Kimiya-yi Sa‘adat (15): Kesesatan dan Kekeliruan Kaum Ibâhiyyah

Istilah Ibâhiyyah adalah neologisme yang diciptakan oleh al-Ghazali untuk menyebut mereka yang menolak untuk mengamalkan Syariah atau hukum agama. Dari kata kerja abaha-yubihu yang berarti memperbolehkan sesuatu.

Kaum Ibahiyyah mengacu pada sekelompok orang yang berpaham serba-boleh, atau bermental permisif. Alasannya bermacam-macam, mulai dari ateisme, deisme, hingga rasa malas saja untuk mengerjakan perintah Tuhan.

Al-Ghazali menulis buku khusus untuk menyerang mereka, yang juga ia tulis dalam bahasa Persia. Judulnya adalah Hamaqat-i Ahl-i Ibahat, atau ‘Kedunguan Kaum Ibahiyyah’. Buku ringkas ini sudah diedit dan diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman oleh Otto Pretzl dalam artikel “Die Streitschrift des Ghazâlî gegen die Ibâhîja: im persischen Text herausgegeben und übersetzt,” yang dimuat dalam jurnal Sitzungsberichte der Bayrischen Akademie der Wissenschaften—Philosophisch-historische Abteilung, Vol. 7 (1933), 1-52 (bahasa Jerman) dan 1-28 (bahasa Persia).

Kaum Ibâhiyyah adalah mereka yang secara keliru menolak batas-batas yang ditetapkan oleh Allah. Kekeliruan mereka ada tujuh bentuk.

Yang pertama adalah kekeliruan sejumlah orang yang tidak percaya pada keberadaan Tuhan. Mengapa? Karena mereka mencari-Nya dalam ranah imajinasi dan indera dan mencari sifat-sifat dan ciri-ciri-Nya menurut tolok ukur kedua ranah tersebut. Karena mereka merasa tidak menemukan Tuhan, mereka menyerahkan penjelasan segala sesuatu pada bintang atau alam fisik.

Mereka menyangka bahwa manusia dan makhluk hidup yang lain —yang sebenarnya merupakan semesta yang menakjubkan dan sarat dengan kebijaksanaan dan keteraturan— ada dengan sendirinya, atau senantiasa ada sejak zaman azali, atau ada secara kebetulan.

Mereka tidak memiliki pengetahuan tentang diri mereka sendiri, apalagi tentang makhluk yang lain! Mereka seperti orang yang menemukan tulisan indah lalu berpikir bahwa tulisan tersebut muncul dengan sendirinya, tanpa membutuhkan penulis yang ahli, cakap, dan memiliki kehendak; atau bahwa tulisan tersebut senantiasa ada sejak zaman dahulu! Mana mungkin orang yang begitu buta ini bisa menemukan jalan menuju kebahagiaan [ruhani]? Kekeliruan kaum naturalis dan astrolog sudah dibicarakan di atas.

Bentuk yang kedua adalah kekeliruan pemikiran sejumlah orang tentang akhirat. Mereka berpikir bahwa manusia itu seperti tanaman atau binatang yang lain. Ketika manusia mati, ia akan musnah. Baginya, tidak ada pertanggungjawaban, siksa, atau pahala di alam akhirat.

Penyebab pendirian ini adalah ketidaktahuan mereka akan diri mereka sendiri. Mereka mengenal diri mereka seperti mereka mengenal keledai, kambing, atau tanaman. Mereka tak mengenal ruh yang menjadi esensi manusia. Bahwa ruh itu kekal dan tak pernah mati, biarpun tubuh terlepas darinya. Inilah yang disebut kematian. Kebenaran tentang hal ini akan dibicarakan dalam Topik 4, insya Allah.

Bentuk yang ketiga adalah kekeliruan orang-orang yang percaya kepada Allah dan Hari Akhir, namun dengan iman yang lemah. Mereka tidak memahami nilai penting Syariah. Mereka berkata, “Apa yang dibutuhkan oleh Allah dari ibadahku? Dan apa mudaratnya kepada Allah seandainya aku bermaksiat? Dia adalah Raja dan Mahakuasa untuk melakukan apa saja biarpun manusia tidak menyembah-Nya. Ibadah dan maksiat sama saja bagi-Nya.” Padahal, orang-orang bodoh ini membaca bahwa di dalam al-Qur’an Allah berfirman, “Barang siapa menyucikan diri, ia menyucikan diri untuk keuntungan dirinya sendiri” (QS 35: 18), “Dan barang siapa berusaha, ia berusaha untuk dirinya sendiri” (QS 29: 6), dan “Barang siapa beramal saleh, maka itu untuk keuntungannya sendiri, dan barang siapa berbuat keburukan, maka [akibatnya] untuk dirinya sendiri” (QS 41: 46).

Orang-orang lalai ini tidak mengenal Syariah. Mereka menyangka bahwa Syariah diturunkan oleh Allah karena kebutuhan-Nya, bukan karena kebutuhan diri mereka. Mereka seperti orang sakit yang tidak mau meninggalkan pantangan lalu berkata, “Apa manfaatnya bagi dokter kalau aku mengikuti perintahnya atau tidak?” Benar, tapi ia akan sakit. Masalahnya bukan bahwa dokter itu butuh atau tidak, tapi penyakitnya akan kambuh kalau ia tidak meninggalkan pantangan.

Dokter telah membimbingnya, dan menunjukkan jalan kepadanya. Mana mungkin dokter akan rugi kalau pasiennya mencelakakan dirinya? Seperti halnya penyakit jasmani menjadi penyebab kerugian di dunia, penyakit hati juga akan menjadi penyebab penderitaan di akhirat nanti.

Seperti halnya pengobatan dan pantangan menjadi penyebab kesehatan jasmani, demikian pula ibadah, pengetahuan, dan meninggalkan maksiat menjadi penyebab kesehatan batin. “[Dan tidak akan ada yang berhasil] kecuali dia yang menghadap dengan hati bersih” (QS 26: 89).

Bentuk yang keempat juga timbul dari kesalahpahaman sejumlah orang akan tujuan Syariah. Mereka berkata, “Syariah diturunkan untuk membersihkan batin dari amarah, hawa nafsu, dan kemunafikan; tapi ini mustahil dilakukan karena manusia memang diciptakan dengan sifat-sifat tersebut. Ini seperti orang yang ingin mengubah warna karpet yang hitam menjadi putih. Menyibukkan diri dengan pekerjaan seperti ini adalah kesia-siaan.”

Orang-orang bodoh ini tidak tahu bahwa semua itu bukanlah tujuan diturunkannya Syariah. Alih-alih, Syariah diturunkan [agar kita] bisa mengontrol amarah dan hawa nafsu, serta mengendalikan keduanya sedemikian rupa sehingga tidak melampaui batas-batas hukum dan nalar, dan keduanya tidak mencelakakan; atau untuk menjaga batas-batas hukum dan menghindari dosa besar sehingga Allah mengampuni dosa-dosa kecil kita. Ini semua masih mungkin dilakukan dan banyak orang berhasil melakukannya.

Nabi tidak menyatakan, “Tidak boleh ada ruang untuk amarah, dan tidak boleh ada ruang buat hawa nafsu.” Alih-alih, beliau memiliki 9 istri dan sering bersabda, “Aku ini manusia. Aku marah seperti manusia marah.” Allah berfirman, “Dan mereka yang dapat menahan amarah dan dapat memberikan maaf kepada manusia” (QS 3: 134). Allah memuji orang-orang yang menahan amarah, bukan orang-orang yang tak punya amarah dalam dirinya!

Bentuk yang kelima adalah kekeliruan orang-orang yang tidak mengenal sifat-sifat Allah. Mereka berkata, “Allah itu Maha Pengasih dan Maha Pemurah. Dia akan menunjukkan kasih-Nya kepada kita dengan segenap sifat-sifat-Nya.”

Mereka tidak tahu bahwa di samping Maha Pemurah, Dia juga amat keras dalam memberikan siksa. Mereka tidak melihat bahwa walaupun Dia Maha Pemurah dan Maha Pengasih, banyak orang di dunia ini yang menderita, sakit, dan kelaparan. Mereka tidak melihat bahwa selama mereka tidak mengolah tanah atau sibuk berbisnis, mereka tak akan mendapatkan kekayaan; atau bahwa mereka tak akan mendapatkan pengetahuan kecuali mereka belajar.

Mereka tidak lalai ketika bersentuhan dengan urusan dunia dan mereka tidak berkata, “Allah Maha Pemuran dan Maha Penyayang. Dia akan memberi kami rizki tanpa harus mengolah tanah atau berdagang,” meskipun Allah sudah menjamin rizki kita dan berfirman, ‘Setiap binatang yang melata di muka bumi pasti rizkinya dijamin oleh Allah” (QS 11: 6) dan mempercayakan urusan akhirat dan menyerahkan urusan akhirat pada amal, dengan berfirman, “Dan manusia hanya akan mendapat apa yang ia usahakan” (QS 53: 39).

Karena mereka tidak percaya pada kemurahhatian-Nya, mereka tidak berhenti dari mencari kekayaan dan dunia itu sendiri. Apa yang mereka ketahui tentang akhirat hanya di bibir saja dan diilhami oleh setan dan tidak sungguh-sungguh.

Bentuk yang keenam adalah kekeliruan yang timbul dari sikap tinggi hati. Sikap tinggi hati ini timbul ketika mereka berkata, “Kami telah mencapai martabat yang membuat dosa-dosa kami tak akan membuat kami rugi. Agama kami telah mencapai tingkat 2 qullah dan tak akan najis karena kotoran.”

Kebanyakan orang bodoh ini —karena mereka tak berharga— akan memelihara sikap bermusuhan seumur hidup kepada siapapun yang meruntuhkan pendapat mereka, atau membantah argumentasi mereka, biarpun cuma dengan sepatah kata. Seandainya sebutir rahasia yang coba mereka tutupi terlepas dari tangan mereka, dunia mereka akan sempit dan gelap.

Seandainya seseorang mengklaim telah meraih martabat sepeti yang mereka lukiskan sehingga permusuhan, hawa nafsu, kemunafikan, dan amarah tidak mendekatinya; ia justru ditipu oleh klaim ini. Apa pasal? Apakah martabatnya telah melebihi para nabi? Sebab para nabi biasa bermunajat dan menangis atas kesalahan dan dosa mereka; juga berusaha untuk menebusnya. Para Sahabat Nabi pun berusaha menghindari dosa kecil; malah, kita amati, mereka pun berusaha menghindari sesuatu yang halal [demi menghindari sesuatu yang haram]. Bagaimana orang bodoh ini tahu bahwa ia tidak terpedaya? Apa benar mereka lebih mulia daripada para nabi dan Sahabat?

Orang-orang besar dalam agama justru adalah mereka yang mengakui bahwa dia yang tidak dikendalikan oleh hawa nafsunya adalah bukan manusia. Ia adalah binatang ternak. Ia tahu bahwa ego manusia adalah licik dan culas. Bila ia mengklaim dengan sombong, “Aku sudah berhasil mengendalikan hawa nafsu dan aku lebih kuat darinya,” mintalah ia untuk membuktikannya.

Tentu saja, tidak ada bukti bahwa egonya telah berhasil ia kendalikan kecuali bila ia tunduk pada Syariah. Bila ia selalu larut dalam ibadah, maka ia berkata jujur. Bila ia selalu mencari kemudahan, takwil, atau muslihat-hukum, ia sebenarnya adalah pengabdi setan meskipun ia berpura-pura sebagai wali.

Bentuk yang ketujuh timbul dari kemalasan dan hawa nafsu, bukan ketidaktahuan. Mereka mengaku sebagai kaum Sufi dan wali dan memakai jubah mereka. Kebetulan, perilaku ini selaras dengan watak mereka. Mereka tidak puas dengan sekadar melakukan pelanggaran moral karena mereka akan berkata, “Kami akan dihukum karena pelanggaran moral.” Pelanggaran moral akan terasa pahit di batin mereka. Alih-alih, mereka akan berkata, “Yang kami lakukan bukan pelanggaran moral. Itu tuduhan yang tak berdasar.”

Orang seperti ini tidak dapat dikoreksi dengan omongan, karena keraguan yang ia alami tidak berasal dari omongan. Kebanyakan mereka termasuk orang-orang yang disebut oleh Allah dalam firman-Nya, “Allah menempatkan tabir ke dalam hati mereka sehingga mereka tak bisa mengerti. Begitu pula di telinga mereka” (QS 18: 57). Oleh karena itu, berhadapan dengan mereka lebih pantas menggunakan pedang daripada argumentasi rasional.

Penjelasan di atas sudah cukup perihal kaum Ibahiyyah. Dalam soal ini, alasan di balik perilaku mereka adalah ketidakmampuan mereka untuk mengenal diri mereka sendiri, Tuhan, perjalanan ruhani, atau Syariah. Ketika kebodohan mereka selaras dengan kecenderungan batin mereka, penyakit ini akan semakin sulit untuk diobati. (*)

Muhammad Ma‘mun, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Falah, Silo, Jember.
——-
Kimiya-yi Sa’adat, yang biasa diterjemahkan menjadi Kimia Kebahagiaan, bukanlah karya yang asing bagi para pembaca Imam al-Ghazali di Tanah Air. Karya ini sudah diterjemahkan berkali-kali ke dalam bahasa Indonesia.

Sayangnya, terjemahan ini dipungut dari edisi ringkasnya, biasanya dari bahasa Arab atau dari terjemahan bahasa Inggris yang dikerjakan oleh Claud Field. Terjemahan yang terakhir, seperti yang dijelaskan oleh penerjemahnya, dikerjakan dari terjemahan Bengali-nya yang ringkas. Dus, terjemahan dari terjemahan.

Padahal, edisi asli kitab ini dalam bahasa Persia 2 jilid tebal. Struktur babnya sama dengan Ihya’ ‘Ulum ad-Din, yang terdiri dari 40 buku. Keempat puluh buku dalam Kimiya-yi Sa’adat bisa dibilang merupakan versi padat dari 40 buku Ihya’.

Hal lain yang membedakan Kimiya-yi Sa’adat dengan Ihya’ adalah bab-bab pendahuluannya yang panjang: terdiri dari 4 topik. Keempat topik ini lebih panjang dan lebih filosofis dari buku ke-21 dan ke-22 Ihya’.

Pembicaraan yang teoretis dan filosofis ini mengisyaratkan bahwa Kimiya ditulis untuk kaum terpelajar dan cendekiawan Persia yang tidak bisa berbahasa Arab.

Pada bulan Ramadhan ini, saya ingin berbagi hasil terjemahan saya atas mukadimah Kimiya-yi Sa’adat yang saya ambil dari versi Inggrisnya yang dikerjakan oleh Jay R. Cook.

Untuk kepentingan kawan-kawan, terjemahan saya buat selonggar mungkin, dan dalam beberapa kesempatan atau berseri, lebih merupakan parafrase dari terjemahan literal. Semoga bermanfaat! (*)

Terkait

Turats Lainnya

SantriNews Network