Sesepuh Warok Ikut Meriahkan Kirab Pusaka Reog Asli Ponorogo di Jember

Pertunjukan Pusaka Reog Asli Ponorogo di Balung, Jember (santrinews.com/istimewa)
Jember – Kirab Pusaka Reog asli Ponorogo di Kecamatan Balung, Jember, sudah sepekan berlalu. Namun gaungnya hingga sekarang masih cukup terasa. Sebanyak 17 Warok dan Pembarong Ponorogo ikut memeriahkan. Juga pentas kesenian dan diskusi publik.
Kirab Pusaka Reoq untuk kali pertama dan digelar oleh Komunitas seniman dan warga Ponorogo yang hidup di Jember ini sebagai bagian dari upaya proses penggalian kembali nilai-nilai tradisi seputar kesenian reog.
Meski diwarnai hujan deras sejak sore hari, setelah reda sejenak, acara Kirab Pusaka asli Ponorogo berupa Kepala Barong Dadak Merak yang berumur ratusan tahun itu berhasil dilakukan dengan long march sejauh kurang lebih dua kilo meter ke lokasi acara di pusat Kecamatan Balung, Kabupaten Jember.
Barisan Kirab Pusaka yang dipertunjukkan untuk kali pertama ke publik itu diawali para pendekar dan pesilat Cimande, para seniman reog Ponorogo beserta warok dan pembarong serta grup jaranan dan pusaka Reog dan ditutup oleh barisan grup Reog dari perwakilan 25 Grup Reog yang ada di wilayah selatan Jember.
Sejumlah pihak pun memberikan apresiasi yang tinggi. Diantaranya datang dari seorang budayawan asal Jember, Miftakhul Rahman yang lebih dikenal dengan Mas Memet.
Menuru Mas Memet, gelar budaya reog dan kirab pusaka reog asli Ponorogo ini tidak lepas dari tangan dingin sosok mantan Pj. Bupati Jember periode 2010-2011, Zarkasih.
“Saya menganggap inisiasi ini sebagai upaya mengungkap nilai-nilai kultural adiluhung yang tersirat dalam kepribadian bangsa Indonesia,” kata Mas Memet, Sabtu, 23 Maret 2019.
Baca juga: Desa Tenggir Gelar Kirab Budaya Ancakan
Suharto, Dosen Fakultas Ilmu Budaya dan Bahasa Universitas Jember menyatakan bahwa pertunjukan seni budaya reog di Jember ini sudah berurat berakar cukup lama, terbukti dengan keberadaan 25 grup reog di wilayah Jember selatan yang menunjukkan eksistensi sub kultur ponoragan, warga masyarakat Jember bagian selatan.
“Dengan adanya kirab pusaka reog serta kehadiran para seniman reog beserta para warog asli Ponorogo ke Jember ini sangat menggembirakan sekali. Faktanya tanggapan publik saat acara itu digelar meski sempat hujan sangat antusias hingga jalanan di Balung macet. Silaturahmi seniman ini mesti berlanjut terus,” kata Suharto.
Di sisi lain, Setyo Hadi, sejarawan yang saat ini getol meneliti dan menulis sejarah Sadeng-Jember yang juga Alumnus Universitas Indonesia itu memberikan tanggapan positif dengan rangkaian agenda seni warga Panoragan dan seniman reog asal Ponorogo khususnya keberadaan Kirab Pusaka Reog yang baru pertama kali terjadi itu.
Ia mengaku sangat menyesal tidak bisa hadir karena menghadiri acara di Malang. “Padahal ini (Kirab Pusaka Reog asli Ponorogo) merupakan peristiwa langka, bahkan di Ponorogo saja belum pernah dilakukan. Sungguh peristiwa civil over yang menajubkan dengan dibingkai silaturahim,” kata Setyo Hadi.
Pimpinan rombongan seniman reog Ponorogo, Langgeng Dwi menyatakan pihaknya awalnya sangat terkejut dengan adanya undangan dari warga ponorogo yang ada di jember.
“Alhamdulillah dari Ponorogo ada 17 orang yag hadir ke Balung, terdiri atas beberapa warok dan seniman pembarong khususnya maestro pembarong Kembar Mbah Suwandi-Suwondo serta seniman yang tergabung dalam yayasan reog Indonesia,” kata Langgeng.
Baca juga: Seni Tradisional Cermin Falsafah Hidup
Langgeng menjelaskan bahwa sebenarnya sejumlah warok sepuh awalnya berkenan ingin ikut ke Jember seperti Mbah Bikang, Mbah Gani yang merupakan warok sepuh angkatannya alm Mbah Wo Kucing.
“Saat kami nyuwon restu untuk berangkat ke Jember sekaligus mengundang beliau-beliau [Mbah Bikang dan Mbah Gani] untuk ikut, beliau-beliau sangat antusias dan ingin ikut tetapi karena kondisi kesehatan saja yang menghalangi niat untuk turut ke Jember itu. Bahkan ada ungkapan menarik Kok Jember ya yang punya ide Kirab Pusaka Reog bukan dari Ponorogo,” ungkap Langgeng.
Dalam kesempatan yang sama, Zarkasih yang nampak menyertai tamu, para warok dan pembarong asli Ponorogo itu mengungkapkan bahwa saya sangat memahami hubungan kultural masyarakat Jember dengan masyarakat Ponorogo.
“Hal itu saya rasakan ketika saya mesti mempertahankan eksistensi trayek khusus angkutan tranportasi Ambulu-Ponorogo yang seharusnya ditutup karena tidak masuk terminal Jember,” kata Zarkasih seusai acara Kirab Pusaka. (rus/onk)