Kiai Habibullah Zaini, Permata Lirboyo itu Telah Tiada

Saya mengenal KH Ahmad Habibullah Zaini sejak pertama masuk di Lirboyo pada 1986. Beliau adalah guru tetap kelas saya, —di Lirboyo istilahnya mustahiq kelas— sejak kelas 1 Madrasah Tsanawiyah Hidayatul Mubtadiin sampai tamat Aliyah MHM Lirboyo.
Karenanya saya sangat dekat dengan beliau, hingga kemudian saya ditakdirkan berjodoh menikah dengan keponakan beliau pada 1995. Beliau benar benar menjadi guru dan sekaligus orangtua saya.
Kiai Habib adalah pertemuan dua nasab pendiri pesantren termasyhur di Indonesia, dari jalur ayah beliau adalah putra alm KH Muhammad Zaini bin KH Moehammad Munawwir, pendiri Pondok Pesantren Almunawwir Krapyak Jogjakarta. Sementara ibunya almarhumah Nyai Hj Qomariyah binti KH Abdul Karim, pendiri Pesantren Lirboyo Kediri.
Beliau adalah sosok kiai yang sangat alim, zuhud dan sederhana. Waktunya dihabiskan untuk mengajar di pondok pesantren, beliau menjadi rujukan santri dari seluruh Indonesia yang datang ke Lirboyo untuk mengaji kitab kitab besar bidang hadist, fiqh dan tafsir.
Dengan ketekunan yang luar biasa, beliau mampu membaca kitab mulai pagi hingga malam hari tanpa lelah hingga khatam, sementara para muridnya mendengarkan sambil mencatat makna dari beliau mulai duduk hingga tiduran “mlumah murep“ tidak kuat saking lamanya.
Saya pernah mengaji kitab hadist Shahih Muslim hingga khatam dengan ijazah sanadnya kepada beliau, juga beberapa kitab lainnya. Pembacaan beliau terkenal sangat teliti, tahqiq dan enak didengar, karena penguasaan ilmu gramatika Arab beliau yang sempurna.
Saya belajar ilmu nahwu Alfiyah Ibnu Malik hingga ilmu balaghah Jauhar Al Makmun di bawah bimbingannya di MHM Lirboyo.
Meskipun sangat alim, namun beliau bersifat khumul, pendiam dan tidak banyak bicara. Beliau selalu menyembunyikan diri dan tidak suka tampil di depan umum kecuali hal yang sangat penting. Saya tidak pernah melihat beliau kerso berpidato di pengajian umum atau acara terbuka lainnya, bahkan jika ada seremonial acara kunjungan pejabat tinggi sepenting apapun di Lirboyo beliau sangat jarang sekali berkenan ikut hadir menyambut, beliau lebih memilih berdiam diri dan tidak keluar dari rumahnya.
Kehidupan keseharian beliau amatlah sederhana, dulu di pondok saya sering melihat beliau mencuci mobilnya sendiri setiap pagi, meski banyak santri yang ingin berkhidmah mencucikannya. Saya ingat beliau mempunyai mobil Isuzu Panther warna biru tahun 94 yang dipakai hingga puluhan tahun dan tidak suka berganti mobil, meskipun saya yakin beliau pasti mampu membeli alphard seri terbaru, hingga suatu saat istri saya pernah ditegur karena saya dilihat sering ganti mobil baru.
Sikap hidup sederhana sangat tampak dalam pakaian yang dikenakannya, dan sangat berhati-hati dalam bekerja. Saya dulu sering melihat beliau mengecek sendiri kebersihan warung makan milik beliau di sebelah kamar saya, dan ketika suatu saat saya mengantar titipan amplop seorang pejabat untuk dihaturkan kepadanya, beliau tidak langsung berkenan menerima, beliau masih bertanya: ini uang apa, untuk apa?
Kini, kiai alim dan zahid ini telah pergi setelah bersabar sekian lama dalam cobaan penyakit yang dideritanya tanpa pernah mengeluh.
Empat hari sebelum wafatnya saya masih ditakdirkan menjenguk beliau di RS Haji Surabaya, beliau dalam kondisi sadar dan sejenak menatap saya, saya pun hanya mampu berbisik memohon maaf dan menangis disampingnya.
Selamat jalan kiaiku, semoga Allah SWT melimpahkan rahmat-Nya dan mempertemukan kita kembali kelak di sorga. Amin! (*)