Dr Nyai Hj Noer Chalida Badrus: Puncak Pencarian Ada di Pesantren dan Kampus

Nyai Hj Noer Chalida Badrus (santrinews.com/saif)
Perjalanan hidupnya sarat dinamika. Kepercayaan diri untuk merasakan dunia luar tidak lepas dari sejumlah kiai dan ulama yang terus mendorong dan mendukung. Termasuk sang suami yang menjadi pertimbangan utama.
_________
HARI Sabtu harusnya menjadi waktu yang sibuk bagi perempuan ini. Tidak boleh ada orang yang mengganggu aktifitasnya sebagai pimpinan sekaligus pengajar di Sekolah Tinggi Agama Islam Badrus Sholeh. Namun beruntung, SantriNews.com masih diberikan kesempatan untuk datang, dan terpaksa mengubah jadwal mata kuliah yang hari itu berlangsung.
Noer Chalida Badrus merasakan bahwa apa yang kini tengah ditekuni yakni sebagai orang nomor satu di kampus tersebut dan salah seorang pengasuh di Pondok Pesantren al-Hikmah Purwoasri Kediri Jawa Timur adalah buah dari perjalanan yang demikian penuh liku.
Pengalaman baik sebagai seorang mahasiswa, sarjana, aktifis kajian, pegiat politik, hingga puncaknya meraih gelar doktor menjadi warna tersendiri bagi kiprah yang dipilih akhir-akhir ini. “Saya akhirnya menentukan pilihan untuk aktif di dunia pendidikan,” katanya. “Di sini saya merasakan kesejukan hati,” lanjutnya.
Meskipun bernama asli, Noer Chalida Badrus, namun ia lebih akrab dipanggil Lilik. “Itu panggilan sejak kecil,” katanya.  Ia menandaskan bahwa kedua orang tuanyalah yang menempa pengetahuan keagamaan. Demikian juga mereka berdua yang mendorong kuliah di IAIN (sekarang UIN) Sunan Kalijaga Yogjakarta hingga rampung.
Sungguh sebuah kebanggaan bisa menyelesaikan program sarjana di kampus tersebut. Dihadiri adik-adik dan juga kedua orang tuanya, suasana wisuda menjadi lebih khidmat. Setidaknya ia bisa menunujukkan bahwa perempuan juga bisa diandalkan dan berprestasi. Wisuda kala itu adalah buktinya.
Namun kebanggaan itu tidak berlangsung lama. Karena dalam perjalanan pulang ke Kediri usai menghadiri wisuda, ternyata rombongan keluarga mengalami kecelakaan di Ngawi. Abahnya, KH Badrus Sholeh Arif bersama sang ibu, Hj Azzah Badriyah, juga dua adiknya, Miftahus Surur dan Zainal Arif turut meninggal. Innalillahi wa innna ilaihi rajiun.
Saat sampai di cerita ini, tidak terasa mata Nyai Lilik berkaca-kaca. Ya, betapa saat itu duka mendalam dialami keluarga. “Namun kami tidak bisa hanya berpangku tangan dan meratapi peristiwa yang terjadi,” katanya. Justru hal itu menjadi pelecut bagi seluruh keluarga untuk saling bersinergi meneruskan rintisan yang telah ada.
Akhirnya disepakatilah pembagian job antara seluruh keluarga. “Yang memiliki bekal pengetahuan formal atau kesarjanaan dipasrahi lembaga pendidikan formal mulai dari pendidikan dasar hingga perguruan tinggi,” terangnya.
Sedangkan mereka yang mempunya basic pendidikan non formal juga diberikan kesempatan untuk menangani madrasah diniyah maupun pengajian kitab. “Alhamdulillah semua mengalir sesuai tugas dan keahlian masing-masing,” kata alumnus S2 Unisma Malang ini berbinar.
Usai merampungkan studi di Yogjakarta akhirnya Nyai Lilik pulang ke pesantren dan dipasrahi menangani pondok putri. Pada saat yang sama, ia mencari para santri putri senior untuk dijadikan tenaga pendidik pendamping. Dan pada saat itu ternyata sejumlah kiai dan pesantren besar memiliki perhatian kepada perkembangan pesantren.
Ada KH Adlan Ali, KH Yusuf Mahsyar (Jombang), KH Mahrus Ali (Lirboyo – Kediri), dan beberapa nama lain turut membincang masa depan pesantren. Bahkan dari para kiai dan ulama panutan ini juga ia dijodohkan dengan sang pujaan hati, KH Abdul Rozaq Ma’shum, Lc. Seperti layaknya perjodohan di lingkungan pesantren, Nyai Lilik tidak mengenal siapa calon suaminya.
Merambah Dunia Luar
Rasa syukur dan terimakasih ia sampaikan secara khusus kepada KH Imron Hamzah (Sepanjang Sidoarjo) dan KH Abdul Wahid Zaini (Paiton Probolinggo). Saat ini, kedua kiai yang cukup disegani di Jam’iyah Nahdlatul Ulama di masanya itu sudah tiada. “Karena dari ajakan dua orang kiai inilah saya bisa mengikuti PPWK atau Program Pengembangan Wawasan Keulamaan,” terang perempuan yang merahasiakan kelahirannya ini. Â
Sejumlah nama bergabung dalam forum yang memberikan wawasan terhadap Islam dan diskursus ilmu lainnya. Kala itu tercatat sebagai peserta antara lain KH Muhyiddin Abdusshomad (saat ini rois syuriah PCNU Jember), Abdul Moqsith Ghozali (Situbondo, kini dosen Universitas Paramadina Jakarta). Mereka bersama peserta lain yang berjumlah 30 orang, mengikuti pendalaman keagamaan. “Kala itu hanya ada dua peserta perempuan, Umdatul Khoirot dari Tambakberas dan saya,” kenangnya.
Dari PPWK inilah Nyai Lilik merasa bahwa wawasan keagamaan dan keislamannya terasah dengan tajam. Ia bisa merasakan wawasan keislaman yang berbeda dan lebih dalam dari yang diperoleh selama di kampus dan pesantren. Nama-nama besar seperti KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), KH Said Aqiel Siradj, Nurcholish Madjid (Cak Nur), dan Jalaluddin Rahmat hadir sebagai pencerah pemahaman keagamaan. “Seolah wawasan peserta dibongkar, sehingga kami memiliki pemahaman yang lebih jauh kedepan,” katanya.
PPWK sendiri dilaksanakan di banyak tempat. Dari mulai Jakarta, Bogor, Yogjakarta, hingga Malang. “Dan  setiap kali pertemuan berlangsung dari tujuh hingga sepuluh hari,” katanya. Itupun berlangsung selama dua tahun. Boleh dikata, kegiatan ini tidak ubah layaknya kuliah strata dua. Setiap kali tatap muka ada presentasi dan pembuatan makalah secara serius, serta beban pertemuan yang berlangsung dari shubuh hingga jelang dini hari.
Kegiatan ini sebenarnya ingin mentahbiskan bahwa para kiai dan ulama hadir tidak hanya sebagai “tukang dungo”. Karena itu, pengetahuan soal kitab klasik yang dibalut dengan disiplin pengetahuan umum sebagai analisa mutlak dilakukan untuk memperkaya khazanah dan sudut pandang. Karena demikian serius, maka ada beberapa peserta PPWK yang dinyatakan tidak lulus lantaran dari kehadiran ternyata kurang memenuhi harapan.
Dan dari PPWK pula, akhirnya banyak undangan menghadiri kegiatan seminar di sejumlah kota. Bahkan saat Munas Alim Ulama dan Konferensi Besar NU di Lombok Nusa Tenggara Barat  tahun 1987, namanya jadi perbincangan. “Kala itu saya bukan sebagai pembicara, namun pandangan saat diskusi yang saya sampaikan ternyata menyita perhatian banyak kiai dan ulama,” katanya.
Lewat pengalaman berdiskusi dan bergaul dengan berbagai kalangan inilah yang akhirnya mengantarkannya sebagai anggota DPRD Jawa Timur tahun 2004-2009. “Awalnya saya ragu untuk menerima tawaran tersebut,” katanya. Namun desakan berbagai kalangan yang akhirnya membuat ibu empat anak ini menerima pinangan sebagai wakil rakyat.
Dan seperti diakui bahwa suasana PKB pada periode itu sangat sulit dan penuh gejolak. Bersama 11 anggota PKB yang lain, Ia harus “berbagi muka” dengan para pimpinan partai yang silih berganti. Berbaik-baik dengan Drs H Choirul Anam, Drs Hasan Aminuddin dan akhirnya dengan H Imam Nahrawi karena ketiganya pernah menjadi Ketua DPW PKB Jatim.
“Saya tidak bisa membayangkan bahwa ternyata dunia politik bisa sekejam itu,” ungkapnya. Yang ia rasakan, tidak ada lagi rasa menghormati antar sesama, menghargai mereka yang lebih tua maupun menyayangi kader yang usianya lebih muda.
Itu juga yang akhirnya membuat Nyai Lilik akhirnya berketetapan hati untuk keluar dari politik dan lebih memilih konsentrasi di dunia pendidikan yakni pesantren dan kampus yang kini dikelolanya.
Puncaknya, bulan Ramadhan lalu, ia meraih gelar doktor dari Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya. “Kayaknya saya telah menemukan dunia yang harus saya geluti,” katanya.
“Di sini saya menemukan kedamaian hati dan berharap bisa membesarkan pesantren dan kampus sebagai amanah dari ayahanda,” pungkasnya. (saif/ahay)