Istri Memandikan Suami, Suami Memandikan Istri

Saat melayat sahabat yang meninggal, sambil menunggu mayyit dimandikan, kami mendiskusikan beberapa hal. Pertama, bolehkah suaminya memandikan janazah istrinya?. Kedua, kalau boleh, apakah jika menyentuhnya bisa membatalkan wudhu’nya suami atau istri yang sudah dimandikan dan diwudhu’i itu? Dan beberapa pertayaan lain seputar “tajhizul mayyit”.

Belum sempat menjawab beberapa pertayaan diskusi, ternyata mayyit sudah siap diberangkatkan ke pemakaman. Tersisalah pertayaan itu tanpa jawab. Maka saya tulis saja, semoga bermamfaat.

Pertama, dalam satu hadist yang dikutip Imam An-Nawawi dalam kitab al-Majmu’, Aisyah istri Nabi yang lagi viral saat ini meriwayatkan: suatu hari Rasulullah kembali dari Baqi’ dan menemukan istrinya Aisyah sakit kepala, Aisyah berseru “aduh kepalaku”, Rasulullah pun berkata, bahkan aku ya Aisyah “aduh kepalaku”, Rasul melanjutkan seandainya engkau meninggal sebelum aku, niscaya aku akan memandikanmu, menkafanimu, dan menshalatimu.

Hadis ini jelas menyatakan bahwa suami boleh merawat janazah istrinya termasuk memandikannya. Bahkan suami lebih berhak untuk merawat janazah istrinya daripada perempuan lainnya.

Bagaimana sebaliknya? Dalam kitab induk Al-Um juga disebutkan bahwa istri juga boleh memandikan janazah suaminya, sekalipun sudah cerai. Ia sekalipun sudah cerai. Sampai kapan? Ada tiga pendapat; selamanya sekalipun sudah habis iddahnya, dua: sebelum menikah lagi, dan ketiga sebelum iddahnya berakhir.

Kedua, apakah batal wudu’nya, baik yang dimandikan maupun yang memandikan?

Orang yang meninggal hakikatnya sudah tidak punya beban kewajiban hukum apapun, termasuk batalnya wudhu akibat bersentuhan lain jenis. Jadi ketika janazah sudah disucikan –menuru bahasanya masyarakat—, maka disentuh oleh siapapun tidak batal wudhu’nya. Demikian pula wudhu’nya yang memandikan. Sebab tidak ada dalil yang menyatakan demikian.

Sama halnya jika setelah dimandikan keluar najis, sekalipun dari kedua kemaluannya. Sebab si janazah sudah tidak punya beban kewajiban apapun.

Kecuali jika yang memandikan menyentuh kemaluannya, maka batal wudhu yang memandikanya, dan tidak boleh pegang-pegangang itunya. Dan sebaiknya yang memandikan tidak memegang badannya, sebaiknya mengenakan sarung tangan. Ya hanya sunnah saja. Jadi intinya tidak batal wudhu janazahnya, dan juga yang memandikannya, kecuali ia pegang kemaluannya.

Bagaimana jika ada janazah laki-laki tidak punya kerabat laki laki, dan juga tiada kerabat perempuan, serta tidak ada satu laki-lakipun di situ? Bolehkah dimandikan oleh perempuan yang bukan mahram dan sebaliknya?

Ada dua pendapat. Pertama, tidak perlu dimandikan melainkan ditayammumi saaja. Kedua, bolehlah dimandikan oleh perempuan namun tetap dengan “protokol perauratan”, artinya janazahnya ditutup kain, memakai sarung tangan, dan mandikanlah.

Catatan:
1. Wudhu’nya janazah bukan setelah memandikan, melainkan sebelum memandikan. Di sini banyak masyarakat yang keliru.

2. Kalau ada yang tanya, kok aturannya ribet, sudah meninggal saja masih pakai “protokol per- auratan dan permahroman”, jawabnya ya untuk jaga-jaga saja, kali masih ada yang kotor pikirannya. Dalam Ushul Fikih, antisipasi semacam ini disebut dengan saddu ad-dari’ah. Demikian. Wallahu A’lam. (*)

Situbondo, 12 April 2020

Terkait

Syariah Lainnya

SantriNews Network