Mengklarifikasi Tuduhan Salafi Wahabi
Judul: Tarekat dalam Timbangan Syariah
Penulis: Nur Hidayat Muhammad
Penerbit: Surabaya, Muara Progresif
Terbitan: Pertama, Juni 2013
Peresensi: M Kamil Akhyari)*
Aktivitas tarekat (thariqah) sudah ada sejak masa Rasulullah. Namun, tarekat sebagai disiplin ilmu dan institusi pendidikan penyucian jiwa (tazkiyatun nafs) mungkin baru muncul pada abad ke-3 H.
Ilmu yang mempelajari tentang tarekat disebut ilmu tasawuf. Sedangkan ahli tarekat atau pelakunya disebut dengan sufi. Istilah sufi sendiri baru dikenal pada pertengahan abad ke-2 H. yang diperkenalkan oleh Abu Hasyim (w. 250 H.) dengan menyematkan gelar “al-sufi” dibelakang namanya.
Sekalipun rasulullah dan para sahabat tidak pernah menyebut dirinya ahli tarekat, mereka bertarekat. Lalu, kenapa istilah tarekat baru muncul pada abad ke-3 H? Imam Qusyairi mengatakan awal kali muncul penyakit batin di hati manusia adalah pada kisaran tahun 300-an (hlm. 30).
Dengan demikian, sejak saat itu dibutuhkan ilmu yang mempelajari cara membuang dan menangkal virus-virus batin tersebut. Maka para sufi menyusun cara mendekatkan diri kepada Allah sesuai dengan pengalaman mereka masing-masing.
Seiring dengan perkembangan khazanah keilmuan Islam, ilmu tasawuf semakin berkembang dengan lahirnya universitas-universitas tarekat seperti Qadiriyah (didirikan oleh Syaikh Abdul Qadir al-Jilani), Naqsyabandiyah (didirikan oleh Syaikh Bahauddin Muhammad al-Bukhari), Syadziliyah (didirikan oleh Abul Hasan as-Syadzili), Tijaniyah (didirikan oleh Abul Abbas Ahmad al-Tijani), Ghazaliyah (didirikan oleh Muhammad al-Ghazali), Junaidiyah (didirikan oleh Junaid al-Baghdadi), Hakimiyah (didirikan oleh Muhammad al-Hakim at-Tirmidzi), Muhasibiyah (didirikan oleh al-Harits al-Muhasibi), Sahliyah (didirikan oleh Sahl at-Tustari).
Para mursyid (sebutan untuk guru dalam tarekat) mengajarkan tata cara berada bersama Allah SWT tanpa ada penghubung. Salah satu ajaran tarekat adalah suluk/riyadhah atau khalwat selaman 10 hari atau 40 hari dan rabithah dengan membayangkan gambar guru.
Dengan adanya lembaga-lembaga tarekat, orang yang bermaksud memperbaiki diri dan mendekatkan diri kepada Allah lebih mudah bersama-Nya. Mereka tidak ada yang mempertanyakan apakah tarekat bertentangan dengan syariat atau tidak. Anggota tarekat cukup percaya kepada mursyid bahwa tak akan mengajarkan yang melenceng dari agama.
Namun belakangan ini muncul sekelompok orang yang mengatasnamakan diri pemurni keimanan dengan jargon kembali kepada Al Qur’an dan sunah menuduh tasawuf bid’ah, mengkritisi amalan tarekat, dan bahkan mengkafirman ahli-ahli tarekat karena terdapat praktik-praktik yang dinilai keluar dari syariat Islam.
Seperti tuduhan terhadap praktik riyadhah yang biasa dilakukan ahli tarekat. Menurut pengikut Wahabi, riyadhah bukan ajaran murni Islam, tapi ajaran para Brahmana penyembah berhala. Mereka mendasarkan vonis tersebut kepada hasil penelitian barat yang tak paham agama, bukan kepada dalil yang dipaparkan ulama (hlm. 61).
Tuduhan Prof Dr Hamka tentang praktik rabithah dengan membayangkan gambar guru yang mengatakan sama dengan menyembah berhala tak luput dari pembahasan dalam buku yang diterbitkan Muara Progresif tersebut.
Tuduhan Hamka tersebut karena ketidaktahuan saja. Ahli tarekat mendasarkan praktik tersebut kepada QS. Al Maidah: 35, QS. Taubah: 119, QS. Lukman: 15 dan beberapa hadits shahih (hlm. 41-42).
Buku ‘Tarekat dalam Timbangan Syiariah’ coba mengklarifikasi tuduhan dan kecamatan yang dilontarkan kader-kader Muhammad Ibnu Abdul Wahab yang kerap mengkafirkan, memusyrikkan dan membid’ahkan sesama umat Islam. Nur Hidayat Muhammad menjawab kritik-kritik yang sama sekali tidak berdasar itu dengan dalil yang autentik. (*)
M Kamil Akhyari, guru Tasawuf di Madrasah Nurul Huda, Bluto Sumenep.