Mengkritisi Fatwa Haram Memakai Atribut Non-Muslim

Oleh: Muhammad AS Hikam
Majelis Ulama Indonesia (MUI) semakin giat di dalam memproduksi fatwa yang mempunyai implikasi signifikan bagi hubungan antar-umat beragama dan kehidupan bermasyarakat di negeri ini.
Setelah fatwa terkait dengan tuduhan penistaan agama yang dilakukan oleh Gubernur DKI nonaktif, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, kini muncul lagi fatwa lembaga tersebut tentang hukum menggunakan atribut keagamaan non Muslim.
Fatwa ini dibuat, menurut MUI, sebagai “pedoman” umat Islam Indonesia dalam menyikapi “fenomena di mana saat peringatan hari besar agama non-Islam, sebagian umat Islam atas nama toleransi dan persahabatan, menggunakan atribut dan/atau simbol keagamaan nonmuslim yang berdampak pada siar keagamaan mereka.”
Munculnya fatwa ini tentu sudah dapat diprediksi akan memunculkan pro kontra, bukan saja di dalam internal umat Islam di negeri ini, tetapi juga di kalangan umat non-Muslim. Pro kontra tersebut bersumber dari bervariasinya pandangan di kalangan umat Islam mengenai masalah pemakaian atribut non Muslim, termasuk motivasi dari si pengguna, dan praktik-praktik yang selama ini berlaku di dalam masyarakat Islam di Indonesia sendiri.
Demikian juga, status fatwa MUI tersebut apakah bersifat mengikat bagi umat atau hanya sebagai salah satu pandangan di antara berbagai pandangan tentang hukum agama, sehingga tidak memiliki kekuatan mengikat bagi seluruh umat Islam di negeri ini.
Dari kalangan non Muslim, tampaknya fatwa tersebut juga dipersoalkan karena penggunaan kata “kafir” untuk pihak-pihak non Muslim di dalamnya. Prof. Jan Sihar Aritonang, dari Sekolah Tinggi Theologi (STT) Jakarta, misalnya, mengimbau Komisi Fatwa MUI agar “tidak menerbitkan fatwa yang bisa ikut menambah panas suasana dan suhu kehidupan di Indonesia.”
Yang menjadi keprihatinan Sihar Aritonang dari fatwa MUI tersebut adalah terutama pada bagian konsiderans, dimana “berulang kali dikutip ayat Kitab Suci Al Qur’an, Hadits Nabi Muhammad SAW, dan pendapat sejumlah tokoh Islam, yang pada pokoknya menyatakan bahwa orang-orang non-muslim itu adalah kafir.”
Sihar Aritonang meminta agar Komisi Fatwa MUI memberi penjelasan dan mengemukakan argumen yang kuat terhadap penyebutan “kafir” terhadap umat Kristiani, karena termasuk di dalam kategori non Muslim tersebut. Dan Sihar Aritonang menginginkan agar ada forum diskusi untuk memperjelas masalah ini “dalam suasana persahabatan dan persaudaraan.”
Hemat saya, kendati MUI berhak membuat fatwa keagamaan dan ditopang oleh niatan yang baik, tetapi terkesan kurang mempertimbangkan aspek konstelasi politik dan keamanan nasional yang saat ini sedang memerlukan kohesivitas dan peningkatan solidaritas kebangsaan yang kuat.
Fatwa yang dibuat menjelang perayaan keagamaan Natal ini sulit untuk tidak ditafsirkan sebagai reaksi terhadap kegiatan keagamaan umat Kristiani yang sudah menjadi fenomena umum dan nasional. Atribut-atribut Natalan bisa jadi benar merupakan refleksi religiositas, tetapi bisa juga merupakan bagian dari asesori yang dinikmati publik, semacam pageantry.
Sama halnya, tidak semua atribut-atribut dalam perayaan keagamaan lain, misalnya Lebaran atau Galungan, dan lain-lain langsung berkorelasi dengan masalah teologi, tetapi semacam kreatifitas kultural yg bisa dishare bersama. Dalam konteks globalisasi budaya, motif ekonomi malah mungkin lebih kuat ketimbang religiositas dari perayaan Natal.
Inilah problem yang saya lihat dalam fatwa MUI tersebut, karena secara keseluruhan hanya menggunakan perspektif teologis dalam melihat fenomena perayaan keagamaan, termasuk Natalan. Perspektif ini bisa saja memicu penafsiran-penafsiran lain yang pada gilirannya menyebabkan tindakan-tindakan yang dampaknya bisa merenggangkan solidaritas dan kohesi sosial.
Hal ini pula yang barangkali menjadi pertanyaan dari Sihar Aritonang dan kalangan non Muslim lainnya, ketika MUI menggunakan istilah kafir daam fatwanya. Jika hanya dilihat dari pemahaman teologis MUI dan sebagian umat Islam, maka pemakaian kata “kafir” tersebut mungkin sudah biasa digunakan sebagai penanda (signifier) dari liyan. Tetapi bagi pihak lain, kata itu bermakna pejoratif dan dianggap meresahkan.
Walhasil, jika dilihat dari konteks keindonesiaan, fatwa MUI ini bisa diperdebatkan apakah akan mampu menjadi wahana bagi upaya “menjaga kerukunan hidup antara umat beragama dan memelihara harmonis kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara” sebagaimana diinginkan oleh pembuat fatwa tersebut. Atau malah sebaliknya? Wallahua’lam.(*)