KH Qosim Bukhari, Pendiri Pesantren Raudlatul Ulum 2 Putukrejo Gondanglegi Malang

Foto dari kanan: KH Qosim Bukhari, penulis, abah penulis (KH Khozin Yahya), dan Kiai Lathifi (santrinews.com/istimewa)

KH Qosim Bukhari dengan KH Yahya Syabrowi (Ganjaran Gondanglegi Malang) adalah sepupu dalam hubungan kerabat. Kiai Yahya menikah dengan Ibu Nyai Mamnunah, Mbak Yu dari Kiai Qosim.

Meskipun sepupu tetapi jarak usia beliau berdua sangat jauh. Sebab putra pertama Kiai Yahya, KH Khozin Yahya, adalah sepantaran. Paman dan keponakan ini sejak kecil sudah bersahabat, bahkan sampai di Pondok Pesantren Darul Ulum Peterongan Jombang.

Sekitar 2015 saya ke Pontianak Kalimantan Barat, bertemu dengan alumni RU Ganjaran sambil memperdengarkan kepada saya ceramah Kiai Qosim dalam Bahasa Indonesia. Alumni tadi mengatakan bahwa itu adalah ceramah terakhir Kiai Qosim di Pontianak, sebelum beliau gerah (songkan, sakit).

Dalam pidato itu beliau menjadikan sosok KH Yahya sebagai gurunya. Beliau berkisah bahwa sejak muda sudah sering diperintah oleh Kiai Yahya dalam banyak hal. Mulai urusan pesantren, kampus UNISMA (yang saat itu membuka Cabang di Putat Gondanglegi Malang), rumah sakit, dan urusan keumatan lainnya.

Pada intinya beliau jalani semua perintah dan tugas tersebut. Akhirnya, kata beliau, semua itu mengantarkan beliau pada posisi tertinggi di tempat masing-masing.

Di tempat terpisah pada tahun yang sama, saya diminta oleh paman saya untuk menghadiri wisuda sepupu saya, Gus Erfan Al Mu’tashim (lulusan S2 Syariah) di IAIN Sunan Ampel Surabaya.

Saat itulah pertama kali saya melihat Prof KH Abd A’la memberikan sambutan sebagai Rektor. Prof Nur Syam yang baru saja menjabat sebagai Dirjen di Kemenag Pusat juga memberi sambutan. Saya ingat itu yang disampaikan oleh Prof Nur Syam itu.

Beliau seperti hendak memberi nasehat kepada para sarjana yang baru lulus tersebut. Kata beliau kesuksesan dalam berkarir ditunjang 2 faktor. Pertama, hard skill mencakup pengetahuan dan keahlian khusus, seperti kemampuan teknologi, desain, programmer dan sebagainya.

Namun faktor pertama tadi belum seberapa dibandingkan dengan faktor kedua, yakni soft skill, seperti kejujuran, disiplin, tepat waktu, bisa bekerja dalam tim, dan tidak ada masalah dengan ‘atasan’.

Nah, kembali lagi ke awal tentang sosok Kiai Qosim, yang sedari awal selalu mematuhi perintah gurunya dalam banyak tugas dan beliau lakukan dengan sebaik-baiknya, maka mengantarkan beliau berada di puncak pimpinan pesantren, kampus, lembaga pendidikan, rumah sakit dan sebagainya.

Kunci suksesnya? Kedua skill (keahlian) di atas tadi. Semoga dapat meneladani para guru kita. (*)

Terkait

Uswah Lainnya

SantriNews Network