas. “Pokoknya, yang bersangkutan tampak pasrah menghadapi hukuman itu,” kenang Kiai Hasan.
Untuk Namaona Denis, Kiai Hasan menceritakan, awalnya laki-laki tersebut sangat pendiam. Dia sempat terpukul karena permohonan grasinya ditolak presiden. Namun, kepada Kiai Hasan, dia akhirnya bersedia membuka diri.
Suami Anisah Muhammad Bawazier itu punya kenangan bersama Namaona. Beberapa jam sebelum eksekusi dilakukan, Kiai Hasan sempat bertemu suami Dewi Retno Atik tersebut. Dalam kesempatan itu dia mencoba menenangkan Namaona. Dia mengajak terpidana mati itu untuk ikhlas.
Bahkan, beberapa menit sebelum hukuman dilaksanakan, Kiai Hasan masih terus mendampingi kliennya tersebut. Kiai Hasan berdoa sambil memegang dada Namaona untuk menghilangkan ketegangan.
“Namun, ternyata Namaona tidak tegang sama sekali. Dia begitu tegar dan tenang. Setelah doa selesai, dia pun melangkah dengan mantap menuju tempat eksekusi dilangsungkan. Lagi, saya dibuat kagum,” paparnya.
Setelah terpidana dieksekusi dan tim dokter menyatakan yang bersangkutan sudah meninggal, Kiai Hasan mendampingi tim medis untuk membersihkan jenazah. Sesudah mengafani, Kiai Hasan memimpin salat Jenazah.
Menurut Kiai Hasan, terpidana yang dirinya dampingi rata-rata mempunyai pengetahuan agama yang luas. Itu mempermudah Hasan untuk menanamkan nilai-nilai religiusitas kepada kliennya. Apalagi, pada tiga hari menjelang eksekusi, pendampingan makin intensif.
Malah ada terpidana yang minta didampingi setiap jam sekali untuk berdoa. “Terpidana harus selalu dimotivasi agar tidak frustrasi menjelang saatnya tiba,” ungkapnya.
Untuk materi pendampingan, Kiai Hasan tidak pernah mengungkit-ungkit masa lalu terpidana yang kelam. Dia juga tidak pernah menggurui. Sebab, itu akan membuat terpidana down dan bahkan menolak didampingi.
“Yang dibutuhkan adalah motivasi dan perbaikan diri serta keikhlasan. Bagaimana membuat waktu hidupnya bermanfaat,” tuturnya.
Menjelang eksekusi, Kiai Hasan mengajak terpidana untuk menjalani ritual. Yakni, melakukan salat Taubat agar semua dosa yang pernah dia lakukan diampuni Tuhan.
Setelah itu, terpidana akan mengenakan kain kafan putih dan minyak wangi. Tujuannya, mereka mati dalam keadaan suci. ‘‘Mudah-mudahan jalan mereka diberi kelancaran,’‘ tandas Kiai Hasan. (ahay)