Virus Corona

Haram Li dzatihi dan Haram Li Ghairihi

Di tengah pandemi Corona ada saja kawan bertanya “Bagimana nikah tanpa wali dan tanpa saksi?”.

Mungkin saja sebagai upaya social distancing, upaya jaga jarak, karena kalau nikah ramai-ramai kemungkinan besar dibubarkan. Ya udah kawin berdua aja. Enak! enak berdua, mati! Ya mati berdua. Mungkin begitu mikirnya.

Sebelumnya saya juga dapat “pengaduan” dari seorang yang tinggal di belahan Indonesia paling barat sana. Sambil menangis ia bercerita bahwa ia dinikahi dan saat ini telah dikarunia 4 anak. Namun keempat anaknya tak satupun ada yang memiliki “akte lahir”. Karena dinikahi “menurutnya” secara “agama”, alias tidak dicatatkan di KAU.

Menurut penuturan istri, sejak awal memang tidak ada keinginan dari suami untuk mencatatkan perkawinannya, dan mengaktekan kelahiran putra-putrinya. Masalahnya setelah ia diajak suami pindah (maaf sebut daerah) ke Aceh sana, ia ditinggal alias dicerai langsung talak tiga. Maka jadilah ia “gelandangan” di negeri orang bersama beberapa putranya.

Kembali pada pertayaan kuno di atas, sesungguhnya kalau merujuk ke kitab-kitab fikih tidak sulit menemukan jawaban yang meng “iya” kan dan yang mengharamkan. Tinggal menurut kitab apa dan menurut Imam siapa. Gitu aja.

Jika seorang kawin tanpa wali dan tanpa saksi, alias berdua saja, dan pasti tidak tercatatkan, dengan berdasar pada “pendapat Imam” tertentu kemudian setelah itu si suami mininggalkan istrinya, apalagi jika telah memiliki anak (seperti kasus di atas), maka saya yakin sang Imam yang dirujuknya akan menangis tersedu-sedu, karena pendapatnya digunakan untuk mencari kepuasan seksual dan mendhalimi perempuan.

Itulah dampak “Nikah Sirri”, nikah sembunyi-sembunyi yang tidak dicatatkan. Contoh kasus di atas adalah fenomena gunung es, tampak sedikit namun banyak terjadi di masyarakat.

Bagaimana hukum perkawinannya ? Saat ini saya menyakini bahwa Nikah Sirri, tanpa wali tanpa saksi, tidak dicatatkan adalah “haram”. Sebab faktanya sering menelantarkan perempuan dan anak-anaknya.

Lha kan bukan “zina”? kok haram.

Memang yang haram “hanya zina”. Menyakiti orang apalagi yang lemah (dha’if) dan dilemahkan (mustad’afin) juga haram, menelantarkan istri dan anak-anak juga haram, menceraikan tanpa alasan yang kuat adalah dhalim dan haram. Bahkan bisa lebih besar dosanya dari zina itu sendiri.

Dalam konsep Ushul Fiqih, haram dari satu sisi dibagi dua, ada yang haram atau muharram Li dzatihi, dan haram atau muharram Li Ghairihi.

Haram Li dzatihi adalah sesuatu yang diharamkan karena barang atau prilaku itu sendiri mengandung “mafsadah-kerusakan” dalam dirinya. Sedang Haram li ghairi adalah sesuatu yang diharamkan bukan karena barang atau perbuatan itu mengandung “mafsadah-madharrat”, melainkan ia berpotensi berdampak merugikan dan membahayakan pada diri sendiri dan orang lain.

Konsepnya begitu, tapi seorang bisa beda menentukan mana yang haram lidzatihi dan haram lighairihi. Biasanya ahli Ushul fiqih mencontohkan haram lidzatihi dengan memakan bangkai, meminum minuman keras, berzina, mencuri dan hal lain yang menghancurkan kebutuhan dasar manusia (dharuriyyat).

Sedang haram li ghairihi dicontohkan dengan “melihat aurat perempuan atau aurat laki laki, shalat dengan pakaian atau tempat curian, jual beli di hari Jumat menjelang pelaksanaan Jumat, dll.

Melihat aurat laki-laki atau perempuan pada dasarnya tidak membahayakan, namun bagi orang yang hatinya sakit, kotor, penuh nafsu, ia bisa membahayakan. Olehnya ia diharamkan bukan karena melihatnya, melainkan berpotensi membahayakan.

Apa dampak perbedaan kedua haram itu?

Bedanya, suatu yang diharamkan lidzatihi tidak boleh dilakukan kecuali dalam kondisi “dharurat” yang mengancam lima kebutuhan dasar manusia. Sedang haram lighairi boleh dilanggar atau dilakukan kalau ada “hajah-kebutuhan”. Sebab itu, laki-laki boleh melihat aurat perempuan dan sebaliknya jika ada kebutuhan “pengobatan”, seperti kiret, operasi melahirkan, atau pengobatan lainnya. Tapi harus benar-benar ada kebutuhan ya, jangan dibuat buat. Kalau dibuat buat, ya haram. Ibadah saja jika dibuat buat ya haram. Wallahu a’lam.

Situbondo, 9 April 2020

KH Imam Nakha’i, Dosen Fikih-Ushul Fikih di Ma’had Aly Salafiyah-Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo.

Terkait

SYARIAH Lainnya

SantriNews Network