Mengapa NU Menolak Syariat Islam

Banyak orang yang meneriakan syariat Islam di mana-mana, bahkan mereka tak segan-segan diselingi dengan kalimat takbir. Lalu apakah syariat Islam itu?

Syariat berasal dari kata syari’un yang berarti jalan, sedangkan Islam berarti agama Islam. Jadi syariat Islam berarti jalan atau ketentuan-ketentuan Islam (jalan Allah).

Bagi para sufi, jalan Allah begitu banyak, sehingga muncullah banyak aliran tarekat. Tarekat sendiri ibarat petunjuk ke jalan Allah, sehingga bagi para jemaat tarekat, dirinya akan cepat menuju Allah melalui bimbingan para mursyid.

Sufi menyadari bahwa syariat atau jalan Allah begitu banyak dan beragam, sehingga seorang sufi begitu luwes dalam menjalankan syariat Islam serta lebih toleran. Karena ibarat manusia, yang mempunyai jalan masing-masing ke suatu tempat, entah lebih jauh apa lebih dekat, yang terpenting sampai tujuan.

Untuk menentukan suatu hukum, saking luwesnya syariat Islam, dalam tradisi Ahlussunnah, terbentuklah empat madzhab, yang mana semua madzhab mempunyai suatu metode untuk menentukan hukum dari syariat Islam.

Tetapi sebagian umat Islam mempolitisasi syariat Islam sehingga syariat Islam terkesan kaku dan ekstrim. Mereka menggunakan syariat Islam demi tujuan politik dan kekuasaan. Hal ini telah berurat akar dalam sejarah Islam.

Sejarah mencatat, bagaimana kelompok Muawiyah mengangkat al-Quran ketika berperang agar perang terhenti, karena dia tahu, dirinya akan kalah dengan pasukan Ali ibn Abi Thalib. Ketika Ali menyetujui gencatan senjata, justru Muawiyah mengambil kesempatan itu untuk mengumpulkan massa dan berencana menggulingkan Ali.

Begitu juga dengan kaum khawarij yang mempolitisasi syariat Islam dengan cara melegalkan pembunuhan terhadap Ali, padahal dalam al-Quran dilarang membunuh orang yang bersyahadat.

Ketika Muawiyah menjadi khalifah pengganti Hasan ibn Ali, Muawiyah dan generasi selanjutnya, mencaci maki dan melaknat keturunan Ali, Hasan dan Husein, di mimbar masjid ketika salat Jumat. Mereka menggunakan kata-kata “Musuh Allah” seakan-akan Muawiyah orang yang benar.

Begitu juga seterusnya, banyak pergeseran kekuasaan saling bunuh membunuh dan yang menang menjadi khalifah.

Hukum yang di dalam al-Quran seperti hukum membunuh dibunuh, mencuri dipotong tanganya, zina dicambuk, dan lain-lain ialah konteks hukum yang berlaku pada waktu itu. Di Taurat ada hukum seperti itu, berarti sebelum al-Quran ada, hukum itu sudah ada dan berkembang di masyarakat.

Hukum seperti itu terkadang hanya dimanfaatkan untuk kaum yang lemah atau kelompok oposisi. Jika kaum miskin akan dipotong, jika kaya tidak. Atau jika melawan sedikit kepada penguasa akan dibunuh dianggap pemberontak. Hukum-hukum seperti ini rawan sekali dipolitisasi oleh beberapa pihak.

Inilah ketika NU mendirikan bangsa ini, para ulama tidak menyetujui Indonesia seperti itu. Indonesia mempunyai suatu cara agar para penjahat kembali ke jalan yang benar, dengan berdirinya banyak pesantren. Hukum diambil bukan caranya menghukum melainkan maksud di balik hukum tersebut.

Maka bisa kita lihat, bagaimana Gubernur Aceh tertangkap korupsi tetapi tidak dipotong tangannya. Sedangkan orang yang ketahuan berpacaran di tempat umum, langsung dicambuk di hadapan umum.

Begitu juga dengan slogan gerakan 2019 ganti presiden yang dilakukan di dalam masjid. Padahal masjid bukan tempat untuk berpolitik melainkan tempat untuk beribadah kepada Allah.

Sebelumnya, bagaimana teroris atas dasar syariat Islam melegalkan bom di Bali dan di gereja, yang menewaskan orang yang tidak bersalah. Fatwa halal darahnya dibunuh pernah menimpa Ulil Abshar Abdallah dan Ahmad Dhani karena dirinya dianggap telah menistakan agama.

Begitu juga dengan demo Ahok, dimana kata bunuh, gantung, bakar, bahkan jenazah pemilih Ahok dilarang disalatkan bergemuruh di pilkada DKI. Partai-partai yang di hadapan kamera menyebutkan dirinya partai dakwah, partai tarbiyah, partai yang menjunjung syariat Islam, justru tertangkap korupsi daging impor sapi dan menggunakan kode-kode juz al-Quran untuk korupsi.

Bayangkan, jika agama dipegang oleh mereka betapa ganasnya mereka, atas nama syariat Islam, memperlakukan lawannya secara tidak manusiawi.

Inilah mengapa NU menolak “syariat Islam” dalam tanda petik, syariat yang dipolitisasi. NU sudah menganggap bahwa negeri ini sudah sesuai dengan syariat Islam, dimana kedamaian dan ketentraman ada di Indonesia.

Bagi kelompok lain, mereka tidak akan menganggap Indonesia sesuai dengan syariat Islam jika kelompok mereka memimpin negara ini. Inilah mengapa mereka benci kepada NU, karena NU batu penghalang besar bagi mereka untuk mempolitisasi syariat Islam.

NU membongkar niat busuk mereka, yang ingin meraih kekuasaan dengan menjual ayat-ayat dan syariat Islam. (*)

Terkait

Opini Lainnya

SantriNews Network