Kimiya-yi Sa‘adat (21): Surga dan Neraka Jasmani Versus Surga dan Neraka Ruhani

Topik 4: Pengetahuan tentang Akhirat
Ketahuilah bahwa tak seorang pun akan mengetahui hakikat akhirat hingga ia mengetahui hakikat kematian. Ia tak akan mengetahui hakikat kematian hingga ia mengetahui hakikat hidup. Ia tak akan mengetahui hakikat hidup hingga ia mengetahui hakikat ruh. Dan pengetahuan tentang ruh ialah pengetahuan tentang jatidiri; beberapa aspek darinya telah dijelaskan dalam bagian sebelumnya.
Dari penjelasan di atas, ketahuilah bahwa manusia terdiri dari dua unsur dasar: yang pertama adalah ruh dan yang kedua adalah tubuh. Ruh itu seperti pengendara sementara tubuh seperti kendaraannya.
Melalui perantaraan tubuh, ruh bisa mendapatkan posisi di akhirat, entah di surga atau di neraka. Karena ruh yang menjadi hakikat esensialnya, ia juga bisa mendapatkan posisi yang tak melibatkan tubuh, yaitu kebahagiaan dan penderitaan ruhani.
Kami akan menyebut kebahagiaan dan kesenangan ruh yang tak ada kaitannya dengan tubuh ini ‘surga ruhani’; sementara duka, penderitaan, dan kepedihan yang tak ada hubungannya dengan tubuh kami sebut ‘neraka ruhani’.
Surga dan neraka jasmani jelas ada. Buah surga [jasmani] adalah sungai yang mengalir, pepohonan, para bidadari, makanan, minuman, dst; sementara buah neraka [jasmani] adalah api pembakaran, binatang buas, kalajengking, pohon zaqqûm, dll.
Deskripsi Quran dan Hadis tentang keduanya amatlah jelas dan terang-benderang untuk dipahami oleh semua orang. Beberapa detail di antara telah dijelaskan dalam Buku ke-40 Ihya’. Di sini, kami akan membatasi diri dengan menjelaskan hakikat kematian dan menerangkan makna surga dan neraka ruhani yang belum diketahui oleh semua orang.
Firman Allah, “Aku telah mempersiapkan untuk hamba-hamba-Ku yang saleh sesuatu yang belum pernah dilihat oleh mata, belum pernah didengar oleh telinga, dan belum pernah terlintas dalam pikiran siapapun,” mengacu pada surga ruhani ini. Di dalam ruh, terdapat gerbang menuju alam ruhani yang melaluinya hakikat-hakikat sublim diperlihatkan. Tidak ada ruang bagi keraguan di dalamnya.
Kepastian nyata tentang kebahagiaan dan penderitaan ukhrawi ini diperlihatkan kepada mereka yang hatinya dibuat terbuka; bukan mereka yang sekadar ikut-ikutan dan bertaklid. Pengetahuan tentang hal ini disampaikan kepada mereka melalui persepsi dan penglihatan langsung.
Memang, seperti halnya dokter bisa melihat apakah tubuh sedang sakit atau tidak di dunia ini —yang biasanya disebut kesehatan dan penyakit; penyebab kesehatan adalah puasa dan berpantang sementara penyebab penyakit adalah makan dengan rakus— demikian pula mereka yang mengalami mukasyafah bisa melihat bahwa ada kebahagiaan dan penderitaan bagi hati atau ruh. Ibadah dan pengetahuan menumbuhkan kebahagiaan sementara kebodohan dan maksiat menjadi racun baginya.
Kebanyakan mereka yang menyebut diri mereka ulama melalaikan pengetahuan ini. Malah, mereka cenderung mengingkarinya. Mereka tak mau melampaui surga dan neraka jasmani. Mereka tak tahu apa-apa tentang ilmu akhirat kecuali dengan bertaklid dan menghafalkan saja.
Kami telah menulis banyak buku panjang dalam bahasa Arab untuk menjelaskan dan membuktikan soal ini. Dalam buku ini, penjelasan di atas sudah cukup jelas untuk mereka yang cerdas, berpikiran jernih, dan tidak dikotori oleh fanatisme dan taklid. Urusan akhirat akan teguh dan kuat dalam hatinya biarpun kepercayaan kebanyakan orang tentang akhirat goyah dan lemah. (*)
Muhammad Ma‘mun, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Falah, Silo, Jember.
——-
Kimiya-yi Sa’adat, yang biasa diterjemahkan menjadi Kimia Kebahagiaan, bukanlah karya yang asing bagi para pembaca Imam al-Ghazali di Tanah Air. Karya ini sudah diterjemahkan berkali-kali ke dalam bahasa Indonesia.
Sayangnya, terjemahan ini dipungut dari edisi ringkasnya, biasanya dari bahasa Arab atau dari terjemahan bahasa Inggris yang dikerjakan oleh Claud Field. Terjemahan yang terakhir, seperti yang dijelaskan oleh penerjemahnya, dikerjakan dari terjemahan Bengali-nya yang ringkas. Dus, terjemahan dari terjemahan.
Padahal, edisi asli kitab ini dalam bahasa Persia 2 jilid tebal. Struktur babnya sama dengan Ihya’ ‘Ulum ad-Din, yang terdiri dari 40 buku. Keempat puluh buku dalam Kimiya-yi Sa’adat bisa dibilang merupakan versi padat dari 40 buku Ihya’.
Hal lain yang membedakan Kimiya-yi Sa’adat dengan Ihya’ adalah bab-bab pendahuluannya yang panjang: terdiri dari 4 topik. Keempat topik ini lebih panjang dan lebih filosofis dari buku ke-21 dan ke-22 Ihya’.
Pembicaraan yang teoretis dan filosofis ini mengisyaratkan bahwa Kimiya ditulis untuk kaum terpelajar dan cendekiawan Persia yang tidak bisa berbahasa Arab.
Pada bulan Ramadhan ini, saya ingin berbagi hasil terjemahan saya atas mukadimah Kimiya-yi Sa’adat yang saya ambil dari versi Inggrisnya yang dikerjakan oleh Jay R. Cook.
Untuk kepentingan kawan-kawan, terjemahan saya buat selonggar mungkin, dan dalam beberapa kesempatan atau berseri, lebih merupakan parafrase dari terjemahan literal. Semoga bermanfaat! (*)