In Memoriam Nyai Maftuhah Djufri: Perempuan Tangguh Putri As-Syahidul Kabir

Nyai Hj Maftuhah Djufri
Dalam membuat tulisan tentang sosok, barangkali ada beberapa hal yang sangat perlu dipertimbangkan terlebih dahulu, seperti menyangkut soal integritas moral, spiritual, keilmuan, kepemimpinan, karya dan yang paling penting adalah inspirasi.
Begitu juga tentang sosok mendiang Nyai Hj Maftuhah Djufri. Saya tidak punya bayangan lain tentang Nyai Hj Maftuhah Djufri kecuali tergambar sebagai sosok perempuan yang kuat dan sangat inspiratif.
Nyai Maftuhah merupakan anak keempat pasangan KH Djufri Marzuqi dan Nyai Hj Asiyah Binti Bashrowi. Ia dilahirkan di Sumber Batu Blumbungan Pamekasan pada 5 Mei 1948. Pasangan yang dikaruniai empat orang putra-putri. Pertama dan kedua, Muhammad Muzayyin dan Muhammad Qadiri, dua putra kembar yang wafat balita, pada umur tujuh bulan di awal 1944. Ketiga, Nyai Hj Nadzirah Djufri. Keempat, Nyai Hj Maftuhah Djufri.
Baca juga: In Memoriam Nyai Nur Ismah, Pendidik Generasi Qurani
Baik dari jalur ayah maupun dari jalur ibu, nasab Nyai Maftuhah sama-sama bersambung kepada darah dan tulang para ulama, pejuang, dan pesantren tua di Pamekasan. Ayahnya, Kiai Djufri merupakan putra Kiai Marzuqi bin Syukriwa bin Raden Umaro (Kiai Rato) bin Kiai Zubair Sumber Anyar yang dijuluki Kiainya Jin dan Manusia.
Sedangkan dari jalur ibu, Nyai Maftuhah merupakan putri Nyai Asiyah binti Nyai Ruqayyah binti Kiai Abdul Hamid yang wafat di Makkah dan tinggi karamahnya, putra Kiai Itsbat Banyuanyar.
Nyai Maftuhah harus menghadapi masa-masa sulit sejak di dalam kandungan. Kiai Djufri ayahnya bukan seorang kiai yang hanya bisa mengajar mengaji di masjid atau di madrasah. Tetapi, di zaman revolusi fisik juga menjadi aktor penting dan penggerak perlawanan rakyat terhadap kolonialisme terutama di Jawa Timur.
Sedangkan Nyai Asiyah, ibunya, seorang nyai pesantren yang mengajar ngaji, mengerjakan tugas-tugas domestik seperti memasak di dapur tapi tidak hanya untuk dimakan dirinya sendiri, tapi juga untuk logistik perang para pejuang terutama dari lingkaran masyarakat pesantren yang terus melancarkan perlawanan pra dan pasca Serangan Umum 16 Agustus 1947 di kota Pamekasan.
Marinir Belanda menyebut Kiai Djufri sebagai “Kiai Pemberontak” yang terus dicari dan tak kunjung ditemukan. Sampai pada akhirnya, Nyai Asiyah istrinya harus menyaksikan Pondok Pesantren Sumber Batu yang baru dirintis Kiai Djufri dibakar oleh Marinir Belanda sampai menjadi arang rata dengan tanah.
Pembakaran pondok pesantren kemudian dilanjutkan oleh marinir Belanda ke pondok pesantren milik KH Zaini Mun’im di Galis, dan pondok pesantrennya KH Mohammad Thoha di Sumber Gayam.
Para pejuang kemerdekaan di Pamekasan khususnya dan Madura umumnya telah kalah perang dan semakin terdesak. Mental perang mereka banyak yang ambruk setelah mendapatkan kenyataan, bahwa guru Kiai Djufri di Guluk-Guluk Sumenep, yaitu Kiai Haji Abdullah Sajjad telah dieksekusi oleh marinir sesudah dijebak oleh Inlichtingen Velligheids Groep (IVG).
Baca juga: Mengenang Kiai Wadud, Cicit Pendiri Pesantren Annuqayah
Setelah Kiai Abdullah Sajjad menolak bekerjasama dan memilih mati, pejuang dari lingkaran pesantren termasuk Kiai Djufri memilih meninggalkan Madura, membantu perlawanan para pejuang di sekitar kota Situbondo, Probolinggo dan Malang.
Ketika Nyai Asiyah mengandung Nyai Maftuhah, Kiai Djufri suaminya entah ada dimana dan tidak jelas nasibnya. Kiai Djufri sejak 1947 menjadi gerilyawan di sekitar Gunung Kawi kota Malang hingga akhir 1949, dan pada 1950 harus menjadi aktor penting dalam perlawanan rakyat terhadap pembentukan Negara Madura yang direkayasa pihak Belanda. Kiai Djufri dan Nyai Asiyah bersama anak-anaknya benar-benar bisa berkumpul dengan tenang sejak 1951.
Nyai Maftuhah dinikahi oleh KH Djazuli Malidji Syahri yang masih sepupunya pada tahun 1963 kemudian keluarga itu menetap di daerah asal Kiai Djufri, yaitu Pondok Pesantren Sumber Anyar. Pasangan Nyai Maftuhah Djufri-KH Djazuli Malidji Syahri kemudian dianugerahi putra putri yaitu Hafidz, Jazilah, Azizah, Lathifah, Mahrus Ali, Baddrut Tamam, Khobirah, Mashluhah, Nurkhatim, Nadhifah, dan Syaiful Haq.
Pada 1990, Kiai Djazuli Malidji wafat, meninggalkan banyak putra putri yang selanjutnya dibesarkan oleh Nyai Maftuhah seorang diri. Saat ini putra putri keduanya, karya-karya Nyai Maftuhah telah berkiprah dalam berbagai bidang terutama di bidang pendidikan, keagamaan politik dan pemerintahan.
Baca juga: Syekh Abdurrahman Al-Haffar, Penggali Kubur yang Jadi Ulama
Saya teringat pada pembicaraan serius dengan Nyai Maftuhah ketika proses wawancara penyusunan buku biografi KH Djufri Marzuqi. Apa yang paling Nyai Maftuhah ingat dari pengalaman di masa kecil tentang sosok ayahanda, yaitu Kiai Djufri Marzuqi? Nyai Maftuhah kemudian memberikan jawaban dan mengatakan, bahwa Kiai Dufri sosok yang tinggi solidaritas sosialnya.
Seperti kejadian pada bulan puasa menjelang tahun 1960, dimana beliau dan kakaknya, yaitu Nyai Nadzirah Djufri bersiap menyantap menu berbuka puasa bersama Kiai Djufri juga Nyai Asiyah. Azan maghrib berkumandang. Nyai Maftuhah remaja sudah mulai mengambil nasi, tapi tiba-tiba di depan pintu rumah berdiri sosok laki-laki setengah baya yang entah dari mana datangnya.
Keluarga Kiai Djufri tidak ada yang mengenal laki-laki misterius itu, ia bukan keluarga, bukan tetangga, bukan juga santri atau alumni. Laki-laki itu mengaku berpuasa dan tidak ada sebiji makanan sama sekali di rumahnya untuk dibuat berbuka puasa. Ia mengaku tinggal bersama satu istri dan dua anak yang juga berpuasa. Sama persis dengan keluarga Kiai Djufri yang ada di dalam rumah, ketika itu.
Kiai Djufri langsung membagikan semua hidangan yang ada di atas meja itu. Dua anak yang baru belajar puasa dan dua orang tua itu harus menunda aktivitas berbuka puasa. Laki-laki yang telah membawa semua makanan kemudian pergi dan hilang begitu saja. Sebuah cerita dari saksi mata yang membuat penulis terharu berlinang air mata ketika itu.
Tahun 1965, beberapa hari menjelang wafatnya, sepulang dari mengisi pengajian, Kiai Djufri menjenguk Nyai Maftuhah, putri kesayangannya di Sumber Anyar. Kiai Djufri mengaku rindu kepada putrinya itu dan berpesan agar Nyai Maftuhah selalu sabar dalam menjalani kehidupan dari Allah Subhanahu Wata’aala, juga agar selalu memiliki hati yang lapang, yang salah satu caranya adalah ketika shalat, pada rakaat pertama membaca Surah al-Insyirah dan pada rakaat kedua membaca Surah al-Fiil.
Nyai Maftuhah sosok perempuan yang sangat sabar dan kuat, tinggi solidaritas sosialnya, lapang seluruh batinnya. Semoga Nyai Maftuhah dikumpulkan bersama dengan Kiai Djufri dan Nyai Asiyah ma’a abaaihima wa ummahatihima. (*)
Hasani Utsman, Sejarawan Madura, alumnus Universitas Al-Azhar Kairo Mesir.