Menimbang Kemungkinan “Showdown” Demo 4 November

Oleh: Muhammad AS Hikam
Reaksi publik di Jakarta, yang mungkin saja dishare oleh publik di seluruh tanah air, terhadap rencana demo besar-besaran yang dilakukan oleh Gerakan Nasional Pendukung Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF MUI), cenderung terbelah dalam dua kutub yang berlawanan.
Kutub pertama berpandangan bahwa gerakan tersebut bisa bergulir dan berujung kepada “showdown” antara umat Islam dan Pemerintah; dan kutub yang mengatakan bahwa gerakan tersebut adalah ekspressi kemarahan umat Islam terhadap pribadi Gubernur DKI, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, yang dituding telah melakukan penistaan terhadap Al-Qur’an dan Islam.
Aksi demo itu adalah tekanan politik massa kepada aparat penegak hukum, khususnya Polri, agar mempercepat proses hukum terhadap sang petahana Pilkada DKI itu.
Menurut pihak yang pertama, indikasi bahwa kegiatan itu bukan hanya sekadar tertuju kepada upaya menuntut Ahok. Tetapi gerakan tersebut disetting sebagai sebuah gerakan massa dengan kasus Ahok sebagai ‘target antara’ yang jika sukses, akan diperlebar dengan tujuan akhir menjatuhkan Presiden Jokowi.
Eskalasi gerakan protes anti-Ahok, dengan demikian, diperkirakan meluas sebagai cipta kondisi anarkis dan instabilitas sosial politik yang mengikuti model ‘jalan menuju Suriah’: kekerasan dan destruksi sosial melalui wahana konflik umat beragama untuk merebut kekuasaan politik. Itu sebabnya, demo anti Ahok bukan hanya terbatas di Jakarta saja, tetapi juga di wilayah-wilyah lain di Indonesia.
Demo 4 November, menurut pandangan ini, tidak akan mereda kalaupun seandainya pihak Polri merespon dengan mempercepat proses hukum kasus Ahok, dan bahkan seandainya Ahok mundur atau dipenjara sekalipun!. Sebab ‘showdown’ terakhir adalah vis-a-vis Istana.
Jadi demo-demo anti Ahok tersebut adalah rentetan dari gerakan politik yang ada miripnya dengan apa yang pernah terjadi sebelumnya di Republik ini untuk menjatuhkan Bung Karno, Soeharto, dan bahkan Gus Dur.
Yang kini menjadi inti gerakan adalah kelompok Islam garis keras dengan didukung oleh kekuatan-kekuatan politik dan kepentingan yang ingin menjatuhkan Presiden Jokowi.
Pandangan kedua mengatakan gerakan demo anti Ahok adalah tekanan agar Polri segera memproses Ahok dan menangkap serta menghukumnya. Berikutnya demo-demo tersebut juga merupakan tekanan politik terhadap Presiden Jokowi yang dianggap telah mengintervensi dan terkesan melindungi Gubernur DKI tersebut.
Karena itu, demo tersebut bukan sebuah gerakan politik atau sosial yang bernuansa primordial, anti-non Muslim, atau anti Presiden Jokowi. Jika pihak-pihak Polri dan Jokowi memenuhi tuntutan mempercepat proses hukum dan mengadili serta menghukum sang petahana Pilkada DKI, maka akan selesai. Tujuan paling utama adalah Ahok tidak menjadi cagub dan masuk bui.
Demo 4 November, dalam pandangan ini, merupakan solidaritas umat Islam yang merasa dinistakan oleh Ahok, sehingga jika muncul aksi sama melampaui wilayah DKI, maka hal itu adalah cerminan solidaritas umat saja.
Implikasi kekacauan sosial dan instabilitas politik yang bisa terjadi adalah sepenuhnya menjadi tanggungjawab Polri dan Presiden Jokowi dan bukan aksi demo atau kelompok yang melakukannya. Alasannya, kerusuhan hanya akan terjadi jika aparat dan pemerintah bertindak tidak adil, bukan karena keinginan pihak pendemo!
Di antara dua skenario di atas, pandangan pertama perlu dicermati karena bila itu yang terjadi, implikasinya yang akan sangat serius bagi kehidupan politik dan keutuhan bangsa serta NKRI.
Kendati demikian, saya kira probabilitas terjadinya ‘showdown’ pada 4 November dan seterusnya, sangat kecil untuk tidak mengatakan nol. Alasan saya, belum ada kondisi krisis ekonomi dan sosial yang bisa menjadi wahana mendukung skenario “armageddon politik” tersebut.
Lebih-lebih, para inisator dan pelaku gerakan massa tersebut datang dari kelompok kecil (fringe) dalam umat Islam yang sudah sering berusaha menggunakan model mobilisasi massa namun selalu gagal meneruskan menjadi gerakan yang lintas sektoral untuk membangun sebuah tatanan politik alternatif yang bersifat inklusif!.
Dari sisi ideologi, daya tarik mereka terbatas pada identitas primordialistik, dan itupun hanya dalam lingkup terbatas. Kelompok ini juga sangat miskin dalam aspek-aspek gagasan, platform, dan program serta agenda kongkrit sebagai alternatif bagi kehidupan ekonomi, politik, sosial dan budaya yang mampu mengakomodasi kepentingan sebuah masyarakat pluralistik seperti Indonesia.
Klaim ‘mewakili umat Islam’ pun tak pernah terbukti, karena ormas Islam yang memiliki massa jauh lebih besar tidak mendukung kiprah mereka. Hanya sebagian kecil dari elit dan anggota ormas-ormas tersebut yang terpikat denga semangat bela agama, namun mereka ini juga tidak akan berpengaruh kepada umat.
Walhasil, aparat hukum dan keamanan serta masyarakat sipil di Indonesia mesti menyikapi kemungkinan eskalasi gerakan demo anti Ahok secara proporsional dan tegas. Sikap Kapolri dan Ketum PBNU adalah contoh yang baik dan proporsionalitas tersebut yang ditunjukkan oleh aparat Negara dan organisasi masyarakat sipil, khususnya ormas Islam.
Demikian juga dengan pernyataan para pimpinan organisasi lintas-agama baru—baru ini. Kemungkinan bahwa aksi tersebut bisa menciptakan anarki dan ketidakstabilan serta gangguan relasi antar-umat, sangat penting diantisipasi. Tetapi aspirasi agar proses hukum kasus Ahok ini berjalan tanpa intervensi pihak-pihak luar juga diakomodasi dengan pelaksanaan yang profesional dan taat aturan. (*)