Kiai Wadud, Sosok Pendidik Santri yang Istiqomah

KH Abdul Wadud Munir (berbaju batik coklat) mendampingi Almaghfurlah KH A Basyir Abdullah Sajjad (berbaju putih) saat menghadiri akad nikah penulis dengan Alifah Hamro, di Prenduan, Sumenep, 8 September 2012 (santrinews.com/istimewa)

Senin, 15 Juni 2020, hari ini, berita duka datang dari Pondok Pesantren Annuqayah, Guluk-guluk Sumenep. Seorang Kiai yang alim dan istiqamah mendidik santri, guru kami semua, KH Abdul Wadud Munir, wafat. Semoga semua amal baik beliau dilipatgandakan pahalanya dan semua dosa beliau diampuni. Lahul Fatihah.

Kiai Wadud adalah cicit KH Syarqawi, pendiri Annuqayah. Beliau lahir tahun 1942, sebagai putra ketiga dari Nyai Mamduhah putri KH Ilyas putra KH Syarqawi. Ayah beliau, Kiai Munir adalah cicit KHR Ruham, Kembang Kuning, Pamekasan.

Kiai Wadud diambil mantu oleh KH Ahmad Basyir Abdullah Sajjad, paman sepupu beliau. Sejak saat itu sampai beliau wafat, Kiai Wadud membantu sang mertua mengasuh santri Pondok Pesantren Annuqayah daerah Latee.

Baca juga: KH Hariri Abdul Adhim, Sosok Ulama Sufi Pemangku Mahad Aly Sukorejo

Ada banyak kenangan tak terlupakan bagi saya pribadi selama menjadi santri. Beliau memang kiai dengan beragam aktivitas dan multi-talent. Selain mengajar dan mengaji, beliau juga seorang wirausahawan sukses. Beliau memiliki beberapa toko, rental komputer dan foto kopi, juga beberapa usaha lainnya, baik di lingkungan pesantren maupun di luar.

Di sini kita bisa mencermati bahwa untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan kebutuhan lainnya, Kiai Wadud tidak menggantungkan diri kepada bayaran dari mengajar (yang memang tidak ada) atau pemberian (cabisan) wali santri. Di sini para santri bisa belajar tentang kemandirian dan ketekunan bekerja menjemput rizki.

Tapi kadang ada saja yang salah paham tentang entrepreneurship ini. Mengiranya bertentangan dengan nilai zuhud dan kesederhanaan yang seharusnya dipraktekkan oleh kiai dan santri. Meskipun suara-suara sumbang semacam ini menjadi tidak relevan jika kita memperhatikan dengan saksama kehidupan Kiai Wadud yang penuh kesederhanaan dan sikap wira’i.

Bagaimanapun, bagi saya, kesan yang paling mendalam adalah ketekunan dan kedisiplinan beliau dalam mengajar kitab kuning bagi santri. Beliau nyaris tak pernah absen mengajar dan mengaji, sesuai waktu yang sudah dijadwalkan. Beliau juga nyaris selalu tepat waktu.

Di Madrasah Aliyah Keagamaan (MAK) Annuqayah, Kiai Wadud mengampu mata pelajaran Bahasa Arab dan Balaghah. Sedangkan pengajian kitab kuning di musholla pondok yang beliau ampu dan pernah saya ikuti adalah pengajian kitab Kifayatul Atqiya’.

Bahasa Arab beliau sangat fasih, meskipun beliau tidak pernah belajar di Timur Tengah. “Saya belajar dan mengaji kepada Kiai Ilyas,” kenang beliau suatu ketika. Sedangkan penguasaan beliau di bidang Balaghah, selain dari Almaghfurlahu KH Ilyas Syarqawi, juga beliau pelajari dari Almaghfurlahu KH A Waris Ilyas, paman beliau. “Kiai Waris adalah sosok yang Baligh (pakar dan praktisi Balaghah),” cerita Kiai Wadud di waktu yang lain.

Ketika mengajar di kelas, Kiai Wadud bersuara lantang dan jelas. Kata-kata beliau sangat terstruktur dan, tampaknya, dipilih dengan cermat. Jika beliau merasa harus mengulang sebuah penjelasan, maka beliau akan mengulanginya sekali atau dua kali lagi. Jika penjelasan itu membutuhkan contoh, maka beliau akan menyampaikan beberapa contoh yang beliau kutip dari beberapa kitab.

Sesekali, di tengah suasana yang sangat serius dan cenderung tegang, Kiai Wadud melontarkan joke-joke dan anekdot lucu. Kantuk yang sempat mengancam, tiba-tiba bisa buyar. Terus terang, belakangan ketika saya menjadi guru dan dosen, saya banyak meniru metode dan teknik mengajar Kiai Wadud ini.

Jika ada murid yang tertidur di kelas, maka Kiai Wadud akan membangunkan dan menyuruhnya berwudlu. Perintah ini disampaikan dengan tegas tapi jauh dari kesan marah atau emosional. Ada teman kelas saya dulu yang terlalu sering tidur saat pelajaran sang kiai. Oleh beliau, si Fulan itu diberi gelar “Aban-naum” alias jago tidur. Tapi beliau mengucapkannya dengan senyum kebapakan.

Baca juga: KH Thoifur Ali Wafa, Kiai Produktif dari Ujung Pulau Madura

Jika beliau menunjuk seorang murid untuk menjawab pertanyaan, lalu murid itu bisa menjawab, maka beliau tak segan memujinya dan memberi kata penyemangat untuk terus rajin belajar. Jika si murid tidak bisa menjawab, beliau juga dengan tegas menyuruhnya berdiri sebagai “hukuman ringan”. Biasanya beliau akan setengah menghardik, “Qum ya walad…” Si murid pun akan berdiri sampai pelajaran selesai.

Selain ketegasan dan kedisiplinan, Kiai Wadud juga sangat peduli dan penuh perhatian kepada murid. Cerita yang cukup dikenal di kalangan alumni MAK, terutama angkatan pertama sampai ketiga, adalah tentang kebiasaan beliau untuk tidak memulai pengajaran sampai semua siswa hadir secara lengkap. Jika ada siswa yang belum hadir, maka beliau akan menyuruh ketua kelas atau yang mewakili untuk menjemput siswa yang belum hadir itu ke asrama atau kamarnya.

Di angkatan pertama MAK, dua tingkat di atas saya, ada seorang murid yang memegang rekor dalam urusan dijemput ini. Uniknya, dia adalah langganan ranking satu dan pemilik nilai tertinggi dari kelas satu sampai kelas tiga. Dia juga menjadi murid kesayangan Kiai Wadud. Suatu ketika Kiai Wadud pernah memberi penilaian tentang si murid yang unik ini, “Dia pintar dan cerdas. Tapi kurang rajin…”

Cara memperlakukan murid semacam itu, adalah sebuah langkah yang brilian. Murid kemudian merasa diayomi, diperhatikan dan tidak ditinggalkan. Saya yakin beliau memahami bahwa masing-masing murid memiliki karakter dan kecenderungan yang berbeda-beda, juga menghadapi problem remaja yang beragam. Tentu, sebagai Kiai, beliau melengkapinya dengan mendoakan semua murid, tanpa pandang bulu.

Aspek lahir dan batin yang dipadukan inilah yang kemudian membawa santri menjadi manusia-manusia penerima limpahan barokah dalam kehidupannya di kemudian hari. Hal ini saya rasakan langsung, tak pernah berubah, meskipun saya sudah tidak mondok lagi.

Dalam beberapa kali sowan dalam tahun-tahun belakangan ini, saya selalu mendapatkan sikap hangat dan perlakuan yang sama yang saya rasakan ketika saya mondok dulu. Saya sungguh merasa bahagia, karena Kiai tetap menganggap dan memperlakukan saya sebagai santri beliau.

Beliau tetap menatap saya dengan tatapan kebapakan dan senyum mengembang, meskipun beliau sedang terbaring sakit dan saya datang untuk menjenguk. Seakan saya lah yang sedang butuh hiburan dan penguat batin, karena sejatinya memang saya lah santri yang butuh tuntunan dan arahan sedangkan beliau adalah kiai yang terus menjadi tongkat bertumpu dan kompas moral.

Sebagai pendidik, persis di titik inilah, Kiai Wadud, mampu mencetak murid-murid yang tangguh dan bermanfaat di berbagai bidang. Ada yang menjadi kiai, guru, teknokrat, birokrat, politisi, pedagang, juga petani dan nelayan. Kiai Wadud selalu mengingatkan supaya para murid selalu menjadi orang baik dan bermanfaat, apapun pekerjaan mereka kelak.

Yang penting juga harus mengenal budi, “Jangan sampai kalian memperlakukan guru dan kiai kalian seperti raja kepada arsitek Sinimmar. Dia diminta membangun istana megah yang tak ada duanya. Ketika istana itu selesai, dia dibunuh, karena sang penguasa tidak ingin dia membangun istana untuk raja lain…” (*)

Ahmad Badrus Sholihin, Alumni Pondok Pesantren Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep. Kini dosen di IAIN Jember.

Terkait

Uswah Lainnya

SantriNews Network